tiga orang Pongolimoi, Dayak (foto: Ist)
JAKARTA - WWF Indonesia bersama paguyuban masyarakat Uud Danum menggelar sebuah ekspedisi ilmiah di desa Sakai dan Sabon, Kalimantan Barat. Hasil ekspedisi tersebut mengungkapkan adanya bahasa Kandan Kolimoi yang terancam punah.
"Jumlah penuturnya sekarang sepanjang sungai Ambalau, cuma tinggal 13 orang. Dan seluruhnya adalah orang tua berusia di atas 50 tahun," papar peneliti sastra lisan dalam ekspedisi tersebut, Abroorza A. Yusra ketika dihubungi Okezone, Selasa (18/12/2012).
Bahasa Kandan Kolimoi biasanya digunakan menceritakan sastra lisan Dayak Uud Danum yang bernama Kolimoi, dalam ritual adat dan berhubungan dengan roh atau arwah. Ceritanya berisi tentang kehidupan manusia khayangan dan bernilai penting sebagi bagian dari kepercayaan Kaharingan.
"Kolimoi adalah
refleksi masyarakat Dayak Uud Danum. Selain itu, dia berfungsi juga sebagai pendukung kebudayaan, bahkan kepercayaan. Dari Kolimoi, dapat dicermati identitas masyarakat Uud Danum," jelas Abroorza."Jumlah penuturnya sekarang sepanjang sungai Ambalau, cuma tinggal 13 orang. Dan seluruhnya adalah orang tua berusia di atas 50 tahun," papar peneliti sastra lisan dalam ekspedisi tersebut, Abroorza A. Yusra ketika dihubungi Okezone, Selasa (18/12/2012).
Bahasa Kandan Kolimoi biasanya digunakan menceritakan sastra lisan Dayak Uud Danum yang bernama Kolimoi, dalam ritual adat dan berhubungan dengan roh atau arwah. Ceritanya berisi tentang kehidupan manusia khayangan dan bernilai penting sebagi bagian dari kepercayaan Kaharingan.
"Kolimoi adalah
Kolimoi tersebut diyakini sebagai kenyataan oleh masyarakat setempat. Diduga, Kolimoi berperan sebai kitab suci sebelum masuknya agama-agama resmi juga sebagai acuan kearifan lokal.
Sedikitnya jumlah Pongolimoi tersebut mengindikasikan ancaman kepunahan. Abroorza berpendapat, salah satu aspek utama yang menyebabkan hal itu adalah tidak adanya generasi muda yang meneruskan kelestarian bahasa tersebut.
"Faktor utamanya adalah minimnya regenerasi dan masuknya arus modernisasi," imbuhnya.
Sesuatu yang ironis, ujar Abrorza, mengingat ketimbang menjadi penerus Kolimoi, pemuda-pemuda di desa tengah hutan itu lebih suka mendengarkan musik-musik terbaru menggunakan telefon genggam. Padahal desa yang masing-masing berpenduduk sekira 1000 jiwa itu tidak memperoleh sinyal telefon, kecuali di lokasi tertentu dengan waktu yang terbatas selama satu jam.
Kemusnahan Kolimoi, artinya kemusnahan bahasa Kandan Kolimoi. Bila Kolimoi punah, punah juga ritual adat. Bila ritual adat punah, kebudayaan Uud Danum akan berubah. "Bayangkan masyarakat jawa tanpa wayang. Seperti itulah yang mungkin terjadi," pungkasnya.
Hasil penelitian tersebut dipublikasikan dalam sebuah seminar di Hotel Merpati, Pontianak, Kalimantan Barat. Seminar diprakarsai oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalimantan Barat.
sumber:okezone
Tidak ada komentar:
Posting Komentar