Peringatan : Wanita budak harus berhijab bila hawatir fitnah.
Syaikhul Islam Taqiyyuddin Abul Abbas Ahmad
Ibnu Taimiyyah (wafat 728 H) rahimahullah berkata : (
Dan begitu juga wanita budak (amah) bila dikhawatirkan menimbulkan
fitnah, maka dia harus mengulurkan sebagian jilbabnya (pada wajahnya) dan
berhijab, serta wajib menundukan pandangan baik darinya ataupun dia sendiri.
Dan tidak ada di dalam Al Kitab dan As Sunnah dalil yang mebolehkan memandang
wanita seluruh budak, dan tidak ada pula dalil yang membolehkan dia tidak
berhijab dan menampakan perhiasannya, namun Al Qur’an tidak memerintahkannnya
seperti perintah kepada wanita merdeka, dan As Sunnah membedakan secara praktek
antara mereka dengan wanita merdeka, dan tidak membedakan antara mereka dengan
lafadh yang umum, namun sudah menjadi kebiasaan kaum mu’minin adalah wanita
merdeka diantara mereka berhijab sedangkan yang budak tidak, dan Al Qur’an juga
mengecualikan wanita-wanita tua yang sudah tidak berhasrat dan tidak menarik,
Al Qur’an tidak mewajibkan hijab atas mereka, dan Al Qur’an juga mengecualikan
dari kalangan laki-laki yaitu laki-laki yang sudah tidak ada hajat lagi
terhadap wanita, maka pengecualian itu diberlakukan terhadap sebagian wanita
budak adalah lebih utama dan lebih layak, yaitu wanita-wanita budak yang bisa
menimbulkan fitnah dan hasrat bila mereka tidak berhijab dan malah menampakan
perhiasannya, dan sebagaimana wanita tidak boleh menampakan perhiasannya kepada
anak tirinya yang berhasrat dan berkeinginan syahwat, kemudian khithab
itu datang secara umum biasanya, maka yang keluar dari biasanya keluar pula
dengan khithab itu dari sejawatnya, sehingga bila ternyata tampaknya wanita
budak dan memandangnya itu menimbulkan fitnah, maka wajib hal itu dicegah
sebagaimana bila terjadi bukan dalam hal itu).[1]
Orang-orang yang menafikan hikmah dan ta’lil
mengklaim bahwa syariat telah membedakan antara dua hal yang sama dan
menggabungkan antara dua hal yang berbeda, dan untuk memperkuat keyakinannya
itu mereka berdalih dengan beberapa hal diantaranya : Dintaranya : Syariat
mengharamkan memandang wanita tua yang buruk rupa bila dia itu wanita merdeka,
dan membolehkan memandang wanita budak yang cantik jelita. Sungguh Al Imam Al
Muhaqqiq Syamsuddin Muhammad Ibnu Abu Bakar Ibnu Al Qayyim Al Jauziyyah murid
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah membantah mereka dengan bantahan yang
detail atas dalil-dalil mereka, dan di antara bantahan yang beliau kemukakan
untuk menohok syubhat yang tadi adalah :
(Dan Adapun (pernyataan) pengharaman memandang wanita tua merdeka yang
buruk rupa, dan bolehnya memandang wanita budak yang cantik jelita, maka itu
adalah suatu kedustaan terhadap syariat, di mana Allah mengharamkan ini dan
membolehkan itu ? Allah U hanyalah mengatakan,”Katakanlah
kepada orang-orang mu’min,” Hendaklah mereka menahan pandangannya,”[2]dan
Allah tidak membiarkan bagi mata untuk memandang kepada wanita budak yang canti
jelita, dan bila khawatir fitnah karena akibat memandang budak, maka haram
atasnya memandang kepadanya tanpa ragu lagi.
Dan syubhat ini hanyalah timbul karena Allah mensyariatkan
wanita-wanita merdeka agar menutupi wajah mereka dari pandangan laki-laki lain,
dan adapun budak,
maka hal itu tidak diwajibkan, namun ini tentunya bagi wanita
budak yang biasa-biasa saja yang dipekerjakan, adapun wanita-wanita budak yang
biasa di tasarri[3]
yang pada biasanya mereka itu terjaga dan tertutup, maka di mana Allah dan
Rasul-Nya membolehkan bagi mereka membuka wajahnya di pasar, di jalanan, dan di
tempat ramai, serta membolehkan bagi laki-laki menikmati dengan memandanginya ?
Maka ini sungguh suatu kekeliruan yang murni
atas nama syariat,
dan kesalahan ini diperkuat dengan kekeliruan yang lebih dasyat yang bersumber
dari pernyataan sebagian ahli fiqih, mereka berkata : (Sesungguhnya wanita
merdeka itu adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, dan aurat
budak adalah apa yang biasa tidak nampak darinya, seperti perut, punggung, dan
betis) maka mereka mengira bahwa apa yang biasa nampak darinya itu adalah
hukumnya sama dengan hukum wajah laki-laki, sedangkan ini adalah hanyalah di
dalam shalat, bukan dalam masalah pandangan, karena sesungguhnya aurat itu
ada dua : Aurat di dalam shalat, dan aurat di dalam pandangan,
maka wanita merdeka boleh shalat dengan membuka wajah [4]dan
kedua telapak tangannya, namun dia tidak boleh keluar dengan membuka wajah dan
telapak tangan ke pasar dan tempat ramai, Wallahu ‘Alam.[5]
Dan apa yang ditetapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan
Al Imam Al Muhaqqiq Ibnu Al Qayyim rahimahumallah berupa ihtijabnya
wanita-wanita budak yang cantik, dan tampaknya budak-budak yang tidak cantik,
sungguh telah ditetapkan dengan jelas oleh Al Imam Ahmad rahimahullah,
Ibnu Manshur telah menukil darinya, bahwa beliau berkata : Wanita budak
tidak boleh memakai niqab,” dan Ibnu Manshur serta Abu Hamid Al
Khaffaf telah menukil darinya juga,
bahwa beliau berkata : Wanita budak yang cantik hendaklah memakai niqab,” [6]
·
Al ‘Allamah Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Jazzi Al Kalbi Al Malikii (Wafat 741 H) rahimahullah
berkata dalam tafsirnya : Wanita-wanita
arab dahulu biasa membuka wajahnya seperti budak, dan hal itu mengundang
perhatian laki-laki terhadapnya, maka Allah U memerintahkan mereka agar
mengulurkan jilbab-jilbabnya supaya menutupi wajah-wajahnya sehingga bisa
dibedakan antara wanita merdeka dengan budak. Jalaabib adalah bentuk
jamak dari jilbab, yaitu pakaian yang lebih besar dari khimar,
ada yang mengatakan pula bahwa ia adalah rida’(jubah), cara mengulurkannya
menurut Ibnu Abbas t adalah si wanita mengulurkannya
pada wajahnya sehingga tidak nampak darinya kecuali satu mata untuk melihat
jalan, dan ada yang mengatakan : Dia melilitkannya sehingga tidak nampak
kecuali kedua matanya saja. Dan ada yang mengatakan : Dia menutupi separuh
wajahnya.[7]
,” Yang demikian itu supaya mereka lebih
mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu,” yaitu yang demikian
itu lebih dekat untuk dikenal wanita-wanita merdeka dari wanita-wanita budak,
maka bila diketahui bahwa wanita itu adalah wanita merdeka maka dia tidak
mendapat gangguan seperti gangguan yang di dapatkan budak. Bukan maksudnya
wanita itu dikenal siapa dia, namun maksudnya adalah bisa dibedakan mana wanita
merdeka dan mana wanita budak, karena dahulu di Madinah ada wanita-wanita budak
yang dikenal nakal, sehingga terkadang diganggu oleh laki-laki nakal.[8]
·
Al Imam An Nahwiy Al Mufassir Atsiruddin Abu Abdillah Muhammad Ibnu
Yusuf Ibnu Ali Ibnu Hayyan Al Andalusiyy
yang terjkenal dengan sebutan Abu Hayyan (Wafat 745 H) rahimahullah
berkata di dalam tafsirnya :…… As Suddiy berkata : Dia menutup salah
satu matanya, keningnya, dan bagian muka yang lainnya kecuali satu mata saja”[9]Dan
beliau rahimahullah berkata lagi
: ( Dan yang dhahir bahwa firman-Nya,” Dan wanita-wanita kaum mu’minin,” mencakup
wanita-wanita merdeka dan budak, dan fitnah akibat wanita budak adalah lebih
banyak karena banyaknya aktifitas mereka, berbeda dengan wanita merdeka, maka mengeluarkan mereka (budak) dari umumnya wanita memerlukan kepada
dalil yang jelas[10],
dan ,”min,” pada kalimat ,”jalaabiibihinna,” adalah littab’idl, sedangkan ,”’alaihinna,”
mencakup seluruh tubuhnya, atau ,”‘alaihinna,” artinya kepada
wajah-wajahnya, karena yang biasa nampak pada zaman jahiliyyah dari diri
mereka adalah wajah.,” Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal,” karena mereka menutupi diri mereka dengan
keiffahan, sehingga mereka tidak diganggu, dan tidak mendapatkan apa yang
mereka tidak sukai, karena wanita bila sangat tertutup, maka tidak ada orang
yang berani mengganggu, berbeda dengan yang suka bertabarruj, maka dia itu
sangat digandrungi.
Fasal
Penjelasan
benarnya adanya perbedaan antara wanita merdeka dengan budak dalam masalah
hijab
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : (Sedangkan hijab itu
adalah khusus bagi wanita-wanita merdeka tidak termasuk wanita budak,
sebagaimana sunnah kaum mu’minin pada zaman Nabi r dan para khalifahnya : Bahwa wanita merdeka
berhijab, sedangkan wanita budak adalah tampak)[11]
dan belia rahimahullah berkata : Firman-Nya,”katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang
mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka" : adalah dalil yang menunjukan bahwa hijab itu hanya
diperintahkan kepada wanita-wanita merdeka saja, tidak wanita budak, karena Dia
mengkhususkan isteri-isteri dan puteri-puterinya, dan tidak mengatakan hamba
sahayamu, dan hamba sahaya isteri-isterimu dan puteri-puterimu, terus
mengatakan,” dan isteri-isteri orang mu'min,” sedangkan hamba sahaya
tidak masuk dalam jajaran isteri-isteri orang mu’min, sebagaiman tidak masuk
dalam firman-Nya,” wanita-wanita islam,” budak-budak yang mereka miliki,
sehingga di’athafkan kepadanya dalam dua ayat An Nur dan Al Ahzab[12],
dan ini terkadang dikatakan :
Hanyasannya berlaku bagi orang yang mengkhususkan budak-budak yang
dimiliki dengan perempuan saja, dan kalau tidak demikian, sesungguhnya orang
yang mengatakan : Dia itu mencakup laki-laki dan permpuan atau bagi laki-laki
saja, maka pendapat ini peril ditinjau kembali.
Dan juga firman-Nya,”Kepada orang-orang yang meng-ilaa’ isterinya,”[13]
dan firman-Nya,”Orang-orang yang
mendhihar isterinya di antara kamu,” [14]yang
dimaksud adalah wanitawanita yang diberi mahar (merdeka)bukan budak, maka
begitu juga ayat ini, maka ayat penguluran jilbab adalah di saat menampakan
diri ke luar rumah, sedangkan ayat hijab
adalah di saat berbincang-bincang di dalam rumah, ini di samping dasar yang ada di dalam hadits Shahih, di saat Nabi r memilih Shafiyyah Bintu Huyayy, dan perkataan para
sahabat : Bila beliau menghijabinya, berarti dia tergolong Ummahatul Mu’minin,
dan kalau tidak berarti dia termasuk hamba sahayanya, menunjukan bahwa hijab itu khusus bagi wanita –wanita merdeka
saja.
Dan di dalam hadits itu juga menunjukan bahwa sifat keibuan bagi kaum
mu’minin hanya diraih oleh isteri-isteri beliau, tidak hamba-hamba sahayanya
yang di-tasarri, dan Al Qur’an tidak menunjukan kecuali kepada itu, karena Dia
berfirman,” dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka,”[15]
dan firman-Nya,”dan tidak (pula)mengawini isteri-isterinya elama-lamanya
sesudah ia wafat,”[16],
dan ini adalah dalil ketiga dari ayat ini, karena, dhamir pada
firman-NyaApabila kamu meminta suatu (keperluan) kepada mereka ,” kembali
kepada isteri-isterinya, dan sama sekali tidak ada khithab yang
berkenaan dengan hamba sahayanya, namun kebolehan menikahi bekas hamba-hamba
sahayanya sesudah beliau wafat masih perlu ditinjau ulang.[17]
Fasal
Penyebutan atsar-atsar dari Umar t yang membedakan antara budak
dengan wanita merdeka dalam hal taqannu’ dan jilbab.[18]
Abdur Razak
meriwayatkan dalam Mushannafnya : Telah mengabarkan kepada kami Ma’mar dari
Qatadah dari Anas, bahwa Umar t pernah memukul budak milik keluarga Anas yang beliau
lihatnya mengenakan penutup kepala, maka beliau berkata : Buka kepala kamu,
jangan sekali-kali kamu menyerupai wanita merdeka,” .
Ibnu Juraij
meriwayatkan dari ‘Atha bahwa Umar t pernah melarang wanita-wanita budak dari mengenakan
jilbab, karena dengan itu mereka menyerupai wanita-wanita merdeka. Ibnu Juraij
berkata dari Nafi’ : Sesungguhnya Shafiyyah Bintu Abi Ubaid telah memberi kabar
kepadanya, dia berkata : Seorang wanita keluar dengan menutup wajah lagi
berjilbab, maka Umar berkata : Siapa wanita ini ? maka dikatakan kepadanya :
Hamba sahaya milik si Fulan, laki-laki tergolong keluarga beliau, maka Umar
mengirim seseorang kepada Hafshah, terus berkata : Apa sebabnya engkau menutupi
wajah budak ini memakaikannya jilbab, sampai saya hendak memukulnya, dan saya
tidak mengira dia itu kecuali wanita merdeka ? janganlah kalian menyamakan
wanita budak-budak itu dengan wanita-wanita merdeka”..dan diriwayatkan oleh Al
Baihaqiy, dan berkata : Atsar-atsar seperti itu dari Umar adalah shahih.
Ibnu Abi Syaibah
meriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya : Ali Ibnu Mushar telah
mengabarkan kami dari Al Mukhtar Ibnu Filfil dari Anas Ibnu Malik, berkata :
Seorang hamba sahaya masuk menemui Umar Ibnu Al Khaththab yang pernah beliau
kenali milik orang kalangan Muhajirin atau Anshar, sedangkan dia itu
mengenakan jilbab yang dengannya dia bertaqannu’, maka beliau bertanya
kepadanya : Kamu sudah dimerdekakan ? dia menjawab : Belum,” Umar bertanya :
Maka kenapa jilbab itu ?! lepaskan dari kepalamu, hanyasannya jilbab itu wajib
bagi wanita-wanita merdeka dari kalangan wanita-wanita orang mu’min, “budak itu
mencari-cari alasan, maka Umar menghampirinya dengan tongkatnya, beliau pukul
kepalanya hingga ia melepaskan jilbabnya.
Muhammad Ibnu Al Hasan meriwayatkan dalam Kitab Al Atsar : Telah mengabarkan kepada
kami Abu Hanifah dari Hammad Ibnu Abi Sulaiman Dari Ibrahim An Nakhai’ bahwa
Umar Ibnu Al Khaththab pernah memukul wanita-wanita hamba sahaya karena sebab
mereka menutup kepala, dan beliau berkata : Janganlah kalian menyerupai
wanita-wanita merdeka.
·
Al Imam Al Hafidz Abu Al Fida
Ismail Imaduddin Ibnu Umar Ibnu Katsir Al Qurasyiy Asy Syafii’ (Wafat 774 H) rahimahullah
berkata dalam tafsirnya yang bagus : Allah U
berfirman kepada Rasul-Nya r sambil memerintahkan agar
menyuruh wanita-wanita mu’minat apalagi isteri-isteri dan puteri-puterinya karena kemuliaan mereka supaya mengulurkan
jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, supaya mereka membedakan diri dari
cirri-ciri wanita jahiliyyah dan budak. Sedangkan jilbab adalah rida’yang lebih
lebar dari kerudung (khimar), ini dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, Ubaidah,
Qatadah, Al Hasan Al Bashri, Said Ibnu Jubair, Ibrahim An Nakhai’, ‘Atha Al
Khurasani dan lain-lain, sama dengan izar saat ini. Al Jauhariy berkata
: Jilbab adalah milhafah, seorang wanita dari Hudzail berkata dalam
rangka memuji saudaranya yang mati :
Rajawali bergerak menujunya, sedang dia lalai
Layak jalannya gadis perawan yang mengenakan jilbab
Ali
Ibnu Abi Thalhah berkata dari Ibnu Abbas t : Allah memerintahkan istri-istri
orang-orang mu’min bila mereka keluar dari rumahnya untuk suatu hajat agar
menutupi wajah mereka dengan jilbab yang diulurkan dari atas kepalanya, dan
hanya menampakan satu mata.[19]
Dan Muhammad Ibnu Sirin
berkata : saya bertanya kepada Ubaidah As Salmani tentang firman Allah Ta’ala,”
Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka,” maka
beliau menutupi wajah dan kepalanya dan menampakan mata kirinya.[20][21]
·
Al Imam Jalaluddin Abu
Abdillah Muhammad Ibnu Ahmad Al Mahalliy rahimahullah (Wafat 764 H) menafsirkan ayat ini dengan perkataannya : مِنْ
جَلاَبِيْبِهِنَّ bentuk
jamak dari jilbab,dan jilbab adalah jubah
yang dengannya perempuan menutupi seluruh tubuhnya, dan maknanya : Hendaklah
mereka mengulurkan sebagian jilbabnya pada wajahnya bila mereka keluar untuk
hajatnya kecuali satu mata, karena hal itu lebih memudahkan untuk mengenali
mereka bahwa mereka itu adalah wanita-wanita merdeka sehingga mereka tidak
diganggu, berbeda dengan budak-budak dimana mereka itu tidak menutupi wajahnya,
sehingga menyebabkan orang-orang munafiq mengganggu/menggoda mereka, dan Allah
itu Maha Pengampun atas yang telah lalu dari mereka karena tidak
menutupinya, Maha Penyayang terhadap mereka karena Dia telah menutupi
mereka.[22]
·
As Sayuthi rahimahullah berkata : Ini adalah ayat hijab buat seluruh
wanita, di dalamnya ada kewajiban atas
wanita untuk menutupi kepala dan wajah.[23]
·
Al Imam Al Khathib Asy
Syarbiniy rahimahullah berkata dalam
tafsirnya : يُدْنِيْنَ mengulurkan عَلَيْهِنَّ ke wajah dan
seluruh tubuh mereka, maka janganlah mereka membiarkan sedikitpun dari badannya
terbuka.[24]
Dan beliau
berkata lagi : ‘Adil berkata : Dan bisa dikatakan : Yang dimaksud : Mereka
lebih mudah dikenal bahwa mereka itu tidak berzina, karena wanita yang menutupi
wajahnya-padahal bukan aurat-, yaitu di dalam shalat, tidak diharapkan padanya
bahwa dia mau membuka auratnya, maka karena mereka itu tertutup, tidak mungkin
minta dilayani berzina dari mereka.[25]
·
Syaikh Abu As Su’ud Muhammad
Ibnu Muhammad Al ‘Imadiy (Wafat 951 H) rahimahullah
berkata dalam tafsirnya : Yaitu hendaklah mereka menutup wajah dan badan mereka
dengan jilbab itu bila mereka keluar untuk suatu kepentingan.[26]
·
Asy Syaikh Ismail Haqa Al
Barwasawiy (Wafat 1137 H) rahimahullah
berkata dalam tafsirnya : Dan maknanya adalah hendaklah mereka menutup wajah
dan badan mereka dengan jilbab itu di kala keluar dari rumahnya untuk
suatu kepentingan, dan janganlah mereka keluar dengan wajah dan badan terbuka
seperti budak agar tidak diganggu oleh orang-orang nakal dengan anggapan bahwa
mereka itu adalah budak….” Dan beliau menukil atsar dari Anas t berkata : Seorang budak perempuan melewati Umar Ibnu Al Khaththab t dengan menutupi mukanya maka Umar hendak memukulnya dengan tongkat,
seraya berkata : Hai Lakaa’[27],
kau menyerupai wanita merdeka, lepaskan kain penutup itu..[28]
·
Al Imam Al ‘Allamah Asy
Syaukani (Wafat 1250 H) rahimahullah
berkata di dalam tafsirnya : (Al Wahidi berkata : Para Ahli tafsir berkata :
Mereka hendaklah menutupi wajah dan kepala mereka kecuali satu mata saja,
sehingga mereka diketahui bahwa mereka itu adalah wanita merdeka yang tidak
boleh diganggu)….sampai akhirnya beliau rahimahullah berkata : (Dan
bukanlah yang dimaksud dengan firman-Nya,” Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal,” adalah salah satu dari mereka diketahui dari yang
lainnya, akan tetapi maknanya adalah mereka itu dikenal bahwa mereka adalah
wanita-wanita merdeka bukan budak karena mereka telah mengenakan pakaian yang
khusus buat wanita merdeka.[29]
·
Asy Syaikh As Sayyid
Muhammad Usman Ibnu As Sayyid Muhammad Abi Bakar Ibnu As Sayyid Abdullah Al
Mairghiniy Al Mahjub Al Makiy (Wafat 1268 H)
rahimahullah berkata dalam tafsirnya : Maknanya hendaklah mereka
mengulurkan pada wajah dan badan mereka kain yang menutupinya seperti jubah dan
pakaian yang menutupi.[30]
·
Al ‘Allamah Abu Al Fadhl Syihabuddin As
Sayyid Mahmud Al Alusiy Al Baghdadi (Wafat 1270
H) rahimahullah berkata dalam tafsirnya : (Al Idnaa adalah
bermakna At Taqrib (mendekatkan/mengulurkan) dikatakan adnannii
artinya qarrabanii, dan mengandung makna penguluran dan penguraian, dan
oleh karenanya di muta’addikan dengan ‘alaa, sesuai pengetahuan
saya, dan mungkin saja rahasia tadlmin adalah pengisyaratan akan yang
dimaksud itu adalah menutupi yang masih memungkinkan melihat jalan, maka
perhatikanlah).Dan beliau rahimahullah berkata lagi : Dan yang dhahir
dari kata عَلَيْهِنَّ adalah keseluruh
tubuhnya, dan dikatakan pula : pada kepalanya, dan dikatakan pula : pada
wajah-wajah mereka, karena yang biasa nampak zaman jahiliyah adalah
wajah….” Beliau berkata lagi : Dan dalam
riwayat lain dari Al Habru (Ibnu Abbas) yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu
Abi Hatim, dan Ibnu Mardawaih : Dia (wanita) menutupi wajahnya dengan jilbab
yang diulurkan dari atas kepalanya dan hanya menampakan satu mata. Dan Abdur
Razzaq dan Jamaah meriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu 'anha,
beliau berkata : Tatkala ayat ini,’ Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya
ke seluruh tubuh mereka," turun, maka wanita-wanita Anshar keluar
rumah seolah-olah diatas kepala mereka ada burung gagak karena saking
tenangnya, sedangkan mereka mengenakan pakaian hitam.[31] Dan
Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anha beliau
berkata : Semoga Allah Ta’ala merahmati para wanita Anshar, tatkala turun,” Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 33:59),” mereka langsung merobek muruth (kain tebal)
yang mereka miliki terus mereka menutup seluruh tubuhnya dengannya, kemudian
mereka ikut shalat di belakang Rasulullah r seolah-olah diatas kepala mereka ada burung gagak.[32]
·
Ni’matullah Ibnu Mahmud Al Khajwaniy : يدنين
artinya menutupi عليهن
pada tangan-tangan,
kaki-kaki, dan seluruh badannya من dari sisa-sisa جلابيبهن
jubah-jubahnya sehingga
tidak nampak dari bagian-bagian dan anggota-anggota badannya sedikitpun kecuali
kedua matanya, bahkan satu mata saja.[33]
·
Syaikh Abdul
Aziz Ibnu Ahmad Ad Damiri mengatakan :
Mereka mengulurkan ridanya untuk menutupi wajahnya, kepalanya sekaligus
dadanya.[34]
·
Al Muhayimiy
berkata : يدنين mendekatkan yang mengandung penutupan عليهن terhadap wajah dan badan-badan mereka.[35]
·
‘Allamatusy
Syam Muhammad Jamaluddin Al Qasimiy (Wafat 1332 H) rahimahullah berkata dalam tafsirnya :
Maka wanita-wanita merdeka diperintahkan dengan pakaiannya itu menyalahi
penampilan budak, yaitu dengan mengenakan rida’ dan milhafah
(baju yang menutupi seluruh badan, pent) serta menutup kepala dan wajah agar
mereka terjaga dan tidak menimbulkan hasrat laki-laki liar. Dan beliau berkata
lagi : Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Yunus Ibnu Yazid, bahwa dia bertanya
kepada Az Zuhriy : Apakah wanita budak harus memakai khimar, baik sudah nikah
atau belum ? beliau menjawab : Dia harus memakai khimar (kerudung) bila sudah
nikah, dan laranglah dia dari mengenakan jilbab, karena dilarang mereka
menyerupai wanita-wanita merdeka yang muhshanah.[36]
·
Al ‘Allamah
Syaikh Abu Abdillah Abdul Rahman Ibnu Nashir Al Sa’di rahimahullah
berkata dalam tafsirnya : Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Ayat ini adalah yang disebut
ayat hijab, Allah menyuruh Nabi-Nya agar memerintahkan seluruh wanita,
dan memulai dengan isteri-isteri dan puteri-puterinya karena mereka adalah
lebih harus ditekankan terlebih dahulu dari yang lainnya, dan karena orang yang
hendak memerintah orang lain seharusnya dia memulai dengan keluarganya sebelum
orang lain sebagaiman firman-Nya ,” Wahai orang-orang yang beriman jagalah
diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka,” agar ,”mengulurkan
jilbabnya keseluruh tubuh mereka,” dan jilbab itu adalah pakaian
rangkap seperti milhafah, khimar, rida’ dan lain-lain,
yaitu hendaklah mereka menutupi dengan jilbab itu wajah dan dada mereka,
kemudian Dia menyebutkan hikmah hal itu dengan firman-Nya,” Yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu,”
ini menunjukan akan adanya gangguan bila mereka tidak berhijab, itu dikarenakan
mereka bila tidak berhijab, mungkin saja dikira bahwa mereka itu adalah bukan
wanita baik-baik, sehingga orang yang berpenyakit di dalam hatinya berusaha
untuk mengganggunya, dan bisa saja mereka dihina, serta mereka diduga budak
sehingga orang nakal berani mengganggunya, maka hijab itu sebagai pemutus akan
hasrat dan keinginan orang-orang jahat terhadap mereka.,” Dan Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ,” karena Dia
mengampuni bagi kalian apa yang telah lewat, dan menyayangi kalian, karena Dia
telah menjelaskan hukum-hukum-Nya kepada kalian, Dia telah jelaskan halal dan
haram. Ini adalah penutup pintu dari pihak wanita, dan adapun dari pihak
orang-orang jahat, maka Dia telah
mengancam mereka dengan firman-Nya,”Sesungguhnya bila tidak berhenti
orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit di dalam hatinya,” yaitu
penyakit keraguan dan syahwat,”dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong
di Madinah,” yaitu yang menakut-nakuti (kalian) akan musuh lagi
membicarakan jumlah banyak dan kekuatan mereka dan lemahnya kaum mu’minin, dan
Dia tidak menyebutkan apa yang harus mereka hentikan darinya, agar mencakup
semua apa yang dibisikan dan diwaswaskan oleh jiwa mereka terhadap mereka, dan
kejahatan dan gangguan yang secara tidak langsung menghina Islam dan pemeluknya,
juga menakut-nakuti kaum muslimin dengan kabar bohong dan mematahkan
kekuatannya, dan usaha mereka dalam mengganggu kaum mu’minat dengan perbuatan
buruk dan keji, dan maksiat-maksiat lainnya yang banyak bersumber dari
orang-orang seperti mereka,”niscaya Kami perintahkan kamu (untuk) menyerang
mereka,” yaitu memerintahkan engkau
untuk menghukumi mereka, dan memeranginya, serta Kami kuasakan engkau untuk
membinasakan mereka, kemudia bila Kami lakukan hal itu, maka tidak ada bagi
mereka kekuatan untuk melawanmu, dan mereka tidak memiliki daya dan pertahanan,
dan oleh sebab itu Dia berfirman,”kemudian mereka tidak menjadi tetangganu (
di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar.[37]
·
Al Imam
Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah berkata : Dan di antara dalil-dalil qur’aniy
yang mewajibkan berhijabnya perempuan
dan mereka menutup seluruh tubuhnya hingga wajahnya adalah firman Allah U ,” Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" banyak para ulama
berkata : Bahwa sesungguhnya makna,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya
ke seluruh tubuh mereka" adalah bahwa mereka menutupi seluruh
wajahnya dengan jilbab itu, dan tidak nampak darinya kecuali satu mata
saja untuk melihat, diantara yang mengatakan hal ini adalah Ibnu
Mas’ud, Ibnu Abbas,Ubaidah As Salmaniy dan lain-lain.
[1] Tafsir Surat An Nur 86.
[2] An Nur : 30.
[3] Tasarri adalah si tuan menggauli budaknya, dan itu halal di dalam
islam.
[4] Namun bila shalat di tempat yang di sana ada laki-laki bukan mahram
melihatnya maka dia tetap harus menutup wajahnya, begitulah para ulama
mengatakan di antaranya Ash Shan’aniy, Syaikh Utsaimin dan lain-lain.(pent)
[5] Al Qiyas Fi Asy Syari 69.
[6] Ash Sharim Al Masyhur 74.
[7] Dan Al Qurthubi menisbatkannya kepada Al Hasan (Al Jami’ Li ahkam Al Qur’an 14/243).
[8] At Tashil Li Ulumit Tanzil 3/144
[9] Al Bahrul Muhith 7/250
[10] Jelaslah dari ini bahwa Al Imam Abu Hayyan rahimahullah berpendapat
bahwa wanita budak dan wanita merdeka sama saja dalam hukum kewajiban hijab
yang empurna yang mencakup wajah dan kedua telapak tangan, berdasarkan karena
tidak adanya dalil yang membedakan antara keduanya dalam hukum, dan darinya
jelaslah marjuhnya (lemahnya) pendapat fadlilatu Asy Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Al Baniy hafidhahullah berupa istidlal beliau
dengan perkataan Abu Hayyan : (Maka mengeluarkan mereka (budak) dari
umumnya wanita memerlukan kepada dalil yang jelas) terhadap
keabsahan madzhab beliau dalam menyamakan antara wanita merdeka dengan budak –
bukan dalam wajibnya hijab yang sempurna seperti madzhab Abu Hayyan pemilik
teks ini- namun dalam masalah kesamaan antara keduanya dalam sufur (membuka
wajah).
[11] Tafsur Ayat An Nur : 56.
[12] Yaitu firman-Nya,”dan janganlah menampakan perhiasannya……..atau
wanita-wanita islam atau budak-budak yang mereka miliki,” An Nur : 31, juga
firman-Nya,”Tidak ada dosa atas isteri-isteri Nabi (untuk berjumpa tanpa
tabir) dengan bapak-bapak mereka…..dan permpuan-perempuan yang beriman, dan
hamba sahaya yang mereka miliki,” Al Ahzab : 55.
[13] Al Baqarah :226.
[14] Al Mujadilah : 2.
[15] Al Ahzab : 6.
[16] Al Ahzab : 53
[17] Majmu Al fatawa 15/448-449, dan dalam apa yang beliau sebutkan tadi
ada bantahan terhadap anggapan jauh Al Allamah Al Albaniy atas pengkhususan
firman-Nya,”isteri-isteri orang mu’min,” bagi wanita-wanita merdeka
saja, tidak termasuk budak, sebagiamana yang tertera dalam Hijabul Mar’ah Al
Muslimah 44-47, padahal beliau menshahihkan atsar Umar t yang membedakan antara budak dengan wanita merdeka sebagaimana yang
akan datang insya Allah.
[18] Lihat Nashbu Ar Rayah karya Az Zailai’ 1/300-301, Al Muhalla Ibnu
Hazm 3/218, Irwaul Ghalil Al Albaniy 6/203-204, mereka menshahihkan atsar
–atsar ini yang membedakan antara hijab wanita merdeka dan budak.
[19] Riwayat Ali Ibnu Abi Thalhah dari Ibnu Abbas adalah munqathi,
Al Hafidh Ibnu Hajar berkata : (Dia meriwayatkan dari Ibnu Abbas sedang dia itu
tidak mendengar darinya, diantara keduanya ada
Mujahid), dan Duhaim berkata : (Dia tidak mendengar tafsir dari Ibnu
Abbas), dan Ibnu Hibban menyebutkannya dalam jajaran orang yang tsiqat, dan
berkata : (Dia meriwayatkan dari Ibnu Abbas sedang dia tidak pernah
melihatnya)-(Dia mempunyai riwayat dalam Muslim satu hadits dalam masalah ‘Azl,
dan dalam yang lain meriwayatkan baginya satu hadits dalam masalah Fara’idl)-Al
Hafidh Ibnu Hajar berkata : ( Saya berkata : Al Bukhari menukil dalam bab tafsirnya riwayat Muawiyah Ibnu
Shalih darinya dari Ibnu Abbas dalam judul bab dan yang lainnya, namun beliau
tidak menyebutkan namanya seraya berkata : Ibnu Abbas berkata, atau disebutkan
dari Ibnu Abbas)….dan bisa dipahami dari shigat jazm (pasti)
bahwa Al Imam Al Bukhari berihtijaj dengan riwayat ini yaitu riwayat Ali Ibnu
Abi Thalhah dari Ibnu Abbas t dalam beberapa tempat dari kitab
tafsirnya, beliau menuturkannya dengan cara mu’allaq meskipun tidak
memenuhi syarat beliau dalam Al Jami’ Ash Shahih, dan Ibnu Hajar
memaushulkannya dalam Fathul Bari, lihat Fathul Bari 8/207, 8/228, 8/265, dan
lihat Tahdzib At Tahdzib 7/339-340.
Dan sanadnya hasan lihat Raf’ul Junnah
(pent)
[20] Atsar ini disebutkan oleh As Sayuthi dalam Ad Durr Al Mantsur
5/221, dan berkata :Dikeluarkan oleh Al Faryabi dan Abdu Ibnu Humaid, Ibnu Al
Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim dari Muhammad Ibnu Sirin.
Isnadnya shahih,
lihat Raf’ul Junnah (pent).
[21] Tafsir Al Qur’an Al Adhim 6/470.
[22] Qurratu al ‘Ain ‘Ala Tafsir Al Jalalain :560.
[23] ‘Aunul Ma’bud 4/106, Al Iklil di pinggir Jami’ Al Bayan 334.
[24] Artinya: Siraj Al Munir 3/271
[25] Ibid 3/372.
[26] Ir Syadul ‘Aqli As Salim Ila Mazaya Al Qur’an Al Karim 7/115.
[27] Kata yang diucapkan bagi sesuatu yang dianggap hina, seperti budak,
gembel, orang dungu, seperti ucapan anda ; Ya Khissis,” dari Fathul bayan karya
Shiddiq hasan Khan 7/415.
[28] Fathul Bayan 7/240.
[29] Fathul Qadir Al Jami’ baina Fannai Ar Riwayah Wad Dirayah Min
‘Ilmit Tafsir 4/304-305.
[30] Tafsir Al Mairghiniy 2/93.
[31] Dikeluarkan oleh Abu Dawud 2/182 dengan sanad yang shahih, dan
dikeluarkan dalam Ad Durr 5/221 dari riwayat Abdur Razzaq dan Abd Ibnu Humaid,
Abu Dawud, Ibnu Al Mundzir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardawaih dari hadits Ummu
Salamah radhiyallahu 'anha dengan
lafadh,” Karena pakaian-pakaian hitam yang mereka kenakan,” Ghirban
adalah jamak dari ghurab, pakaian hitam diserupakan dengan gagak karena
sama-sama hitamnya.
[32] Ruhul Ma’ani Fi Tafsiril Qur’an Al ‘Adhim Was Sab’il Matsani
22/88-90.
[33] Ruhul Ma’ani Fi Tafsiril Qur’anil Adhim Was Sab’il Matsani
22/88-90.
[34] At Taisir Fi Ulumi At Tafsir :91, dinukil dari Majallah Al Jami’ah As Salafiyyah.
[35] Tabshirur Ar Rahman 2/164, nukilan dari Majallah Al Jami’ah As
Salafiyyah.
[36] Tabshir Ar Rahman 2/164, dinukil dari Majallah Al Jami’ah As Salafiyyah.
[37] Taisir Al Karimir Rahman Fi Tafsir Kalam Al Mannan 6/122.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar