Merkantilisme berkembang pada abat ke-15
sampai 17, dan berasal dari kata merchand yang artinya pedagang. Walaupun para
ahli masih meragukan apakah merkantilisme benar merupan suatu aliran/mashab
atau bukan, namun aliran ini memiliki dampak yang besar dalam perkembangan
teori ekonomi.
Aliran ini timbul pada masa ketika
perdagangan antar negara semakin berkembang pesat. Kalau di masa sebelumnya masyarakat
dapat mencukupi kebutuhannya dengan dengan memproduksi sendiri, pada masa
merkantilisme ini berkembang paham bahwa jika sebuah negara hendak maju, maka
negara tersebut harus melakukan perdagangan dengan negara lain, surplus
perdagangan berupa emas dan perak yang diterima merupakan sumber kekayaan
negara.
Berdasarkan pandangan baru kaum
merkantilisme yang berkembang pesat pada zaman itu, banyak negara Eropa yang
membangun perekonomiannya dengan upaya ekspor ke negara lain, dan sedapat
mungkin mengurangi impor. Paham yang di anut kaum merkantilisme adalah sebagai
berikut:
1. surplus perdagangan
suatu negara merupakan tanda kekayaan negara tersebut
2. pemilikan logam mulia
berarti pemilikan kekayaan
3. dalam suatu transaksi
perdagangan, akan ada pihak yang mendapat keuntungan dan ada pihak yang
menderita kerugian.
Tokoh-tokoh
Merkantilisme
1. Thomas Mun
Dalam bukunya yang berjudul “England
Treasure
by Foreign Trade” Thomas Mun menulis tentang manfaat perdagangan
luar negeri. Ia menjelaskan bahwaperdagangan luar negeri akan memperkaya negara
jika menghasilkan surplus dalam bentuk emas dan perak. Keseimbangan perdagangan
hanyalah perbedaan antara apa yang di ekspor dan apa yang di impor. Ketika
negara mengalami surplus perdagangan, ini berarti ekspor lebih besar daripada
impor.
Lebih lanjut Thomas Mun menjelaskan bahwa
perdagangan domestik tidak dapat membuat negara lebih makmur, karena perolehan
logam mulia dari seorang warga negara adalah sama dengan hilangnya logam mulia
dari warga negara yang lain. Dengan meningkatkan persedian uang domestik
sebagai hasil dari surplus perdagangan ternyata dapat juga memunculkan bahaya
karena orang akan terpancing untuk membeli lebih banyak barang-barang mewah.
Hal ini menyebabkan harga barang dalam negeri akan naik dan pada akhirnya akan
mengurangi ekspor karena barang-barang yang diproduksi di dalam negeri
akan terlalu mahal bila dijual di luar negeri. Konsekuensi ini bisa dihindari
yaitu dengan melakukan investasi kembali. Reinvestasi ini akan menciptakan
lebih banyak barang untuk diekspor.
Mun mengakui bahwa betapa pentingnya
investasi modal dan Ia memandang keseimbangan perdagangan merupakan sebuah cara
untuk mengumpulkan modal produktif.
Untuk mendorong surplus ada tiga langkah
yang harus dijalankan :
1. Dengan Kebijakan Harga
Barang yang di ekspor haruslah dijual
dengan harga terbaik yaitu harga yang menghasilkan pendapatan dan kekayaan yang
paling banyak. Ketika negara memiliki monopoli atau mendekati monopoli di dunia
perdagangan maka barang-barangnya harus dijual dengan harga tinggi, tetapi
ketika persaingan luar negeri sangat ketat harga barang harus ditekan serendah
mungkin. Hal ini akan menghasilkan lebih banyak penjualan bagi negara dan
membantu mengalahkan pesaing. Ketika pesaing asing lenyap, harga ditingkatkan
kembali tetapi tidak sampai pada tingkat dimana pesaing tertarik untuk kembali
ke dalam pasar.
2. Meningkatkan Kualitas Produk
Pemerintah dapat membantu meningkatkan
kualitas produk dengan cara mengatur para pengusaha pabrik dan membentuk dewan
perdagangan yang akan memberikan nasehat kepada pemerintah dalam
persoalan-persoalanyang berkaitan dengan peraturan perdagangan dan kegiatan
industri. Peraturan-peraturan ini harus tegas agar negara dapat memproduksi
barang dengan kualitas yang tinggi.
3. Kebijakan Pajak Nasional
Dalam hal kebijakan pajak, pemerintah
harus dapat menyeimbangkan kepentingan nasional dan swasta. Bea ekspor harus
lebih kecil karena bea ini akan dimasukkan dalam biaya penjualan di luar
negeri. Bea impor harus rendah untuk barang-barang yang kemudian akan di ekspor
kembali dan harus tinggi untuk barang-barang yang cenderung dikonsumsi oleh
warga sendiri.
2. Willam Petty
Dalam bukunya “Political Arithmetic”
pada tahun 1671, Petty memberi sumbangan teori penting untuk ilmu ekonomi. Ia
adalah ahli ekonomi pertama yang menjelaskan sewa tanah berdasarkan surplus.
Untuk memahami gagasan surplus ini
bayangkan ekonomi pertanian primitif yang hanya menanam jagung. Pada saat itu
jagung merupakan input proses produksi dan sekaligus output. Sebagai input jagung
jagung dipakai sebagai benih dan dimakan oleh pekerja. Pada akhir tahun jagung
akan dipanen dan digunakan sebagai bahan pangan dan bibit untuk tahun depan.
Petty mendefinisikan surplus sebagai
selisih antara total output dari jagung (saat panen tahunan) dan input dari
jagung yang dibutuhkan untuk menghasilkan output tersebut. Menurut Petty
pemilik tanah akan cenderung menerima pembayaran sewa yang sebanding dengan
surplus surplus yang dihasilkan oleh lahan mereka. (surplus = total output –
input)
Tak seorangpun akan menyewakan lahan
dengan biaya sewa melebihi surplus yang dihasilakan lahan tersebut karena
penyewa akan kehilangan uang/pendapatan.
Pendekatan Utama dalam Ekonomi Politik Internasional
Dalam
memahami kaitan antara state dan market, atau
dengan kata lain politik dan ekonomi, dalam Ekonomi Politik Internasional, ada
tiga pendekatan yang biasanya digunakan. Ketiga pendekatan tersebut adalah
merkantilisme atau nasionalisme, liberalisme ekonomi, dan marxisme. Di antara
ketiga pendekatan tersebut tidak ada yang sempurna, melalui evaluasi kekuatan
dan kelemahan ketiga pendekatan tersebut memungkinkan untuk memperjelas studi
EPI. (Gilpin, 1987: 2005). Dalam bukunya Gilpin menggunakan istilah “ideologi”
untuk menyebut ketiga pendekatan tersebut. Ideologi disini berarti sistem
pemikiran dan kepercayaan yang menjelaskan bagaimana individu atau kelompok
menjalankan sistem sosialnya serta prinsip-prinsip di dalamnya (Gilpin, 1987:
25). Dengan demikian, ideologi-ideologi dalam EPI akan menjelaskan perilaku
aktor-aktor dalam EPI.
Pada
dasarnya, ketiga ideologi yang melatarbelakangi studi EPI tersebut memiliki
prinsip-prinsip yang berbbeda satu sama lain mengenai hubungan antara negara
dan pasar. Ideologi yang pertama adalah merkantilisme atau nasionalisme.
Merkantilisme menganggap bahwa perekonomian tunduk pada kepentingan politik,
dan khususnya pemerintah. (Gilpin, 1987: 33). Robert Gilpin
mendeskripsikan ekonomi merkantilisme atau nasionalisme sebagai gagasan
mengenai bagaimana sepatutnya kegiatan ekonomi rakyat dijalankan dan senantiasa
selaras dengan tujuan pembangunan negara dan juga kepentingannya. Menurut
merkantilisme, ekonomi adalah alat politik, dasar kekuasan politik. Sementara
mengenai ekonomi internasional, merkantilisme lebih cenderung untuk melihat
perekonomian internasional sebagai ajang pertarungan negara-negara demi
tercapainya national interest. Maka dapat disimpulkan bahwa
menurut kaum Merkantilis, persaingan yang terjadi dalam perekonomian
internasional merupakan suatu zero-sum game dimana keuntungan
yang didapat oleh suatu negara merupakan kerugian bagi negara lain. (Sorensen,
2005: 244). Persaingan ekonomi antar negara memiliki dua bentik yaitu “benign
mercantilism” yang tidak memiliki dampak negatif pada negara lain dan “malevolent
mercantilism” yang berupaya mengeksploitasi perekonomian internasional
melalui kebijakan ekspansi. (Gilpin, 1987: 32).
Ideologi
kedua adalah liberalisme ekonomi yang dipelopori oleh David Ricardo dan
Adam Smith, mereka mengkritik dominasi politik di atas ekonomi menurut
merkantilis. Ekonomi liberal disebut sebagai doktrin dan serangkaian prinsip
dalam mengorganisasi dan mengatur pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan
individu. (Gilpin, 1987: 27). Pemerintah dianggap tidak perlu ikut campu dalam
kegiatan ekonomi. Menurut David Ricardo, perdagangan bebas akan membawa
keuntungan bagi semua partisipan sebab perdagangan bebas memicu terjadinya
spesialisasi lalu meningkatkan efisiensi sehingga meningkatkan produktivitas.
(Sorensen, 2005: 238). Dalam urusan internasional, bagi kaum liberalis, setiap
negara haruslah menunjukan sifat kooperatif, damai, dan konstruktif melalui
persaingan secara harmonis yang tentu saja diperankan oleh individu dengan
meminimalisir adanya campur tangan negara. Perilaku sebuah negara menujukan
perilaku individunya. Perdagangan internasional dipandang sebagai kegiatan ‘positive
sum game’ yang saling menguntungkan, bukan suatu kompetisi yang
memperebutkan kekayaan dan kekuasaan dengan jalan yang mematikan atau dengan
cara frontal. Sekali lagi yang perlu ditegaskan adalah bahwa perdagangan atau
apapun yang berkaitan dengan pasar harus dijalankan sebebas mungkin tanpa ada
hambatan-hambatan dari negara-negara yang terlibat didalamnya. Bisa disimpulkan
bahwa perekonomian merupakan wilayah kerjasama bagi negara dan antar individu,
sehingga perekonomian internasional harusnya didasarkan pada perdagangan bebas.
Ideologi
ketiga adalah marxisme. Yang paling menonjol dari ideologi ini adalah adanya
kelas di dalam masyarakat yaitu borjuis yang berkuasa dan proletar.
Perpolitikan dikuasai oleh ekonomi. (Sorensen, 2005: 243). Dengan demikian
borjuis yagn berkuasa dalam perekonomian juga akan menguasai politik. Paham
marxist atau strukturalism bersumber dari ajaran-ajaran Karl Marx. Marx
memusatkan kajiannya pada struktur produksi dalam kapitalisme yang menimbulkan
adanya kelas-kelas sosial. Marx mengambil pendapat zero sum dari
merkantilisme dan mengaitkannya dengan hubungan kelas selain hubungan negara.
Pergulatan antara kelas-kelas sosial menimbulkan krisis dan chaos di
masyarakat. Inti dari argument marxist adalah bahwa struktur ekonomi
berpengaruh besar terhadap distribusi kekayaan dan kekuasaan. Dua kelas dalam
perekonomian kapitalis tersebut adalah kaum borjuis dan kaum proletar, yang
merupakan aktor utama atau unit analisis bagi Marxist. Kaum borjuis adalah kaum
yang memiliki alat-alat produksi, kaum kaya. Sedangkan kaum proletar adalah
kaum miskin, pekerja yang hanya memiliki tenaga yang nantinya digunakan dengan
cara diperjualkan ke kaum proletar. Jadi keuntungan yang bisa diambil dari
perekonomian yang kapitalis adalah adanya eksploitasi sumber daya manusia
sebagai tenaga kerja yang tidak lain merupakan kaum proletar. Teori ekonomi
politik internasional saat ini yang berdasarkan pada kerangka marxisme adalah
analisis Immanuel Wallerstein tentang perkembangan sejarah perekonomian dunia
kapitalis. Wallerstein memberikan banyak tekanan pada perekonomian dunia dan
cenderung mengabaikan pilitik internasional. Ia mempercayai perekonomian dunia
sebagai pembangunan yang tidak seimbang yang telah menghasilkan hirarki dari
wilayah core, semi-periphery, dan periphery.
Secara
ringkas, perbedaan antara merkantilisme, liberalisme, dan marxisme bisa kita
lihat dari empat aspek yaitu hubungan antara ekonomi dan politik, aktor
utamanya, sifat hubungan ekonomi, serta tujuan ekonominya. (Sorensen, 2005:
244). Dari hubungan antara ekonomi dan politik, merkantilisme politik yang
menentukan, liberalisme ekonominya otonom, sedangkan marxisme berpendapat bahwa
ekonomi yang menentukan. Aktor utama merkantilisme adalah negara, pada
liberalisme aktor utamanya individu, sedangkan aktor pada marxisme adalah
kelas-kelas. Sifat hubungan ekonomi merkatilis adalah konfliktual “zero sum
game”, liberalisme kooperatif “positive sum game” dan marixisme
bersifat konfliktual. Yang terakhir dari tujuan ekonominya, merkantilisme
bertujuan memajukan kekuatan negara, liberalisme memaksimalkan kesejahteraan
individu, sedangkan marxisme bertujuan memajukan kepentingan kelas.
Sangat
jelas bahwa ketiga ideologi di atas memiliki prinsip yang berbeda-beda. Setiap
perspektif memiliki kelebihan dan kekurangan. Bisa kita ambil beberapa contoh
kritik untuk masing-masing pendekatan. Dalam liberalisme, keuntungan hanya akan
dimiliki oleh negara-negara dengan perekonomian yang kuat, dalam merkantilisme
perdagangan, investasi, dan segala macam bentuk kegiatan perekonomian adalah
bersifat konfliktual dan persaingan. Sehingga akan memicu konflik yang mungkin
dapat berakibat pada perang, sedangkan kritik untuk marxisme adalah gagalnya
teori Marx tentang kelas-kelas dipandang dari runtuhnya USSR sebagai negara
komunis yang bercermin pada teori Marx dalam mengatur tata-negaranya Kelemahan
dari suatu ideologi akan dikritik dan disempurnakan oleh ideologi atau
pendekatan yang lain. Walaupun tidak ada yang sempurna dalam menjelaskan
fenomena-fenomena EPI, kombinasi ketiganya mampu menyediakan pemahaman yang
berguna untuk menganalisis maslaah-masalah yang ada dalam EPI.
Referensi:
Gilpin, Robert. 1987. “Three Ideologies of Political Economy”, dalam the
Political Economy of International Relations, Princeton: Princeton
University Press, pp. 25-64
Jackson, Robert and G. Sorensen. 2005. “International Political Economy”,
dalam Introduction to International Relations, Oxford: Oxford
University Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar