Dalil Keempat
Firman-Nya U :
وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلاَ
يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ
عَلَى جُيُوْبِهِنَّ وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُوْلَتِهِنَّ
أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ
بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِيْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِيْ
أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانِهِنَّ أَوِ
التَّابِعِيْنَ غَيْرِ أُولِي اْلإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ
الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلاَ يَضْرِبْنَ
بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّ وَتُوْبُوْا إِلَى
اللهِ جَمِيْعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ .
Artinya : Dan katakanlah kepada wanita
yang beriman,” Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,
dan janganlah menampakan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah
mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera
suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara-saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita),
atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka
memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung. (An Nur : 31)
Dalam
ayat yang mulia ini ada tiga tempat yang bisa
menunjukan wajibnya berhijab
:
Pertama
: Firman-Nya,” dan janganlah mereka menampakan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya (وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا ). Telah shahih dari Ibnu Masud t dan yang lainnya penafsiran zinah(perhiasan) dengan
pakaian luar wanita, dan adapun orang yang mengatakan bahwa,” yang (biasa)
nampak dari padanya,” adalah wajah dan kedua telapak tangan, maka dia telah
melandaskan/membangun pendapatnya pada hal berikut ini :
1. Atsar-atsar yang dhaif sanadnya yang dinisbatkan kepada Ibnu
Abbas t,
sebagaiman nanti Insya Allah akan kami jelaskan.
2. Atau mungkin berdasarkan pentarjihan dengan ilzam fiqhi, berlandaskan pada : Bahwa aurat wanita di
dalam shalat adalah seluruh aggota badannya selain wajah dan telapak tangannya,
dan bahwa ihramnya adalah pada wajah dan kedua telapak tangannya, mereka
mengatakan : Maka mesti dari itu bolehnya menampakan keduanya.
Ada
hal yang menarik perhatian, yaitu bahwa banyak para mufassirin yang
terjebak dalam kerancuan/kintradiktip (tanaqudl) pada pendapat mereka
sendiri, yaitu mereka dalam membahas sebagian ayat-ayat hijab menyatakan
wajibnya berhijab atas seluruh wanita, namun dalam tempat lain dalam pembahasan
yang sama mereka mentarjih madzhab yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas t dan yang lainnya, kemudian mereka berhujjah dengan ilzam fiqhi
yang tidak mesti (ghair lazim) karena adanya perbedaan antara
keadaan di luar shalat dengan keadaan di dalam shalat.
Dan
sebagian mereka mentarjih bolehnya membuka wajah dan kedua telapak tangan
karena alasan kebutuhan terkadang yang menuntut untuk menampakan keduanya,
seperti waktu khithbah, kesaksian, pengobatan, dan lain-lain, dan
jawaban atas hal ini adalah bahwa hal itu diberikan dispensasi (rukhshah)
dalam batas-batas kebutuhan saja. Wallahu ‘Alam.
Ke
dua : Firman-Nya U : Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,”( وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ )
Ke
tiga : Firman-Nya U : Dan janganlah mereka
memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.”( وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ
زِيْنَتِهِنَّ ).
Tahqiq atsar-atsar yang dinisbatkan kepada Ibnu
Abbas t dan atsar-atsar yang disandarkan kepada Ibnu Masud
t dalam tafsir firman-Nya U : إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
Fadlilatu Asy Syaikh Abdul Qadir Ibnu Habibullah
As Sindi pengajar di Ma’had Al
Haram Al Makki Asy Syarif saat naqd (mengoreksi) atsar : Sesungguhnya
wanita bila sudah sampai pada usia haidh maka tidak layak dilihat darinya
kecuali ini dan itu, dan beliau mengisyaratkan pada wajah dan kedua telapak
tangannya,” (إن المرأة إذا بلغت المحيض لم يصلح أن يرى منها إلا
هذا وهذا . وأشار إلى وجهه وكفيه )[1]
: Tidak ada hadits marfu’ yang shahih
yang semakna dengan hal ini kecuali riwayat yang datang dari Ibnu Abbas t dalam atsar yang dikeluarkan oleh Al Imam Abu Ja’far Muhammad Ibnu
Jarir At Thabari dalam tafsirnya[2]dan
Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra[3],
Al Imam Ibnu Jarir Ath Thabari berkata : Telah memberitahukan kepada kami Abu
Kuraib, berkata : Telah memberitahukan kepada kami Marwan, berkata : Telah
memberitahukan kepada kami Muslim Al Mullaa’i Al A’war dari Said Ibnu Jubair
dari Ibnu Abbas, beliau berkata : وَلاَ
يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا (dan janganlah mereka menampakan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya) beliau berkata : Celak dan cincin,” Saya berkata (As Sindi) : Isnadnya dlaif
jiddan (lemah sekali), bahkan munkar, Al Imam Adz Dzahabi berkata
: Muslim Ibnu Kaisan Abu Abdillah Adl Dlabbi Al Kufiy Al Mulla’i Al A’war dari
Anas dan Ibrahim An Nakha’i, Al Imam Al Hafidz Abu Al Hajjaj Al Muzzi dalam
biografi Muslim Ibnu Kaisan Al Mulla’i dia meriwayatkan dari Said Ibnu Jubair-
dan dia meriwayatkan isnad ini dari Said Ibnu Jubair[4].
Al
Imam Adz Dzahabi berkata dalam biografinya (Muslim Al Mulla’i) :
(Dari
Ats Tsauri, dan Waki’ Ibnu Al Jarrah Ibnu Mulaih, Al Fallas berkata : Matrukul
Hadits.
Ahmad
berkata : Laa yuktabu hadutsuhu (haditsnya
tidak usah ditulis).
Yahya berkata : Tidak tsiqah.
Al Bukhari berkata : Mereka memperbincangkannya.
Yahya berkata lagi : Mereka mengklaim bahwa dia telah ngawur (ikhtilath).
Dan
Yahya Al Qathan berkata : Hafsh Ibnu Giyats memberitahuku, dia berkata :
saya berkata kepada Muslim Al Mulla’i : Dari siapa engkau mendengar ini ? Dia
berkata : Dari Ibrahim dari Alqamah,” Kami berkata : Alqamah dari siapa ? Dia
berkata : Dari Abdullah,” kami berkata : Abdullah dari siapa ? Dia berkata :
Dari Aisyah,”
An
Nasa’i berkata : Matrukul Hadits.[5])
Saya
katakan : Isnad ini gugur (saqith) tidak layak untuk
menjadi mutaba’at dan syawahid sebagaimana yang tidak samar lagi
bagi orang yang berkecimpung dalam bidang ilmu yang mulia ini.
Al
Imam Al Hafidz Al Baihaqi berkata dalam As Sunan Al Kubra : Telah
memberitahukan kepadaku Abu Abdillah Al Hafidz dan Abu Said Ibnu Abi Amr,
keduanya berkata : Telah memberitahukan kepada kami Abu Al Abbas Muhammad Ibnu
Yaqub, telah memberitahukan kepada kami Ahmad Ibnu Abdil Jabbar, telah
memberitahukan kepada kami Hafsh Ibnu Ghiyats dari Abdullah Ibnu Muslim Ibnu
Hurmuz dari Said Ibnu Jubai dari Ibnu Abbas, beliau berkata : وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا (dan janganlah mereka
menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya) beliau berkata : Apa yang ada di telapak tangan dan wajah.”[6]
Saya katakan : Isnadnya Mudhlim dlaif
(gelap lagi lemah), karena dlaifnya dua orang perawi yaitu :
1. Ahmad Ibnu Abdil Jabbar Al ‘Aththaridiy.
Al
Imam Adz Dzahabi berkata : Ahmad Ibnu Abdil Jabbar Al ‘Aththaridiy
meriwayatkan dari Abu Bakar Ibnu ‘Iyasy dan orang-orang yang sethabaqah
dengannya, didlaifkan oleh banyak ulama.
Ibnu
‘Addi berkata : Saya melihat mereka ijma atas kedlaifannya,
dan saya tidak melihat dia memiliki hadits munkar, sebab mereka mendlaifkannya
karena dia tidak pernah bertemu dengan orang yang dia meriwayatkan hadits dari
mereka.
Ibnu Mathin
berkata : Dia suka berdusta.
Abu
Hatim berkata : Tidak kuat (laisa bilqawiyy).
Anaknya
Abdul Rahman berkata : Dulu saya mengambil hadis
darinya, dan kemudian tidak mengambilnya karena orang-orang mempermasalahkan.
Ibnu
‘Addi : Ibnu ‘Uqdah tidak mau meriwayatkan hadits darinya,
dan dia menyebutkan bahwa dia memiliki qimathrun (wadah dimana buku
dijaga) sehingga dia tidak segan-segan menyampaikan hadits dari siapa saja,
meninggal tahun 272 H[7].
Dan
Al Hafidz berkata dalam At Taqrib : Dlaif.[8]
2. Begitu juga ada dalam isnad Al Imam Al Baihaqi perawi yang bernama Abdullah
Ibnu Muslim Ibnu Hurmuz Al Makki dari Mujahid dan yang lainnya.
Al
Hafidz Adz Dzahabi berkata : Dia dianggap dlaif oleh
Ibnu Main, dan dia berkata : Dia suka memarfu’kan banyak sesuatu.
Abu
Hatim berkata : Tidak kuat (laisa bilqawiyy).
Ibnu
Al Madiniy berkata : Dia itu dlaif (dua kali) menurut
kami, dan beliau berkata lagi : Dlaif.
Dan
begitu juga dianggap dlaif oleh An Nasai.[9]
Al
Hafidz berkata dalam At Taqrib : Dlaif.[10]
Saya berkata :
Dua isnad ini keadaannya sangat jelek, hingga sampai pada derajat yang jauh yang menjadikannya tidak tidak bisa
dijadikan hujjah dan tidak usah ditulis, dan di sini masih ada beberapa isnad
yang derajat kedlaifan dan kemungkarannya tidak jauh berbeda dengan yang
tadi, sehingga bisa dikatakan bahwa penisbatan ini tidak benar kepada Ibnu
Abbas t,
dan seandainya juga benar penyandaran ini kepadanya tentu tidak bisa dijadikan
sebagai hujjah menurut ulama ahli hadits, apalagi keadaannya seperti ini. Dan
sungguh telah sah sanad-sanad kepada saudara sepupu Al Mushthafa
r
(Ibnu Abbas, maksudnya)dan kepada sahabat yang lainnya y sebaliknya dari makna yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir Ath Thabari
dalam tafsirnya, Al Baihaqi dalam Sunannya, serta Ibnu Abi Hatim dalam
tafsirnya. Ditambah apa yang telah tsabit dengan sanad-sanad yang shahihah
dari Rasulullah r sebagaimana yang akan ada penjelasannya tentang perintah beliau agar
wanita berhijab dan menutupi diri. Dan inilah yang pertama yang saya hadirkan
kepada para pembaca, yaitu atsar yang bersumber dari sebagian para sahabat y, diantaranya Abdullah Ibnu Masud t sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, beliau rahimahullah
berkata : Telah menceritakan kepada saya Yunus, dia berkata telah
memberitahukan kepada kami Ibnu Wahb,
dia berkata berkata telah memberitahukan
kepada kami Ats Tsauri dari Abu Ishaq Al Hamadaniy, dari Abi Al Ahwash
dari Ibnu Masud, beliau berkata :( وَلاَ يُبْدِيْنَ
زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا) (dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya) beliau berkata : Pakaian,”[11]
Saya berkata : Isnadnya sangat shahih sekali (Fi
Ghayatish Shihhah), dan atsar ini juga di tuturkan oleh Al Imam
Ibnu katsir dalam tafsirnya [12]kemudian
Al Imam Ibnu Jarir Ath Thabari menuturkan isnad lain dengan perkataannya :
Muhammad Ibnu Basyar telah mengabarkan kepada kami, dia berkata Abdul Rahman
telah memberitahukan kepada kami dari Sufyan dari Abu Ishaq dari Abu Al Ahwash
dari Abdullah seperti hal itu.
Saya berkata : Isnadnya sangat shahih sekali (Fi
Ghayatish Shihhah).
Dan
Al Imam As Sayuthi berkata : Ibnu Jarir Ath Thabari, Ibnu Al Mundzir, Ibnu Abi
Hatim, dan Al Baihaqi dalam Sunannya telah mengeluarkan (dengan sanadnnya) dari
Ibnu Abbas t berkenaan dengan firman-Nya U : ( وَلاَ يُبْدِيْنَ
زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا) (dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya) beliau berkata : Perhiasan
yang biasa nampak adalah wajah, kedua telapak tangan, dan celak mata,” terus
Ibnu Abbas t berkata : Maka yang ini (wajah, kedua telapak tangan, dan celak mata )
dia tampakan kepada orang yang masuk menemuinya, kemudian mereka (wanita) tidak
boleh menampakan perhiasannya kecuali kepada suaminya, atau ayah-ayahnya, dan
seterusnya (yang tercantum dalam ayat di atas).
Kemudian
beliau t
berkata : Dan perhiasan yang boleh ditampakan kepada mereka (mahram)
adalah kedua antingnya, kalungnya, dan gelangnya, dan adapun gelang kakinya,
tangannya, lehernya dan rambutnya maka hal itu tidak boleh ditampakan kecuali
kepada suaminya[13]
.
Saya
berkata : Riwayat Ibnu Abbas t ini –telah saya teliti sanadnya dalam tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari,
dan perawinya seluruhnya tsiqat, namun munqathi’, karena di dalamnya ada
Ali Ibnu Abi Thalhah yang meninggal tahun 143 H, dia meriwayatkan dari Ibnu
Abbas t
sedangkan dia tidak pernah bertemu dengannya, dan perantara keduanya adalah
Mujahid Ibnu Jabr Al Makkiy- dan beliau itu adalah imam besar tsiqat tsab
(kuat) tidak diragukan lagi- dan telah berhujjah dengan riwayat ini yaitu
riwayat Ali Ibnu Abi Thalhah dari Ibnu Abbas t Al Bukhari dalam Al Jami’ Ash Shahih[14]
beliau menuturkan dalam banyak tempat dalam kitabut tafsir secara ta’liq
meskipun tidak memenuhi syaratnya dalam Al Jami’ Ash Shahih-dikatakan oleh Al
Hafidh dalam At Tahdzib[15],
Al Imam Al Muzzi di dalam Tahdzib Al kamal berkata seraya mengisyaratkan kepada
riwayat tafsir ini < dalam biografi Ali Ibnu Abi Thalhah : Dia ini mursal
dari Ibnu Abbas dan di antara keduanya adalah Mujahid[16]>.
Dan telah berpegang kepada riwayat ini ‘Allamatu Asy Syam Muhammad Jamaluddin
Al Qasimiy di dalam tafsirnya[17],
Al Imam Al Qurthubiy dalam tafsirnya[18],
dan begitu juga Al Imam Ibnu Katsir dalam banyak tempat di tafsirnya, maka
kuatlah riwayat ini dan bisa dijadikan hujjah menurut kalangan ulama tafsir dan
lainnya, dan sesungguhnya dhahir Al Qur’an dan As Sunnah serta atsar
para sahabat dan para tabi’in menguatkannya, oleh sebab itu peganglah dia dan
jadikanlah sebagai pendekatan…[19]
(dinukil dari Risalatul Hijab karya As Sindiy).
Jawaban para ulama tentang perkataan Ibnu Abbas t seandainya benar penisbatannya kepada
beliau
Pertama : Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Ta’ala berkata : Dan salaf
berbeda pendapat tentang perhiasan yang biasa nampak (zinah dhahirah),
ada dua pendapat, Ibnu Masud mengatakan : Ia adalah pakaian, dan Ibnu Abbas
bersama orang yang sejalan dengannya berkata : Ia adalah apa yang ada di wajah
dan di kedua telapak tangan seperti celak dan cincin.
Beliau
(Ibnu Taimiyyah) berkata : Dan sebenarnya bahwa Allah telah menjadikan
perhiasan (zinah) itu dua macam, zinah dhahirah (perhiasan
yang biasa nampak) dan zinah ghair dhahirah (perhiasan
yang tidak biasa nampak), dan Dia membolehkan menampakan zinah dhahirah
kepada selain suami dan mahram-mahramnya, dan adapun zinah bathinah
(ghair dhahirah) maka tidak boleh dinampakan kecuali kepada suami
dan mahram-mahramnya.
Dan
sebelum ayat hijab turun, para wanita keluar dengan tidak mengenakan jilbab,
sehingga laki-laki bisa melihat wajah dan kedua tangannya, karena waktu itu
wanita dibolehkan menampakan wajah dan kedua telapak tangannya, sehingga waktu
itu dibolehkan melihatnya karena dibolehkan bagi wanita untuk menampakannya,
kemudian tatkala Allah U menurunkan ayat hijab dengan firman-Nya,” Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka", maka wanita menutupi diri dari
laki-laki, dan itu terjadi di kala Nabi r menikahi Zainab Bintu Zahsy radliyallahu
‘anha, maka Nabi r mengulurkan tirai dan melarang
Anas untuk melihatnya.
Dan tatkala Nabi r memilih Shafiyyah Bintu Huyayy
setelah itu pada tahun Khaibar para sahabat berkata : Bila beliau menghijabinya
berarti dia adalah Ummahatul Mu’minin (maksudnya wanita merdeka, pent), dan
kalau tidak menghijabinya berarti dia adalah budaknya, maka beliau pun
mengihijabinya.
Maka tatkala Allah U memerintahkan agar wanita tidak
ditanya/dipinta kecuali dari belakang hijab, dan Dia memerintahkan
isteri-isterinya, puteri-puterinya dan wanita kaum mu’minin supaya mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuhnya, sedang jilbab adalah mula’ah, yaitu yang
Ibnu Masud dan yang lainnya menamakannya rida, sedang orang umum
menyebutnya izar, yaitu izar yang besar yang menutup kepala dan
seluruh tubuhnya, Ubaidah dan yang lainnya telah menghikayatkan bahwa wanita
mengulurkannya dari atas kepalanya sehingga tidak nampak kecuali matanya, dan
diantara jenis pakainnya adalah niqab, adalah para wanita salaf mereka
memakai niqab (cadar), dan dalam hadits shahih, “ sesungguhnya wanita
yang sedang ihram tidak boleh memakai niqab dan kaos tangan,” Maka bila
mereka diperintahkan untuk memakai jilbab, dan ini adalah menutup wajah
atau menutup wajah dengan niqab, maka berarti wajah dan tangan termasuk zinah
(perhiasan) yang diperintahkan untuk tidak dinampakan kepada laki-laki yang
bukan mahram, maka oleh sebab itu tidak tersisa bagi laki-laki yang bukan
mahram kehalalan memandang kecuali kepada pakaian yang nampak. Berarti Ibnu
Masud menyebutkan akhir dari dua hal sedangkan Ibnu Abbas menyebutkan hal yang
awal dari dua hal itu.[20]
Kedua : Al ‘Allamah Abdul Aziz Ibnu Abdillah
Ibnu Baz rahimahullah berkata : (Dan adapun apa yang diriwayatkan
dari Ibnu Abbas t bahwa beliau menafsirkan,” kecuali
yang biasa nampak darinya,” dengan wajah dan kedua telapak tangan, maka itu
ditinjau dari sisi keadaan wanita sebelum turun ayat hijab, dan adapun setelah
itu maka Allah U telah memerintahkan wanita agar
menutupi seluruh tubuhnya, sebagaimana yang telah lalu dalam ayat-ayat yang
mulia dalam surat Al Ahzab, dan yang menunjukan bahwa Ibnu Abbas menghendaki
hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Ali Ibnu Abi Thalhah dari beliau,
berkata : Allah telah memerintahkan wanita kaum mu’minin bila mereka
keluar dari rumahnya untuk suatu keperluan agar menutup wajahnya dari atas
kepalanya dengan jilbab dan hanya menempakan satu mata saja.
Dan hal ini telah diingatkan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah dan ulama ahli tahqiq lainnya, dan inilah
kebenaran (haq) yang tidak diragukan
lagi, serta sudah pada ma’lum tentang fitnah dan kerusakan yang
ditimbulkan akibat para wanita membuka wajahnya dan kedua telapak tangannya.
Dan telah lalu Firman-Nya U,” Apabila kamu meminta sesuatu
(keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang
tabir,” tidak ada pengecualian di sana, dan ini adalah ayat muhkamah,
maka wajib berpegang kepadanya dan merujuk ke sana serta membawa hal lainnya
kepadanya. Hukum dalam ayat ini umum buat isteri-isteri Nabi r dan wanita kaum mu’minin, dan
telah lalu dalam tafsir surat An Nur hal yang menunjukan kepada hal ini.)[21]dan
penggabungan ini lebih utama, karena ada riwayat dari Ibnu Abbas sendiri,
beliau mengatakan,”Hendaklah dia mengulurkan jilbab ke wajahnya wala tadlrib
bih,” Rauh berkata dalam haditsnya : saya berkata :Apa artinya wala
tadlrib bih ? Maka beliau memperlihatkan kepada saya sebagaimana wanita
wanita mengenakan jilbab, terus memperlihatkan bagian jilbab yang ada di
pipinya seraya berkata : Dia menyambungkan dan mengencangkannya pada wajahnya
sebagaimana jilbab itu diuraikan kewajahnya,” Ini diriwayatkan oleh Abu Dawud
dalam Al Masa’il, beliau berkata : Telah memberitahukan kepada kami
Ahmad-yaitu Ibnu Muhammad Ibnu Hambal-berkata : Telah memberitahukan kepada
kami Yahya dan Rauh dari Ibnu Juraij beliau berkata : ‘Atha telah memberitahu
kami beliau berkata : Abu Asy Sya’tsa telah memberitahu kami bahwa Ibnu Abbas t berkata : Hadits tadi….,” Dan
sanadnya Shahih sesuai Syarat Al Bukhari dan Muslim.
Dan perkataan Ibnu Masud t dan yang sejalan dengannya
adalah pendapat yang benar dalam penafsiran ayat ini karena didukung dengan
ayat dalam surat Al Ahzab, yaitu firman-Nya,” Hai Nabi katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang
mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka".
Al Imam Abu Al Faraj Jamaluddin Abdurrahman
Ibnu Al Jauzi rahimahullah
: Firman-Nya,” وَلاَ يُبْدِيْنَ
زِيْنَتَهُنَّ,”
maknanya : Janganlah mereka menampakannya kepada laki-laki yang bukan mahram,
dan perhiasannya itu ada dua macam : Khafiyyah (tersembunyi)
seperti gelang, anting, gelang lengan bagian atas (dumluj), kalung dan
lain-lain, dan Dhahirah (perhiasan yang nampak) yang diisyaratkan
oleh firman-Nya,”kecuali yang biasa nampak darinya,” dan dalam hal ini
ada tujuh pendapat :
1. Itu adalah pakaian (tsiyab), ini diriwayatkan oleh Abu Al Ahwash
dari Ibnu Masud, dan satu ungkapan beliau berkata : rida’ (jubah lebar)
2. Itu adalah telapak tangan,
cincin, dan wajah.
3. Celak dan cincin, keduanya
diriwayatkan oleh Said Ibnu Jubair dari Ibnu Abbas.
4. Qulban, yaitu dua gelang, cincin,
dan celak, ini dikatakan oleh Al Miswar Ibnu Makhramah.
5. Celak, cincin, dan dan semir, ini
dikatakan oleh Mujahid.
6. Cincin dan gelang, ini dikatakan
oleh Al Hasan.
7. Wajah dan kedua telapak tangan,
ini dikatakan oleh Adl Dlahhak.
Al Qadli Abu Ya’la berkata : Dan pendapat yang
pertama adalah yang paling mendekati pada kebenaran, dan Al Imam Ahmad telah
menetapkan hal ini, beliau berkata : Zinah dzahirah adalah
pakaian, dan segala sesuatu dari badan wanita adalah aurat hingga kukunya juga,
dan hal ini memberikan faidah atas haramnya memandang sesuatu dari
(badan wanita lain) tanfa ada udzur (alasan syar’i), namun bila
ada udzur seperti ingin menikahinya atas menegakan kesaksian atasnya,
maka dalam kedua keadaan ini dia boleh melihat kepada wajahnya saja, adapun
memandang kepadanya tanpa udzur maka itu tidak boleh baik disertai
syahwat maupun tidak, dan sama saja apakah itu wajah, kedua telapak tangan, dan
anggota badan yang lainnya. Kemudian bila dikatakan : Kenapa shalat tidak batal
dengan membuka wajahnya ? maka jawabnya : Sesungguhnya menutupinya saat shalat
ada masyaqqah maka dima’afkan dari hal itu.[22]
Al Imam Ibnu ‘Athiyyah berkata : Dan sesuai lafadz ayat
itu maka jelaslah bagi saya bahwa wanita diperintahkan agar tidak menampakan
wajahnya, dan dia harus berusaha menyembunyikan segala sesuatu yang masuk dalam
kategori zinah, dan pengecualian itu tejadi pada sesuatu yang mesti nampak
karena dharuratnya bergerak dan lain-lain, maka sesuatu yang nampak dari
wanita atas dasar hal ini karena situasi
dharurat maka itu dimaafkan.[23]
Al Imam Al Qurthubi rahimahullah
mengomentarinya seraya berkata : Saya berkata : Ini adalah perkataan yang baik,
hanyasannya tatkala wajah dan kedua telapak tangan biasanya nampak secara adat
dan dalam ibadah, yaitu dalam shalat dan haji, maka pantas sekali pengecualian
tadi kembali kepada keduanya[24],
ini ditunjukan oleh hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Aisyah radliyallahu anha-dan
beliau menuturkan hadits Asma[25]
sambil berdalil dengannya, sampai beliau rahimahullah berkata : Dan
Ulama dari madzhab kami Khuwaiz Ibnu Mindad berkata : Sesungguhnya wanita bila
cantik dan dihawatirkan fitnah karena wajah dan kedua telapak tangannya maka
dia harus menutupinya, namun bila wanita itu tua renta atau jelek maka boleh
baginya membuka wajah dan kedua telapak tangannya.[26]
Al Baidlawi rahimahullah berkata
dalam tafsirnya : ,”Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya,” seperti
perhiasan emas/perak (huliyy), pakaian, dan celupan pacar (semir)
apalagi tempat-tempatnya kepada orang yang tidak halal menampakan kepadanya,” kecuali
yang biasa nampak darinya,” ketika melakukan aktifitas-aktifitas seperti
pakaian dan cincin, karena terdapat kesulitan dalam menutupinya.
Dan dikatakan : Yang dimaksud
dengan zinah itu adalah tempatnya dengan taqdir membuang mudlaf[27],
atau semua yang mencakup kecantikan yang sifatnya alami dan dibuat-buat,
sedangkan yang dikecualikan adalah wajah dan telapak tangan karena keduanya
bukan termasuk aurat, namun yang lebih jelas bahwa ini (perkataan bahwa wajah
dan telapak tangan bukan aurat) adalah di dalam shalat bukan pada pandangan (laki-laki
yang bukan mahram), karena sesungguhnya seluruh badan wanita merdeka itu adalah
aurat yang tidak halal sedikitpun dilihat oleh selain suaminya dan mahramnya
kecuali karena dlarurat, seperi mengobati dan menunaikan persaksian….
Asy Syihab dalam syarhnya berkata : Dan
madzhab Asy Syafiiy sebagaimana dalam kitab Ar Raudlah dan yang lainnya bahwa
seluruh badan wanita merdeka adalah aurat termasuk wajah dan kedua telapak
tangannya secara muthlaq, dan dikatakan (dalam perkataan yang
lemah) : Boleh melihat wajah dan telapak tangan bila tidak takut fitnah, dan
sesuai perkataan pertama : Keduanya aurat kecuali dalam shalat, maka tidak
batal shalatnya dengan membukanya.
Beliau berkata lagi : Firman-Nya,”
kecuali yang biasa nampak darinya,” yaitu tanpa sengaja menampakannya
seperti terbuka oleh angin, dan pengecualian dari hukum yang sudah pasti itu
adalah dengan jalur isyarat, yaitu dia (wanita) dikenakan sangsi dengan
sebab (menampakannya secara sengaja) di hari pembalasan, dan termasuk dalam
hukum pengecualian adalah sesuatu yang mesti dinampakannya dalam rangka
melaksanakan persaksian dan pengobatan dokter.
Beliau berkata lagi : perkataannya : Dan
dikatakan : yang dimaksud dengan zinah adalah mawadli’uha
(tempat-tempatnya),,, dan dalam satu manuskrip : mawaqi’uha, yang
maknanya sama, imilah yang disetujui oleh Az Zamakhsyari sedang beliau ini
berada di atas madzhab Abu Hanifah rahimahullah, dan beliau
menjadikannya sebagai kinayah dari apa yang telah disebutkan seperti naqal
jaib, dan ini adalah majaz (kiasan) dari penyebutan sesuatu yang
menempati dan yang dimaksud adalah tempatnya. Dan dikatakan : Ini adalah dengan
taqdir (mengkira-kirakan) adanya mudlaf sebagaimana yang
disebutkan oleh Mushannif rahimahullah, dan dalam kitab Al Intishaf :
Fiman-Nya,” dan janganlah mereka memukulkan kaki-kaki mereka………..,” memastikan
bahwa menampakan zinah itu adalah yang dimaksud dari pelarangan, dan seandainya
dibawa pada kemungkinan yang telah disebutkan maka mesti adanya kehalalan bagi
laki-laki lain untuk melihat apa yang nampak dari angota-angota badan tempat
perhisan tersebut, dan ini adalah pendapat yang bathil karena seluruh badan
wanita adalah aurat menurut Asy Syafiiy dan Malik, dan adapun menampakan
perhiasan saja (maksudnya kalung, gelang, cincin, anting-anting dan sebagainya)
maka tidak ada perbedaan atas kebolehannya, karena tidak haram memandang gelang
wanita yang sedang dijual pada tangan laki-laki. Adapun (perkataan yang
mengatakan sebab tidak bolehnya menampakan perhiasan itu) karena membuat hati
orang-orang fakir bersedih maka ini adalah pernyataan yang sama sekali tidak
berdasar, makanya Mushannif mengatakannya dengan uslub melemahkan (tamridl)
karena berbeda dengan madzhabnya, dan ini perlu ditinjau. Sedang ziiniyyah
adalah bentuk nisbat dari zinah, dan dalam satu manuskrif : tazyiniyyah,,,dan
perkataan mushannif : dan yang dikecualikan,,,yaitu berdasarkan pendapat Abu
Hanifah rahimahullah, dan kedua telapak kaki serta kedua lengan dalam
satu riwayat. Perkataannya : Badan wanita merdeka adalah aurat,,, sebagaimana
dalam hadits,” Wanita adalah aurat masturah,” diriwayatkan oleh At
Tirmidzi dari Abdillah Ibnu Masud t, namun tidak terdapat lafadh masturah,
dan apa yang disebutkannya berupa perbedaan antara aurat di dalam shalat dan di
luar shalat adalah madzhab Asy Syafiiy rahimahullah, dan di dalamnya ada
perkataan Ibnu Al Hummam, coba sebaiknya rujuk.[28]
Asy Syaikh Al ‘Allamah Muhammad Ibnu Ahmad
Ibnu Juzzi Al Kalbiy rahimahullah berkata :,” Dan janganlah mereka menampakan
perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” Dia melarang menampakan
perhisan secara umum kemudian mengecualikan perhisan yang biasa nampak darinya,
yaitu yang mesti kelihatan dikala bergerak atau ketika memperbaiki keadaannya
dan lain-lain, maka dikatakan : Kecuali yang bisa nampak adalah pakaian, oleh
sebab itu wajib menutupi seluruh badan, dan ada dikatakan : Pakaian, wajah,
kedua telapak tangan, dan ini adalah Madzhab Malik, karena beliau membolehkan
membuka wajah dan kedua telapak tangannya di dalam shalat, dan Abu Hanifah
menambahkan dua telapak kaki.[29]
Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata :
Ini dalah perintah dari Allah bagi wanita-wanita mu’minah, dan sebagai ghirah
dari-Nya terhadap suami-suami mereka hamba-hamba-Nya yang beriman, serta
sebagai pembeda bagi wanita mu’minah dari sifat wanita masa jahiliyah dan
perlakuan wanita musyrikah.
Beliau rahimahullah berkata : ,”Dan
janganlah mereka menampakan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” artinya
: Janganlah mereka menampakan sedikitpun dari perhiasannya kepada laki-laki
lain kecuali perhiasan yang tidak mungkin disembunyikan, Ibnu Masud berkata :
Seperti rida’ dan tsiyab yaitu yang biasa dipakai oleh wanita
Arab berupa jubah yang merangkap pakaiannya, dan bagian pakaian bawah yang yang
terkadang nampak, maka dalam hal ini dia tidak berdosa, karena hal ini tidak
mungkin disembunyikan, dan sama dalam hal ini yaitu pakaian wanita berupa jubah
yang biasa nampak dan bagian pakaian yang tidak mungkin disembunyikan, dan
orang yang menyatakan seperti perkataan Ibnu Masud adalah : Al Hasan, Ibnu
Sirin, Abu Al Jauzaa, Ibrahim An Nakhai dan lain-lain.[30]
As Sayuthi rahimahullah berkata : وَلاَ يُبْدِيْنَ janganlah mereka menampakan زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا yaitu wajah dan kedua telapak tangan maka boleh laki-laki lain
melihatnya bila tidak hawatir fitnah menurut satu pendapat, dan pendapat kedua
: Haram karena itu adalah sumber fitnah, dan inilah yang kuat demi menutup
pintu (fitnah).[31]
(Ibnu
Abi Hatim dan As Sayuthi meriwayatkan dalam Ad Durr dari Said Ibnu
Jubair secara mauquf, bahwa beliau berkata : { زِيْنَتَهُنَّ وَلاَ
يُبْدِيْنَ} maknanya
: Janganlah mereka menanggalkan jilbabnya yaitu qina’ dari atas
kerudungnya {.. إِلاَّ لِبُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ },”kecuali kepada …,” beliau berkata : Maka hal itu
(membuka kepada selain yang disebutkan) adalah diharamkan.)[32]
Al
‘Allamah Ibnu Muflih Al Hanbali rahimahullah U berkata :
(Ahmad berkata : Dia tidak boleh menampakan perhiasannya kecuali kepada orang
yang disebutkan di dalam ayat itu, dan Abu Thalib menukil perkataannya :<
kukunya adalah aurat, bila dia keluar maka jangan menampakan sesuatupun , tidak
pula sepatunya (khuff), karena khuff ini menjiplak bentuk telapak
kakinya > dan saya lebih menyukai bila dia itu menjadikan pada baju
lengannya kancing pas tangannya. Al Qadli menguatkan perkataan orang yang
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan perhiasan yang biasa nampak itu adalah
pakaian berdasarkan perkataan Ibnu Masud dan yang lainnya, tidak perkataan
orang yang menafsirkannya dengan huliyy (perhisan seperti cincin,
gelang, dll) atau dengan sebagian anggota tubuh, karena itu termasuk zinah
khafiyyah (perhiasan yang tersembunyi), beliau berkata : Hal ini telah
dinyatakan dengan jelas oleh Ahmad, beliau berkata : Perhiasan yang biasa
nampak adalah pakaian, dan seluruh anggota tubuhnya adalah auarat, termasuk
kukunya.)[33].
Al
‘Allamah Al Kasymiri rahimahullah berkata :
(Bila anda mengatakan : Dan bila boleh menampakan anggota-anggota badan ini
secara muthlaq maka apa artinya pengkhususan dan pengecualian tersebut ?
Saya katakan : Dan siapa yang mengklaim bahwa Al Qur’an menganjurkan mereka
(wanita) untuk membukanya ? namun konteks itu berkenaan dengan menampakan perhiasan bagi orang yang
dibolehkan di saat dlarurat, adapun orang yang tidak dlarurat
maka hukum yang berlaku bagi mereka adalah seperti yang dijelaskan dalam ayat
yang lain, yaitu (ayat) penguluran jilbab karena hal itu lebih tertutup
baginya, dan bila boleh juga baginya membukanya, namun karena hal itu bisa
menimbulkan fitnah maka Al Qur’an sangat menekankan untuk menutupinya dalam
setiap keadaan.)[34]
Dan
beliau rahimahullah berkata lagi : ( Sebab saya mengatakan : Sesungguhnya
membuka wajah itu boleh seandainya tidak ada fitnah berdasarkan hadits Fadl
Ibnu Abbas dan seorang pemudi pada waktu haji, maka Nabi r memalingkan wajahnya darinya dan berkata : Saya hawatir setan
mengelabui antara mereka berdua,” maka pahamilah dan berterima kasih.)[35]
Al
Alusi rahimahullah
berkata : ( Dan Madzhab Asy Syafiiy-semoga Allah merahmatinya-
sebagaimana dalam kitab Az Zawajir bahwa wajah dan telapak tangan baik atas
maupun bawah sampai pergelangan dari wanita meskipun dia itu budak adalah aurat
dalam pandangan (laki-laki yang bukan mahram,pent) menurut pendapat yang
paling shahih, meskipun keduanya (wajah dan telapak tangan) bukan aurat di
dalam shalat bagi wanita merdeka........sebagian kecil pengikut madzhab Syafiiy
membolehkan melihat wajah dan telapak tangan dengan syarat aman dari fitnah,
namun pendapat ini tidak dianggap dalam madzhab mereka (madzhab Asy Syafiiy),
dan sebagian tokoh mereka menafsirkan apa yang biasa nampak dengan wajah dan
kedua telapak tangan setelah menuturkan ayat itu (An Nur : 31) sebagai dalil
bahwa aurat wanita itu adalah selain keduanya, dan dia menjadikan kehawatiran
timbulnya fitnah sebagai alasan haramnya memandang keduanya, maka itu
menunjukan bahwa tidak semua yang haram dilihat itu adalah aurat. Namun anda
mengetahui bahwa pembolehan menampakan wajah dan kedua telapak tangan sesuai
tuntutan ayat menurut mereka beserta perkataan mereka atas haramnya memandang
kedua anggota badan itu secara muthlaq sungguh sangat jauh sekali
(pertentangannya), maka perhatikanlah[36],
dan ketahuilah bahwasannya bila yang dimaksud adalah larangan menampakan
anggota-anggota badan tempat perhiasan itu, dan dikatakan termasuk di dalamnya
wajah dan kedua telapak tangan dan memastikan perkataan bahwa keduanya adalah
aurat dan haram menampakannya kepada selain orang-orang yang dikecualikan
sesudahnya maka bisa jadi pengecualian dalam firman-Nya,” kecuali yang biasa
nampak darinya,” adalah dari hukum yang sudah tetap dengan cara isyarat yaitu adanya
sangsi di Hari pembalasan, dan berarti maknanya adalah : Bahwa yang nampak
darinya tanpa sengaja menampakannya seperti terbuka oleh angin, maka mereka
tidak terkena sangsi dengannya di hari kemudian, dan sama dalam kategori hukum
ini adalah apa yang mesti ditampakan dikala melakukan persaksian atau menjalani
pengobatan, Ath Thabrani telah meriwayatkan begitu juga Al Hakim dan beliau
menshahihkannya, Ibnu Al Mundzir dan Ulama lainnya dari Ibnu masud bahwa yang
dimaksud dengan apa yang biasa nampak adalah pakaian dan jilbab,
dan dalam satu riwayat adalah pakaian saja, dan begitu juga Al Imam
Ahmad membatasi pada pakaian saja, dan penamaan pakaian dengan zinah
(perhiasan) itu telah ada dalam Firman-Nya: خُذُوْا
زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ (pakailah pakaian yang indah di setiap (masuk) masjid,” Al A’raf :31 ) sesuai dalam kitab Al Bahr)[37]
Asy
Syaikh Abu Hisyam Al Anshari : ( وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا ) Ini adalah ayat pertama dari tiga ayat sesuai
susunan Al Qur’an, beberapa riwayat yang ada bisa dijadikan pendekatan bahwa
ayat ini diturunkan sebelum ayat penguluran jilbab (Al Ahzab : 59), padahal
riwayat-riwayat yang lain memberikan indikasi bahwa ayat itu diturunkan sesudah
ayat penguluran, dan bagaimanapun juga
dua keadaan itu tetap masih bisa dibawa kepada makna yang shahih, oleh
sebab itu kita tidak begitu penting membahasnya dari sisi ini.
Dan
ayat ini memerintahkan wanita-wanita mu’minat agar menyembunyikan perhiasan (zinah)
seluruhnya, sama saja baik yang kita
maksud dengan zinah di sini adalah zinah khalqiyyah (bawaan)
seperti wajah, dua mata, hidung, dua bibir, rambut, dua pipi, dua telinga, dua
pelipis dan anggota badan wanita lainnya, atau yang kita maksud adalah zinah
muktasabah (perhiasan yang diusahakan) seperti gelang, cincin, semir, celak, fatkh,
qulb, dumluj, anting-anting, iklil, pakaian yang terhiasi
dan lain-lain, sesungguhnya ayat ini memerintahkan agar menyembunyikan seluruh
perhiasan tanpa membedakan satu perhiasan dengan perhiasan yang lainnya,” kecuali
yang biasa nampak darinya,”, sedangkan yang biasa nampak itu masih mubham
(belum jelas) yang belum ditafsirkan oleh Al Kitab dan As Sunnah, bahkan
membiarkannya dalam kemubhamannya, dan bangkitlah para sahabat dan para
tabiin dan para ulama ahli tafsir menguak kemubhamannya, dan tak diragukan
lagi bahwa bila mereka ijma atas sesuatu tentu sangat cukup dan memuaskan,
serta tentu itu bisa menguak kemubhamannya dan pertentangan sekaligus,
akan tetapi Allah menghendaki kemubhaman ini tidak terkuak sebagai
rahmat terhadap umat ini, maka pendapat-pendapat mereka bertentangan dan
bersebrangan sehingga hal itu berhak untuk kita biarkan pada keadaannya dan
kita kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tatkala kita kembalikan kepada
Allah dan Rasul-Nya ternyata kita dapatkan
kemubhaman ini tetap pada keadaannya, dan anda akan mengetahui
bahwa tetapnya seperti itu adalah baik, dan marilah kita membahas satu sisi
yang lain.
Sesungguhnya
Allah U
tatkala melarang menampakan perhiasan Dia menyandarkan pekerjaan kepada wanita,
dan mendatangkan dengan fiil muta’addi, namun tatkala Dia mengecualikan
Dia tidak mengatakan,” kecuali yang mereka tampakan darinya,” namun Dia
mengatakan,” kecuali yang biasa nampak darinya,” Dia berpaling dari
mempergunakan Fiil (kata kerja) muta’addiy kepada Fiil
yang lazim dan tidak menyandarkannya kepada wanita, dan tuntutan ini
bahwa wanita diperintahkan agar menutupi seluruh perhiasannya secara muthlaq,
dan mereka tidak mempunyai keleluasaan sedikitpun dalam menampakan
perhiasannya, ya ! sesungguhnya dia seandainya komitmen menutupi perhiasannya,
dan membatasi diri dengannya, kemudian sebagian perhiasannya itu nampak tanpa
kecerobohan dalam menutupinya dan tanpa
sengaja menampakannya, maka sesungguhnya dia tidak berhak dicela dan
dikenakan sangsi nanti di sisi Allah U, inilah yang dipahami dari konteks ayat itu, dan inilah yang dimaksud
dengan susunan kalimat.
Dan
dari sinilah diketahui bahwa semua perhiasan yang memungkinkan bagi wanita
untuk menyembunyikannya maka dia
diperintahkan untuk menyembunyikannya, sama saja apakah itu wajah, kedua
telapak tangan, celak, cincin, kedua gelang, dan sesungguhnya dia bila
melakukan taqshir (mengenteng-enteng) dalam menyembunyikan perhiasan
seperti ini dan dia membukanya dengan sengaja maka dia dikenai dosa, dan
bahwasannya semua perhiasan yang tidak mungkin menyembunyikannya – seperti
pakaian luar umpamanya – atau mungkin menyembunyikannya namun perhiasan itu
terbuka tanpa ada unsur kesengajaan si wanita untuk membukanya atau dia tidak
merasa bahwa itu terbuka maka dia tidak
berdosa dan tidak pantas mendapatkan celaan, sebagaimana juga dia tidak berdosa
dan tidak tercela bila membukanya secara sengaja untuk suatu keperluan, atau
mashlahat yang memaksanya untuk membukanya, maka seolah-olah si wanita tidak
secara langsung dan tidak sengaja membukanya namun kebutuhan dan mashlahatlah
yang membukanya, oleh sebab itu dia tidak tercela, jadi firman-Nya U ,” kecuali yang biasa nampak darinya,” termasuk dalam makna
firman-Nya,”Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kemampuannya,”
Kesimpulan
bahwa zinah itu ada dua macam, macam
yang mungkin disembunyikan, maka wanita diperintahkan untuk menutupi zinah
macam ini kapanpun dia berada, dan macam kedua adalah zinah yang tidak
mungkin disembunyikan atau mungkin menyembunyikannya namun terkadang terbuka
tanpa ada unsur kesengajaan si wanita untuk membukanya, atau ada kebutuhan yang
mendesak wanita untuk menampakannya, maka zinah macam ini adalah yang
dimaksud dengan firman-Nya U,” Yang biasa nampak darinya,” si wanita tidak terkena sangsi dosa
karena sebab perhiasan (zinah) ini nampak. Dan tatkala zinah
macam ini berbeda-beda sesuai keadaan, kebutuhan dan mashlahat dan tidak
mungkin membatasinya dengan batasan tertentu yang tidak menerima kelebihan dan
pengurangan maka Allah dan Rasul-nya membiarkannya pada kemubhamannya
sebagai kemudahan bagi umat ini dan menjauhi dari menyulitkannya.
Dan
hal itu diberi contoh dengan pakaian luar, atau anggota tubuh yang terbuka
angin tanpa sengaja, memandang wanita yang dikhithbah sebelum menikahinya, atau
wanita membuka sebagian anggota badannya dihadapan dokter untuk tujuan
pengobatan, atau membuka wajah dan kedua telapak tangan di hadapan saksi, ini
dan hal yang serupa merupakan keadaan yang memaksa wanita untuk membuka
sebagian anggota tubuhnya yang harus ditutupi secara ijma, dan tidak ada dosa
dan celaan atasnya dalam gambaran-gambaran itu, karena sesungguhnya itu semua
perhiasan-perhiasan yang tampak tanpa ada unsur kehendaknya.
Nah
dari sini jelaslah bahwa menentukan,” Yang biasa nampak darinya,” dengan
wajah dan kedua telapak tangan, atau cincin dan kedua gelang atau celak dan
semir dan lain-lain adalah tidak benar, tetapi yang benar adalah membiarkannya
di atas kemubhaman dan keumumannya, dan bahwa hal itu mencakup seluruh badan
wanita tergantung kebutuhan dan keadaan, dan sesungguhnya orang-orang yang
membatasinya pada anggota tertentu telah jatuh dalam tafrith, namun di
sisi lain mereka juga jatuh dalam ifrath (berlebih-lebihan) karena
mereka membolehklan menampakan bagian badan ini secara muthlaq baik ada
hajat yang mendesak untuk membukanya ataupun tidak, padahal Allah U tidak memberikan kebebasan kepada wanita untuk menampakan sedikitpun
dari perhiasannya, namun hanya memberikan maaf kepada mereka atas sesuatu yang
nampak dengan sendirinya dari perhiasan-perhiasan itu.
Dan
bila telah jelas makna ayat tadi maka hendaklah pembaca yang budiman selalu
ingat bahwa Firman-Nya,”Dan janganlah mereka menampakan,” adalah fi’il
mudlari’ yang mengandung makna nahyu (larangan) sedang larangan
itu menunjukan keharaman, dan bila larangan itu datang dengan bentuk mudlari
maka menunjukan larangan yang sangat. Jadi ayat itu sangat jelas sekali
menunjukan bahwa menampakan perhiasan itu adalah haram atas wanita, maka dari
itu, ini adalah merupakan dalil wajibnya hijab dan bahwa sesungguhnya wajah dan
kedua telapak tangan adalah termasuk di dalamnya.
Dan
orang-orang yang berdalih dengan ayat ini atas bolehnya menampakan wajah dan
kedua telapak tangan, sama sekali saya tidak melihat sedikitpun sesuatu yang
memuaskan, namun yang mereka jadikan sandaran adalah pemalingan ayat dari
maknanya yang manshush (jelas) kepada makna lain seraya berdalil dengan
perkataan Ibnu Abbas t dan para sahabatnya, sedangkan perkataan Ibnu Abbas sendiri menolak apa
yang mereka kemukakan. Itu dikarenakan Ibnu Abbas dan sejumlah
murid-muridnya menafsirkan penguluran
jilbab (dalam surat Al Ahzab : 59 pent) dengan menutupi wajah, dan tidak samar
bagi mereka bahwa sesungguhnya mereka menafsirkan perintah dari perintah-perintah
Allah U,
dan sesungguhnya perintah-Nya U adalah menunjukan suatu kewajiban, dan sesungguhnya Allah mewajibkan
hal itu untuk membedakan antara wanita merdeka dengan budak, dan sangat tidak
mungkin memalingkannya dari batas kewajiban kepada sekedar sunnah saja, karena
sudah barang tentu tujuan yang dimaksud tersebut akan hilang. Apakah mungkin
mereka (Ibnu Abbas dan murid-muridnya) mengeluarkan pernyataan yang
kontradiksi, mereka mengatakan wajibnya menutup wajah dan sekaligus mengatakan
boleh membukanya ? Sama sekali tidak mungkin,” namun bisa dijadikan pendekatan
dari perkataan Ibnu Abbas bahwa beliau berpendapat bahwa boleh membukanya
karena dlarurat, Ibnu Jarir telah meriwayatkan darinya dalam penafsiran
Firman-Nya,” Dan janganlah mereka menampakan perhiasan mereka kecuali apa yang
biasa nampak darinya,” beliau berkata : Dan perhiasan yang biasa nampak
adalah wajah, celak mata, semir telapak tangan, dan cincin, ini boleh dia
tampakan di dalam rumahnya kepada orang yang masuk menemuinya (Tafsir Ibnu
Jarir 18/83-84), Ibnu Abbas tidak memfatwakan bolehnya membuka wajah dan
telapak tangan secara muthlaq, namun beliau hanya memfatwakan bolehnya
membuka keduanya di hadapan orang yang masuk menemuinya ke dalam rumah,
kemudian yang dimaksud dengan orang-orang yang masuk menemuinya bisa saja
kerabat-kerabatnya yang bukan mahram seperti anak anak paman/bibinya dan
seperti saudara suaminya, seperti mereka ini sering sekali masuk rumah,
kemudian Ibnu Abbas memandang bahwa menutupi diri dari mereka mendatangkan masyaqqah
dan kesulitan, dan beliau mengambil istinbath bolehnya menampakan wajah
dan kedua telapak tangan di hadapan mereka dari firman-Nya,” kecuali apa
yang biasa nampak darinya,” maka seolah-olah bukanlah si wanita yang
menampakan perhiasannya di hadapan mereka namun masyaqqahlah yang
menampakannya. Dan bisa juga yang di maksud dengan orang-orang yang masuk
menemuinya adalah setiap orang yang masuk setelah mendapat izin, namun secara
umum pembatasan membuka hanya di dalam rumah memberikan isyarat bahwa Ibnu
Abbas memandang bahwa sibuknya perempuan dengan pekerjaan rumahnya tergolong
kebutuhan yang membolehkan si wanita membuka wajahnya di hadapan orang-orang
tadi, beliau memandang boleh hanya pada keadaan tertentu saja, dan ini
memberikan indikasi tidak bolehnya di lakukan pada pada keadaan yang lain. Oleh
sebab itu bandingkan pendapat Ibnu Abbas ini dengan pendapat orang-orang yang
membolehkan sufur (membuka wajah), dan mereka mengklaim bahwa Ibnu Abbas
adalah tokoh rujukan mereka dalam hal ini…[38]…[39]
Adapun
Al ‘Allamah Al Qurani Muhammad Al Amin Asy Syinqithi, beliau berkata
setelah menuturkan atsar-atsar ulama salaf dalam penafsiran firman-Nya U ,”kecuali yang biasa nampak darinya,” : Dan saya telah melihat dalam
uraian-uraian yang dituturkan dari salaf ini perkataan-perkataan para Ahlul
Ilmi tentang zinah dhahirah dan bathinah, dan bahwasannya semua itu
kembali secara umum kepada tiga pendapat sebagaimana yang telah kami sebutkan :
Pertama : Bahwa yang dimaksud dengan zinah (perhiasan)
adalah sesuatu yang dengannya si wanita menghias diri di luar asal bentuk
aslinya (Ashlul Khilqah) dan memandang perhiasan tersebut tidak
memestikan bisa melihat sedikitpun dari badannya sebagaimana perkataan Ibnu
Mas’ud t
dan yang sejalan dengan beliau : Sesungguhnya hal itu adalah pakaian luar,
karena pakaian adalah perhiasan wanita di luar ashlul khilqah, dan
pernyataan ini sangat jelas sekali karena adanya hukum dlarurat
(menyembunyikannya,pent) sebagaiman yang anda lihat.
Dan
pendapat ini adalah pendapat yang paling jelas menurut kami, dan lebih
hati-hati serta lebih jauh dari sumber-sumber ribah (kecurigaan) dan
dari sebab-sebab fitnah.
Pendapat kedua : Bahwa yang dimaksud dengan zinah
(perhiasan) adalah sesuatu yang dengannya si wanita menghias diri dan di luar
asal bentuk aslinya (Ashlul Khilqah juga, namun memandang perhiasan
tersebut menyebabkan bisa melihat bagian badan si wanita, dan itu
seperti semir, celak dan lain-lain, karena memandang perhiasan ini memestikan
bisa melihat anggota badan yang dijadikan tempat perhiasan tersebut sebagaimana
yang tidak samar lagi.
Pendapat ketiga : Bahwa yang dimaksud dengan zinah
dhahirah tersebut adalah sebagian tubuh wanita yang merupakan ashlul
khilqahnya berdasarkan perkataan orang yang mengatakan : Bahwa yang
dimaksud apa yang biasa nampak darinya adalah wajah dan kedua telapak tangan-
dan berdasarkan perkataan sebagian Ahlul Ilmi yang telah disebutkan.
Dan
bila anda mengetahui hal ini maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kami telah
menjelaskan dalam tarjamah Al Kitab Al Mubarak ini bahwa di antara bayan
(penjelasan) yang terkandung di dalam Al Qur’an adalah adanya sebagian Ulama
yang berpendapat suatu pendapat tentang (tafsir) suatu ayat, namun dalam ayat
itu sendiri ada qarinah yang menunjukan ketidak shahihan pendapat
tersebut[40],
dan telah kami jelaskan juga dalam tarjamahnya bahwa di antara macam bayan yang
dikandungnya yaitu bahwa pada umumnya di dalam Al Qur’an adalah adanya maksud
makna tertentu dalam suatu lafadh, bila lafadh tertentu sering
disebut berulang-ulang di dalam Al Qur’an, maka terbuktinya makna itu sebagai
makna yang dimaksud dari lafadh ini secara umumnya(kebiasaannya) menunjukan
bahwa makna itulah yang dimaksud dalam perselisihan ini, berdasarkan kebiasaan
maksudnya dari lafadh tersebut di dalam Al Qur’an, dan kami dalam tarjamah itu
telah menyebutkan beberapa contoh.[41]
Dan
bila anda telah mengetahui ini maka ketahuilah bahwa dua macam bayan
dari sekian macam bayan yang kami sebutkan dalam tarjamah Al
Kitab Al Mubarak dan kami berikan baginya beberapa contoh, keduanya terdapat
dalam ayat yang sedang kita kupas.
Adapun
yang pertama : Maka penjelasannya : Bahwa perkataan orang yang
mengatakan dalam makna,” Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya kecuali
yang biasa nampak darinya,” bahwa yang dimaksud dengan zinah
(perhiasan) itu adalah wajah dan kedua telapak tangan umpamanya, telah ada di
dalam ayat itu sendiri qarinah yang menunjukan tidak benarnya pendapat
ini, yaitu bahwa zinah di dalam bahasa Arab adalah sesuatu yang dipakai
oleh wanita untuk menghiasi dirinya yang merupakan hal di luar ashlul
khilqahnya seperti perhiasan (cincin, gelang dll, pent) dan pakaian, maka
penafsirkan zinah dengan sebagian tubuh wanita adalah bertentangan dengan makna
yang jelas (dhahir), dan tidak boleh menafsirkan ayat itu dengan makna
tersebut kecuali dengan adanya dalil yang wajib dijadikan rujukan, nah dengan
ini anda bisa mengetahui bahwa pendapat orang yang mengatakan bahwa zinah
dhahirah adalah wajah dan kedua telapak tangan merupakan pendapat yang
bertentangan dengan dhahir makna lafadh ayat itu, dan itu merupakan qarinah
yang menunjukan ketidakbenaran pendapat ini, oleh sebab itu tidak boleh lafadh
ayat itu dibawa penafsirannya kepada pendapat seperti ini kecuali dengan dalil
terpisah yang mewajibkan dijadikan rujukan.
Dan
adapun macam bayan kedua yang telah disebutkan maka
penjabarannya adalah sebagai berikut : Sesungguhnya lafadh zinah sering
sekali disebutkan di dalam Al Qur’an dengan mengandung makna zinah
kharijiyyah (perhiasan diluar) badan yang dihiasinya, dan tidak bermakna
sebagian anggota tubuh yang dihiasinya, seperti Firman-Nya,” Hai anak Adam,
pakailah pakaian kamu yang indah (zinah) di setiap memasuki mesjid,”[42]dan
firman-Nya,” katakanlah :,”Siapakah yang mengharamkan perhiasan (zinah) dari
Allah Yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hambanya,”[43]dan
firman-Nya,” Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah
kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya(zinah),”[44]dan
firman-Nya,” Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan
hiasan, yaitu bintang-bintang,”[45]
dan firman-Nya,”dan (Dia telah memciptakan) kuda, bighal, dan keledai,
agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan,”[46]dan
firman-Nya,”Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam (zinah) kemegahannya,”[47]
dan firman-Nya,” Harta dan anak-anak adalah perhiasan(zinah) kehidupan dunia,”[48]dan
firman-Nya,”bahwa sesungguhnya kehidupam dunia itu hanyalah permainan, dan
suatu yang melalaikan, perhiasan(zinah) …,”[49]dan
firman-Nya,”Berkata Musa,” Waktu untuk pertemuan (kami dengan) kamu itu
ialah di hari raya(zinah),”[50]dan
firman-Nya tentang kaum Nabi Musa,”Tetapi kami disuruh membawa beban-beban
dari (zinah) perhiasan kaum itu,”[51]dan
firman-Nya,”Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui (zinah)
perhiasan yang mereka sembunyikan,”[52].
Lafadh zinah di dalam ayat-ayat itu semuanya bermakna adalah segala sesuatu
yang menghiasi sesuatu namun bukan bagian dari sesuatu itu sebagaimana yang
bisa anda lihat, dan karena secara umumnya (ghalibnya) zinah di dalam Al
Qur’an itu bermakna seperti tersebut di atas maka ini menunjukan bahwa lafadh
zinah dalam masalah yang menjadi polemik itu (maksudnya dalam surat An Nur :
31, pent) adalah sama seperti makna di atas yang biasa dipakai secara sering di
dalam Al Qur’an Al ‘Adzim, dan itulah yang sudah dikenal dikalangan orang Arab
seperti perkataan penyair :
Mereka
mengenakan perhiasannya (zinah) seindah yang bisa kau lihat
Dan
bila mereka melepaskannya
Maka
tetap mereka adalah sebaik-baiknya wanita yang tidak berperhiasan
Nah dengan penjelasan ini maka anda bisa
mengetahui bahwa penafsiran zinah di dalam ayat itu (An Nur : 31) dengan wajah
dan kedua telapak tangan adalah perlu dikoreksi lagi.
Dan
bila anda telah mengetahui bahwa yang dimaksud dengan zinah di dalam Al
Qur’an adalah sesuatu yang dijadikan sebagai penghias dari hal yang bukan dari
asal khilqahnya dan bahwa para ulama yang menafsirkannya dengan hal ini
berbeda pendapat menjadi dua pendapat : Sebagian mengatakan : Ia adalah zinah
yang tidak memestikan dengan melihatnya bisa memandang bagian tubuh wanita
seperti pakaian luar, dan sebagian lagi mengatakan : Ia adalah zinah yang
memestikan dengan melihatnya bisa melihat bagian tubuh wanita yang merupakan
tempat zinah tersebut seperti celak, semir (khidlab) dan lain-lain.
Penulis
–semoga Allah memaafkan dan mengampuninya- (maksudnya Asy Syinqithi, pent)
berkata : pendapat yang paling jelas dari kedua pendapat tersebut menurut saya
adalah pendapat Ibnu Mas’ud t yaitu bahwa zinah dhahirah adalah : Sesuatu yang tidak
memestikan dengan melihatnya bisa memandang bagian tubuh wanita ajnabiyyah
(yang bukan mahram), kami katakan bahwa pendapat ini adalah yang paling dhahir
(jelas) karena sesungguhnya pendapat ini adalah pendapat yang paling hati-hati
dan paling jauh dari sebab-sebab fitnah, serta lebih suci bagi hati laki-laki
dan hati wanita, dan tidak diragukan lagi bahwa wajah wanita merupakan pokok
keindahannya, dan memandangnya merupakan salah satu sebab fitnah terbesar
dengannya sebagaimana yang sudah pada diketahui, dan itulah yang berjalan
sesuai kaidah-kaidah syariat yang mulia, dan itu merupakan kesempurnaan
penjagaan dan menjauhi dari terjerumus kedalam sesuatu yang tidak pantas
terjadi.[53]
Syaikh
Abul A’la Al Maududi semoga Allah merahmatinya
dengan rahmat yang luas berkata : Dan adapun firman-Nya,” Kecuali yang biasa
nampak darinya,” penjelasan-penjelasan yang berbeda-beda di dalam
kitab-kitab tafsir telah menjadikan mafhum ayat ini sangat tertutup dan
tidak jelas, padahal sesungguhnya ayat ini sangat jelas sekali tidak ada
kesamaran di dalamnya, maka bila dikatakan pada ungkapan pertama,”Dan
janganlah mereka menampakan perhiasannya,”yaitu janganlah mereka menampakan
keindahan pakaian-pakaian, perhiasan,wajah-wajah, tangan-tangan dan anggota
badan mereka yang lainnya. Dia mengecualikan dari hukum yang umum ini dengan
kata,”kecuali,” dalam ungkapan,”yang biasa nampak darinya,” yaitu
sesuatu yang nampak yang tidak mungkin menyembunyikannya atau perhiasan yang
nampak dengan sendirinya tanpa ada maksud menampakannya, dan ungkapan ini
menunjukan bahwa wanita tidak diperbolehkan sengaja menampakan perhiasan ini,
hanyasannya apa yang nampak darinya tanpa ada unsur kesengajaan dari mereka-
seperti bila jubahnya terterpa hembusan angin sehingga terbuka sebagian
perhiasannya nampak umpamanya-atau sesuatu yang nampak dengan dengan sendirinya
yang tidak mungkin bisa disembunyikan- seperti jubah (rida’) yang
menjadi rangkap pakaian wanita, karena itu tidak mungkin disembunyikan dan rida’
ini yang menyebabkan bisa dipandang karena bagaimanapun pasti dikenakan oleh wanita- maka dia (wanita) tidak terkena
dosa dari Allah U.
Dan
inilah makna yang dijelaskan oleh Abdullah Ibnu Masud, Al Hasan Al Bashri, Ibnu
Sirin dan Ibrahim An Nakha’i terhadap ayat ini, dan sebaliknya dari penafsiran
ini sebagian ahli tafsir berkata : Sesungguhnya makna,”Kecuali yang biasa
nampak darinya,” adalah apa yang ditampakan oleh orang sesuai adat
kebiasaan yang berlaku, kemudian mereka memasukan di dalamnya wajah dan kedua
telapak tangannya dengan semua hiasannya, yaitu menurut mereka wanita boleh
menghiasi wajahnya dengan celak, lulur penghias, dan menghiasi tangannya dengan
semir, cincin, dan gelang kemudian berjalan di hadapan orang-orang dengan
sembari membuka wajah dan kedua telapak tangannya, dan makna inilah yang
diriwayatkan (dengan sanad lemah, pent) dari Abdullah Ibnu Abbas t dan murid-muridnya[54],
dan ini diambil oleh sejumlah besar pengikut madzhab Hanafi. Adapun kita
sungguh tidak mampu memahami dengan berbagai kaidah-kaidah bahasa yang ada
bahwa boleh jadi makna ,” Apa yang biasa nampak,” adalah apa yang
ditampakan oleh manusia, karena perbedaan antara sesuatu yang nampak dengan
sendirinya dengan apa yang sengaja ditampakan oleh manusia adalah sangat jelas
sekali yang tidak seorangpun tidak mengetahuinya, dan dzahir dari ayat
itu bahwa Al Qur’an melarang dari menampakan perhiasan dan memberikan rukhshah
(keringanan) bila terbuka nampak tanpa ada unsur kesengajaan, maka terlalu
membebaskan diri di dalam rukhshah ini sehingga sengaja menampakannya
dengan sengaja adalah hal yang bertentangan dengan Al Qur’an dan bertentangan
dengan riwayat-riwayat yang menetapkan bahwa wanita-wanita di zaman Nabi r tidak pernah mereka itu tampil di hadapan laki-laki lain dengan membuka
wajahnya, dan bahwa perintah berhijab itu mencakup wajah, dan cadar itu telah
menjadi bagian dari pakaian wanita kecuali di saat ihram. Dan sesuatu
yang paling mengherankan adalah bahwa mereka yang membolehkan wanita membuka
wajah dan kedua telapak tangannya kepada laki-laki lain berdalih atas hal itu
dengan ungkapan bahwa wajah dan kedua telapak tangan itu bukan aurat, padahal
sangat berbeda sekali antara hijab dengan menutup aurat. Aurat adalah sesuatu
yang yang tidak boleh dibuka meskipun kepada laki-laki mahramnya, sedangkan
hijab adalah lebih dari sekedar dari menutupi aurat, yaitu adalah sesuatu yang
menghalangi/memisahkan antara wanita dengan laki-laki yang bukan mahramnya, dan
sesungguhnya pokok pembahasan dalam ayat ini adalah hijab bukan menutupi aurat.[55] [56]
Syaikh
Abdul Aziz Ibnu Rasyid An Najdi rahimahullah berkata : Dan zinah wajah adalah zinah yang paling besar
yang dimana wanita dilarang menampakan dan membukanya kepada laki-laki lain (ajnabiyy),
sebagaimana laki-laki diperintahkan untuk menundukan pandangan darinya dan dari
setiap yang haram, oleh sebab itu semua orang pasti memandang wajah wanita
terlebih dahulu sebelum memandang yang lainnya karena Allah U menjadikan padanya daya tarik
tersendiri yang digandrungi semua orang dibandingkan zinah yang lainnya.
Dan Allah U tidak mengkhithabi manusia kecuali dengan sesuatu yang mereka dipahami
dengan fithrahnya, dan dengan sesuatu yang telah menjadi kebiasaan mereka serta
dengan sesuatu yang sesuai dengan bahasa mereka. Dan bukan sesuatu yang masuk
akal, dan juga bukan termasuk hikmah Allah U dan agamanya yang diturunkannya sebagai rahmat, hidayah, penjaga
kehormatan dan sifat-sifat mulia serta melindunginya dengan mengharamkan zina
dan wasilah-wasilahnya dan mengkeraskan hukumannya, namun kemudian Dia
membolehkan bagi wanita-wanita untuk membuka wajahnya di hadapan laki-laki yang
bukan mahramnya, mereka menampakannya dan tabarruj (dengannya) di
jalanan. Tak ragu lagi ini merupakan penyeru terbesar untuk berbuat zina dan sebab-sebabnya,
perusakan kehormatan, dan bahaya buat laki-laki yang difithrahkan menyukai
keanggunan dan kecantikan wajah wanita, serta menyebabkan berlebih-lebihan
dalam menetapkan mahar karenanya..[57]
Syaikh
Muhammad Ibnu Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata : Sesungguhnya Allah U melarang menampakan perhiasan secara muthlaq kecuali yang biasa
nampak darinya, yaitu yang mesti nampak seperti pakaian luar, dan oleh sebab
itu Dia berfirman,” kecuali yang biasa nampak darinya,” dan tidak
mengatakan : kecuali yang mereka tampakan darinya,” kemudian Dia melarang
sekali lagi dari menampakan zinah kecuali kepada orang yang
dikecualikan, berarti ini menunjukan bahwa zinah yang pertama berbeda
dengan zinah yang kedua, zinah yang pertama adalah zinah dhahirah
yang nampak bagi setiap orang dan tidak mungkin disembunyikannya, dan zinah
yang kedua adalah zinah bathinah (yang tertutup) yang dengannya mereka
menghiasi dirinya, dan seandainya zinah ini boleh (ditampakan) kepada
setiap orang tentu ta’mim (pemberian sifat umum) dalam (zinah)
yang pertama dan pengecualian dalam yang kedua tidak merupakan faidah yang ma’lumah.
4- sesungguhnya Allah U memberikan keringanan untuk menampakan zinah bathinah kepada
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan kepada wanita, dan
kepada anak kecil yang belum memiliki syahwat dan belum mengerti mengenai aurat
wanita, maka ini menunjukan kepada dua hal :
Pertama : Bahwa memperlihatkan zinah bathinah ini
tidak halal kepada semua orang yang bukan mahram kecuali kepada dua kelompok
orang ini saja.
Kedua : Bahwa illat (alasan) dan ruang lingkup hukum adalah kekhawatiran
akan fitnah akibat perempuan dan keterkaitan hati dengannya, dan tidak ragu
lagi bahwa wajah adalah pokok kecantikan dan sumber fitnah tersebut maka
menutupinya adalah wajib agar laki-laki yang masih memiliki hasrat terhadap
wanita tidak terfitnah dengannya.[58]
Syaikh
Abu Bakar Al Jazairi hafidzahullah berkata
: Firman-Nya U,”Dan katakanlah kepada wanita yang beriman,” Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakan
perhiasannya, kecuali kepada suami mereka……..,”
Sesungguhnya
dilalah ayat ini terhadapa hijab adalah sangat kuat sekali, karena ayat
ini mengandung perintah menundukan pandangan dan menjaga kemaluan, sedangkan
menjaga kemaluan itu tidak mungkin bisa terlaksana kecuali dengan menundukan
pandangan, dan menundukan pandangan itu tidak
bisa terlaksan kecuali dengan adanya hijab yang sempurna. Dan telah lalu
dalam pembahasan ini bahwa menundukan
pandangan itu bisa terlaksana dengan salah satu dari dua hal, dan kedua hal ini
diperintahkan bila tidak ada ikhtilath (campur baur laki-laki dengan
wanita), atau dengan adanya ikhtilath maka hal itu tidak bisa
terlaksana, dan sangat sulit sekali bagi mumin dan muminah untuk
mentaati Rabnya dalam keadaan (ikhtilath) seperti itu, nah dari sinilah
diketahui bahwa makna kata hijab itu bukanlah seorang wanita menutupi
kecantikannya saja, namun makna yang haq
darinya adalah adanya penghalang dan pembatas yang bisa mencegah campur baurnya
laki-laki dengan wanita dan wanita dengan laki-laki, nah dalam keadaan seperti
inilah menjaga pandangan dan kemaluan bisa terlaksana. Dan dikarenakan
terkadang ada keperluan yang sangat penting yang mengharuskan wanita keluar
dari rumahnya, maka Allah U mengizinkannya keluar, namun
tanpa menampakan perhiasannya, bahkan dia harus menutupinya kecuali yang memang
diperlukan terbuka seperti mata untuk melihat jalan, atau telapak tangan untuk
mengambil sesuatu, atau pakaian yang dia kenakan. Dan inilah makna pengecualian
di dalam ayat ini,”kecuali yang biasa nampak darinya,” dan dengan ini
banyak ulama dari kalangan shahabat dan tabi’in serta orang-orang yang sesudah
mereka menafsirkannya.
[1] Tahqiqnya akan datang nanti.
[2] Tafsir Ath Thabari 18/119.
[3] As Sunan Al Kubra 2/182-183, 7/86.
[4] Tahdzib Al Kamal 7/663.
[5] Mizanul I’tidal 4/106.
[6] As Sunan Al Kubra 2/225, 7/852, Dan Syaikh Manshur Ibnu Idris Al Bahutiy rahimahullah
berkata : وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا (dan janganlah mereka menampakan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya) Ibnu Abbas dan Aisyah berkata : Wajah dan kedua telapak tangannya,
diriwayatkan oleh Al Baihaqi, dan dalam sanadnya ada kelemahan, dan ini
berlawanan dengan Ibnu Masud. Dari Kitab kasyful Qina’ 1/243.
[7] Mizan Al ‘Itidal 1/112-113.
[8] Taqrib At Tahdzib 1/19.
[9] Mizan Al ‘Itidal 2/503.
[10] Taqrib At Tahdzib 1/450.
[11] Tafsir At Tabari 18/119, dan telah diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah, dan Al Hakim dari jalannya, dan beliau berkata : Ini hadits shahih
sesuai syarat Muslim, dan ini tidak dikeluarkan oleh Al Bukhari dan Muslim, dan
disetujui oleh Adz Dzahabi dalam At Talkhish.
[12] Tafsir Al Qur’an Al ‘Adzim 2/283.
[13] Ad Durr Al Mantsur 5/42.
[14] Lihat contohnya fathul bari 8/207,228,265.
[15] Tahdzib At Tahdzib 7/340.
[16] Tahdzib Al Kamal 7/340.
[17] Mahasin At Ta’wil 4/4909.
[18] Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an 14/243.
[19] Risalatul Hijab Fil Kitab Was Sunnah 21-26.
[20] Hijabul Mar’ah Wa Libasuha Fish Shalah 13-17. Majmu fatawa
22/110,dan dari uraian ini jelaslah bahwa Syaikhul Islam berpendapat adanya
nasakh (penghapusan hukum) dalam periode-periode pensyari’atan hijab, beliau rahimahullah
berkata : Dan sebaliknya hal itu wajah, kedua kaki dan kedua telapak kaki maka
wanita tidak boleh menampakannya kepada laki-laki lain menurut pendapat yang
paling shahih, ini berbeda dengan keadaan sebelum terjadi nasakh, tetapi
(sekarang setelah terjadi nasakh) dia tidak boleh menampakan kecuali pakaian
saja,” Dan beliau rahimahullah berkata lagi : Dan adapun wajahnya, kedua
tangannya dan kedua telapak kakinya maka dia hanya dilarang menampakannya
kepada laki-laki yang bukan mahramnya, dan dia tidak dilarang menampakannya
kepada sesama wanita dan laki-laki mahramnya. Dari Majmu Fatawa 22/117-118.
[21] Risalatul Hijab Was Sufur 19.
[22] Zadul Masir 6/31.
[23] Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an 12/229.
[24]Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an 12/229.
[25] Istidlal Al Imam Al Qurthubi ini dikomentari oleh Al Albani dengan
perkatannya : saya berkata : Dan
komentar ini perlu ditinjau juga, karena meskipun biasanya wajah dan
kedua telapak tangan itu nampak dari sisi hukum kenyataan, maka sesungguhnya
itu terjadi karena ada unsur kesengajaan dari mukallaf, sedangkan ayat sesuai
apa yang kami pahami hanya memberikan faidah pengecualian sesuatu yang nampak
tanpa ada unsur kesengajaan, maka mana mungkin menjadikannya sebagai dalil yang
mencakup sesuatu yang nampak dengan unsur kesengajaan ? maka perhatikanlah
dengan cermat…. Dari Kitab Hijab Al Mar’ah Al Muslimah 24.
[26] Lihat jawabannya nanti pada pembahasan selanjutnya.
[27] Ini sebanding dengan firman-Nya,” maka dalam rahmat Allah mereka
kekal di dalamnya,” dan yang dimaksud dengan rahmat di sini adalah surga,
karena dia adalah tempat rahmat, begitu juga firman-Nya,” janganlah kalian
mendekati shalat sedang kalian dalam keadaan mabuk,” dan yang dimaksud
dengannya adalah tempat-tempat shalat, Az Zamakhsyari berkata : dan menyebutkan
perhiasan tanpa menyebut tempatnya adalah untuk tujuan penekanan dalam perintah
menutupi, karena sesungguhnya Dia tidak melarang menampakan zinah itu kecuali
karena zinah tersebut ada pada tempat (anggota badan) itu, oleh sebab itu
menampakan tempat itu sendirinya termasuk yang dilarang dan haram dinampakan
lebih duluan.
[28] ‘Inayatul Qadli wa Kifayatul Ar Radli 6/373.
[29] At Tashil Li Ulumit Tanzil 3/64.
[30] Tafsir Al Qur’an Al Adhim 6/46-47.
Syaikh Al
Anshari berkata ketika mengomentari perkataan Ibnu Katsir rahimahullah
ini : Dan maksudnya bahwa di dalamnya ada dilalah yang menunjukan bahwa
menutup seluruh tubuh telah menjadi bagian agama yang dilakukan oleh wanita
para shahabat, para tabiin dan wanita kaum muslimin. Inilah Rasulullah r ketika ayat hijab telah diturunkan kepadanya beliau langsung
mengajarkannya, dan mengajarkan tafsirnya serta hikmahnya, dan inilah mereka
para shahabat dari kalangan muhajirin dan anshar mempelajari ayat-ayat ini beserta tafsirnya, kemudian mereka
kembali ke rumahnya dan terus mengajarkannya kepada ister-isterinya,
puteri-puterinya, saudari-saudarinya, dan wanita-wanita yang ada di rumahnya.
Dan inilah para shahabiyyat yang suci mereka mendengar dan mempelajari ayat ini
dari Rasulullah r atau dari orang yang mempelajarinya dari Rasulullah r, kemudian mereka langsung merobek kain tebal yang mereka miliki dan
menutupi wajahnya, dan mereka menjadikan niqab (cadar) sebagai bagian pakaian
mereka, dan inilah yang telah menjadi bagian kebiasaan agama wanita wanita arab
dan wanita kaum muslimin seluruhnya, bukan pada zaman Rasulullah r, para shahabat, dan tabiin saja, bahkan Al Imam Asy Syaukani
menghikayatkan dari Ibnu Ruslan kesepakatan kaum muslimin atas terlarangnya
wanita keluar dengan membuka wajahnya apalagi
di kala banyaknya orang-orang fasik (Nailulul Authar 6/245). Dan apa
yang dilakukan oleh mereka dan isteri mereka ini bukan sekedar inisiatif dari
mereka dan bukan pula pengharusan dari mereka sendiri dengan sesuatu yang tidak diharuskan oleh Allah dan Rasul-Nya,
sebagaimana yang diklaim oleh orang yang mengklaim, namun mereka melakukan
semua itu –sebagaimana yang dikabarkan oleh Ash Shiddiqah (Aisyah) Bintu Ash
Shiddiq (Abu Bakar)- sebagai rasa iman mereka terhadap kitab Allah dan pembenaran tanzilnya, dan sebagai bentuk
realisasi terhadap perintah Allah serta menjauhi larangan-Nya. Dan tidak samar
lagi bagi mereka bahwa perintah-perintah Allah (asalanya) menunjukan kewajiban
dan larangan-larangan-Nya menunjukan keharaman, dan sesungguhnya isteri-isteri
mereka dengan menutup wajah-wajahnya itu adalah melaksanakan perintah berhijab
dan perintah penguluran jilbab, dan menghindari dari menampakan perhiasannya,
dan mereka itu (para wanita masa salaf) merupakan para wanita yang mencerminkan masyarakat yang
diinginkan Allah kemudian Rasul-Nya
ingin menegakkannya, dan setelah penjelasan ini semua saya tidak tahu bagaimana
ada orang yang meragukan wajibnya menutup muka dan haramnya menampakannya ? Dan
apa dan siapa orangnya yang bisa dijadikan pegangan setelah Allah, Rasul-Nya,
dan para shahabat serta kaum mu’minin ? Dari majallah Al Jami’ah As Salafiyyah.
[31] Tafsir Al Jalalain 2/54.
[32] Al Khajandi menukulnya dalam Hablu Asy Syar’il Hakim 234.
[33] Al Furu’ 1/601.
[34] Faidl Bari 4/24.
[35] Lihat juga kitab yang sama 4/308 dan akan datang jawaban atas
hadits Fadl nanti Insya Allah Ta’ala.
[36] Syaikh Muhammad shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata :
Sesungguhnya Allah U memerintahkan kaum mu’minat agar menjaga kemaluannya, sedangkan
perintah menjaga kemaluan merupakan perintah untuk menjaganya dan menjaga
segala sesuatu yang menjadi wasilah kepadanya, dan orang yang berakal
tidak meragukan lagi bahwa salah satu sarana (wasilah) untuk menjaganya
adalah menutupi wajah, karena membukanya merupakan sebab untuk melihatnya, mengamati
kecantikan, dan menikmatinya, dan yang berikutnya adalah menjalin hubungan dan
menghubunginya, sedangkan dalam hadits,” Kedua mata itu zina, dan zinanya
adalah memandang,” sampai sabdanya r ,” Dan kemaluan mengiyakan atau mendustakannya,” maka bila
menutupi wajah merupakan salah satu sarana menjaga kemaluan maka pasti sekali
menutupi wajah itu diperintahkan, karena sarana itu hukumnya sama dengan
tujuan….Dari Risalah Hijab : 6.
[37] Ruhul Ma’ani 8/141.
[38] Majallatul Jami’ah As Salafiyyah, Mei, Juni 1978 M.
[39] Namun yang lebih nampak yang dimaksud oleh Ibnu Abbas dengan
orang-orang yang masuk menemuinya (wanita) adalah kerabat-kerabat yang
merupakan mahram baginya karena merekalah orang yang boleh masuk menemui wanita
secara langsung, adapun laki-laki lain yang bukan mahramnya maka kita sudah
mengetahui banyak sekali hadits-hadits yang melarang mereka masuk menemui
perempuan diantaranya sabda beliau r dalam hadits shahih yang sudah masyhur ,” Janganlah
kalian masuk menemui wanita,” seorang laki-laki berkata : Bagaimana
pendapat engkau tentang kerabat suami ? Rasulullah r menjawab,” Kerabat suami adalah bencana,”..berarti orang
yang merupakan mahram wanitalah yang hanya boleh melihat wajah dan telapak
tangan itu….(pent)
[40] Adlwaul Bayan 1/10-12.
[41] Ibid 1/15-16
[42] Al ‘Araf : 31.
[43] Al ‘Araf : 32.
[44] Al Qashash : 60.
[45] Ash Shaffat : 6.
[46] An Nahl : 8.
[47] Al Qashash : 79.
[48] Al Kahfi : 46.
[49] Al Hadid : 20.
[50] Thaha : 59.
[51] Thaha : 87.
[52] An Nur : 31.
[53] Lihat Adlwa Al Bayan : 6/192-202.
[54] Telah dijelaskan bahwa riwayat yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas
itu adalah lemah sekali, bahkan bertentangan dengan penafsiran beliau sendiri
yang lebih kuat dalam tafsir surat Al Ahzab : 59, namun sebagian orang berusaha
untuk menjadikan kuat riwayat yang lemah tersebut (pent).
[55] Tafsir Surat An Nur, hal : 157-158.
[56] Dan di antar bukti bahwa hijab dengan menutupi aurat itu berbeda
adalah kewajiban wanita bila hendak keluar rumah atau ada laki-laki yang bukan
mahram dia harus mengenakan jilbab (jubah) sebagai penutup baju kurungnya dan
khimarnya (kerudung) kalau seandainya perintah itu hanya sekedar menutupi aurat
buat apa dia diperintahkan mengenakan jilbab sebagai rangkap pakaian tadi di
dalam surat Al Ahzab :59.(pent)
[57] Taisur Wahyain 1/142-143.
[58] Risalatul Hijab :8-9.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar