·
Perkataan Al ‘Allamah Abu Hisyam Abdullah Al
Anshariy dalam penafsiran ayat
penguluran.
Beliau rangkum perkataannya itu dalam sebuah
pembahasan yang sangat berharga : (Ibrazul Haq Wash Shawab Fi Mas’alatis
Sufur Wal Hijab) yang diterbitkan oleh Majallah Al Jami’ah As Salafiyyah di
India yang beliau tulis dalam rangka membantah tulisan Doktor Muhammad
Taqiyyuddin Al Hilaliy- rahimahullah- dengan judul : Al Isfar ‘Anil
Haq Fi Mas’alatis Sufur Wal Hijab,, Dan saya akan menguraikannnya dengan
keseluruhan, karena mengandung faidah yang agung, beliau hafidhahullah
berkata :
( Dan ayat ini adalah penyempurna dan penjelas
ayat bagi ayat hijab, itu dikarenakan sesungguhnya ayat hijab diuraikan dalam
rangka menjelaskan hukum-hukum rumah, karena Allah U memulai khithabnya
dengan firman-Nya,”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memauki
rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan,” dan dalam
konteks ini Dia memerintahkan agar berhijab dengan firman-Nya,”Apabila kamu
meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah
dari balik tabir ,” maka para sahabat mengetahui dari penjelasan ini bahwa
mereka tidak boleh masuk ke dalam rumah-rumah beliau, atau berdiri diam di
depan pintunya di saat mereka membutuhkan untuk meminta sesuatu, namun mereka
harus memintanya dari balik sesuatu yang dinamakan hijab, baik berupa
tembok atau pintu, atau tabir yang dipasang, nah dari sinilah timbul pertanyaan
lain, yaitu apa yang mereka lakukan ? atau apa yang dilakukan wanita bila ingin
keluar rumah ? Maka Allah U menurunkan ayat ini, dan memerintahkan para wanita
agar mengulurkan jilbab-jilbannya ke seluruh tubuh mereka, dan dengan ini
sempurnalah perintah hijab dalam dua keadaan, di saat keluar rumah dan di saat
berada di dalam rumah.
Dan ayat
yang mulia ini menuntut pengamatan dan pemikiran yang diulang-ulang dari
beberapa sisi :
Pertama : Sesungguhnya Allah U tidak mengatakan yatajalbabna
(berjilbablah) namun Dia hanya mengatakan yudniina (mengulurkan), dan
sudah maklum bahwa mengulurkan itu bukanlah berjilbab, namun dia itu lebih dari
sekedar berjilbab, maka realisasi dari perintah ini tidak terlaksana dengan
sekadar berjilbab, namun harus melakukan sesuatu yang lebih darinya yang
dengannya penafsiran kalimat idnaa (penguluran) itu benar.
Kedua
: Sesungguhnya
penguluran itu tidaklah dikatakan
pada pemakaian baju, kemudian dia juga tidak muta’addi (memerlukan
obyek) dengan huruf ‘alaa, namun muta’addi dengan lam, min,
dan ilaa, maka pemerluan obyeknya dengan ‘alaa di sini
dikarenakan idnaa tersebut mengandung makna kata kerja lain, yaitu irkhaa
(menguraikan/mengulurkan), sedangkan irkhaa ini terlaksana bila
dilakukan dari atas, sehingga maknanya adalah : Hendaklah mereka mengulurkan
bagian dari jilbab-jilbabnya dari atas kepala-kepala mereka kepada wajah-wajah
mereka. Adapun perkataan kami : kepada wajah-wajah mereka,” kami ambil
dikarenakan jilbab itu di saat diulurkan pasti mengenai anggota badan, dan
sudah diketahui secara langsung bahwa anggota badan yang dimaksud tidak
lain kecuali wajah, dan adapun hanya
pada kening saja, maka sudah maklum bahwa kadar kecil dari penempelan pakaian
ini tidak dinamakan penguluran, dan makna ini dikuatkan (yaitu bahwa yang
dimaksud dengan idnaa adalah penguluran/penguraian bukan sekedar
berjilbab) juga, bahwa Allah U mendatangkan dengan kata min yang memiliki arti sebagian
sebelum kata jalaabib, maka tuntutannya adalah bahwa penguluran ini
terlaksana dengan sebagian jilbab di samping bahwa berjilbab itu dikatakan bagi
semua cara mengenakan jilbab itu.
Ketiga : Sesungguhnya dhamir
pada kalimat yudniina kembali pada tiga kelompok wanita seluruhnya :
isteri-isteri Nabi r, puteri-puterinya, dan wanita-wanita
orang-orang yang beriman. Sedangkan para ulama sudah berijma bahwa menutupi
wajah dan kedua telapak tangan adalah hal yang diwajibkan atas isteri-isteri
Nabi r, maka bila kata kerja ini (maksudnya yudniina)
menunjukan akan wajibnya menutup wajah dan kedua telapak tangan bagi satu
kelompok dari yang tiga itu, maka kenapa kata kerja yang sama tersebut tidak
menujukan akan kewajiban yang sama bagi kedua kelompok yang lainnya ?!.
Keempat : Sesungguhnya Allah U memerintahkan Ummahatul
Mu’minin agar menutupi diri secara sempurna dalam ayat hijab, dan sama sekali
tidak mengecualikan sedikitpun dari anggota tubuhnya, maka seandainya yang
dimaksud dengan idnaaul jilbab itu adalah menutupi kepala tanpa
mencakup wajah dan kedua telapak tangan, tentu firman Allah U itu adalah sia-sia bagi
hak Ummahatul Mu’minin, karena termasuk suatu yang sangat aneh adalah bila diperintahkan awalnya agar
menutupi diri secara sempurna hingga wajah dan kedua telapak tangan kemudian
(setelah itu) diperintahkan agar menutupi kepalanya saja dengan status ayat
pertama tetap muhkamah tidak dinasakh, ooh sungguh heran…apa
perlunya diperintahkan menutupi kepala setelah diperintahkan menutupi seluruh
anggota badan?!
Kelima : Sesungguhnya metode-metode para perawi-
meskipun berbeda-beda dalam menjelaskan sebab nuzul ayat ini-
namun mereka sepakat bahwa diantara tujuan perintah ini adalah membedakan
antara wanita-wanita merdeka dari wanita-wanita budak dengan pakaian tertentu,
maka kewajiban kita adalah kembali dalam memahami hal itu kepada
kebiasaan-kebiasaan orang-orang Arab pada saat itu dan sebelumnya. Dan nampak
dari syair-syair para penyair zaman Jahiliyyah bahwa wanita-wanita merdeka dan
wanita-wanita terhormat, mereka itu menutupi wajahnya juga pada zana
jahiliyyah, dan hijab wajah ini –meskipun tidak menyeluruh-namun dia itu
merupakan pakaian pembeda antara wanita merdeka dengan budak.
Kemudian beliau menuturkan beberapa syawahid syi’riyyah
untuk menguatkan bahwa menutupi wajah dan membukanya merupakan pembeda atara
wanita merdeka dengan wanita budak pada zaman jahiliyyah, hingga beliau hafidhahullah
kemudian mengatakan :
Dan setelah mengetahui dengan cukup tentang
kebiasaan wanita-wanita zaman jahiliyyah, maka mudah sekali bagi kita memahami
makna ayat itu, dan sesungguhnya Allah U memerintahkan
wanita-wanita mu’minat agar komitmen dengan pakaian yang sudah mereka ketahui
bahwa itu adalah pakaian wanita merdeka, dan bukan pakaian budak, dan sudah
diketahui bahwa pakaian itu adalah menutupi wajah dengan jilbab.
Keenam : Sesungguhnya riwayat-riwayat yang ada tentang
sebab nuzul ayat ini, ada yang bersifat diam tidak menjelaskan tentang pakaian
yang membedakan antara wanita merdeka dengan wanita budak, dan ada yang sharih
(jelas) lagi pasti tentang sifat pakaian itu. Adapun riwayat yang menjelaskan
dengan terang akan pakaian itu adalah
atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dari Muhammad Ibnu Ka’ab Al Quradhzi,
berkata : Ada seorang laki-laki dari kalangan munafiqin selalu mengganggu
wanita-wanita kaum muslimin, bila diomongin, dia malah mengatakan : Oh Saya
kira dia itu budak,” Maka Allah mmemerintahkan para wanita agar berbeda dengan
pakaian budak, dan mengulurkan jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuhnya, sehingga
menutupi wajahnya kecuali satu mata, Dia berfirman,”Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah dikenal, sehingga mereka tidak diganggu,” Dia berkata :
Itu memudahkan agar mereka lebih dikenal.[1]
Dan ada riwayat yang dekat maknanya dengan riwayat tersebut
yaitu riwayat Ibnu Jarir, dan telah dinukil oleh Fadlilatud Doktor Al Hilaliy,
di dalamnya ada penafsiran kalimat yudniina dengan yataqanna’na,
sedangkan taqannu’ biasa diartikan dengan menutupi wajah, dan darinya
ada yang dinamakan Muqanna’ Al Kindiy, dia dinamakan Muqanna’
karena tidak keluar dari rumahnya kecuali dengan mengenakan penutup pada
wajahnya.[2]
Dan di antaranya adalah apa yang dikatakan
oleh Ahmad Ibnu Abi Ya’qub dalam Tarikhnya : Dan orang-orang Arab dahulu biasa
datang ke pasar Ukadh dengan mengenakan purdah pada wajah-wajah mereka, terus
dikatakan : Sesungguhnya orang Arab pertama yang membuka penutup mukanya adalah
Dharif Ibnu Ghanm Al ‘Anbariy[3]
Dan diantaranya sebuah peribahasa : Dia
menanggalkan penutup malu dari wajahnya.
Riwayat-riwayat yang menjelaskan sebab nuzul
ini dengan terang juga menegaskan bahwa
pembeda antara budak dengan wanita merdeka adalah hanya terletak pada penutupan
dan pembukaan wajah. Dan adapun istidlal mereka dengan apa yang sudah masyhur
di dalam kitab-kitab Fiqh, yaitu bahwa budak itu tidak menutupi kepalanya, maka
argument ini tidak benar sama sekali, pertama : Karena Allah U hanya mengembalikan kaum muslimin pada
kebiasaan-kebiasaan yang sebelumnya sudah ada di kalangan masyarakat
orang-orang Arab, dan tidak mengembalikannya kepada yang sudah masyhur dan baku
dalam syariat ini, karena apa yang baku dan berlaku pada syariat ini belum
tetap kecuali setelah turun ayat ini. Kedua : karena membuka wajah
kepala bagi wanita budak itu bukanlah masalah yang disepakati.[4]
Dan adapun apa yang dikatakan oleh bapak
Doktor bahwa Umar t pernah memukul budak-budak wanita karena
sebab menutupi kepalanya, sungguh ini tidak benar, namun yang benar adalah
bahwa beliau memukul mereka karena sebab mereka menutupi wajah, coba simaklah
lafadh riwayatnya : Anas berkata : Seorang budak lewat di depan Umar dengan
mengenakan niqab, maka beliau mengancamnya dengan tongkat, dan berkata : Ya
Lakka’, kalian menyerupai wanita-wanita merdeka ? lemparkan penutup itu.[5]
Dan anehnya bapak Doktor, bagaimana ridla
berdalil dengan atsar itu akan bolehnya membuka wajah bagi wanita merdeka?!
Ketujuh : Sesungguhnya kita seandainya menerima – dalam
rangka mengandai-andai mengikuti apa yang dikatakannya- bahwa sekedar menutupi
kepala itu cukup untuk membedakan wanita medeka dari budak, maka tidak
diragukan lagi bahwa menutupi wajah beserta menutupi kepala adalah lebih utama
dalam memberikan perbedaan, dan dalam memenuhi tujuan ini, terus sebab turun
ayat ini seandainya benar apa yang dipahami bapak Doktor darinya, hal itu tidak
memestikan penafian penutupan kepala dan juga tidak menafikan kewajibannya.
Kedelapan : Sesungguhnya sebab nuzul ayat itu menerangkan
dengan tegas bahwa Allah U dengan perintah mengulurkan jilbab itu
menolak satu kerusakan dari banyak kerusakan, yaitu gangguan terhadap wanita,
namun masih ada kerusakan-kerusakan lain yang lebih besar darinya, yaitu bahwa
seorang wanita - meskipun dia itu rusak - bila ada laki-laki yang menganggunya
di jalan dengan rayuan gombal, atau dengan pelontaran ucapan-ucapan tertentu,
rasa harga dirinya dan ghirahnya memberontak dan dia langsung marah, kecuali
wanita yang sudah terlalu kadung bejat dan amburadul tak bermoral, jarang
sekali laki-laki itu berhasil dalam mencapai maksudnya dengan godaan seperti ini,
dan ia tidak memetik dari perbuatannya kecuali kehinaan dan kecut. Namun bila
wanita itu keluar dengan wajah terbuka, maka tidak diragukan lagi pandangannya
akan beradu dengan pandangan laki-laki, dan sudah merupakan hal yang dikenal
umum bahwa pertemuan dua pandangan itu akan membuahkan ketertarikan di dalam
dua hati itu, sulit yang satu sabar dari yang lainnya, dan akhirnya salah
satunya menjadi santapan bagi yang satu lagi dengan sangat mudah, oleh sebab
itu ada atsar,”Bahwa pandangan itu adalah salah satu panah dari panah-panah
Iblis yang beracun,”[6]
seorang penyair berkata :
Semua kejadian bermula dari pandangan
Dan umumnya api berasal dari percikan api
Dan yang lain berkata :
Mereka (wanita) menaklukan laki-laki berakal hingga
tidak bisa berkutik
Padahal mereka itu adalah makhluk Allah yang paling
lemah yang berbentuk manusia.
Kerusakan-kerusakan ini bukanlah sekedar
khayalan atau perkiraan belaka, namun semua masyarakat manusia di alam ini
telah tertimpa dengannya, dan semua itu adalah akibat dari barakah
sufur (membuka wajah)ini.
Bula di sana ada banyak kerusakan lain di
samping kerusakan yang untuk menolaknya ayat itu diturunkan, maka apakah
termasuk hikmah Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui yang mengetahui
mata-mata yang berkhianat, apa yang disembunyikan oleh dada, dan apa yang
berkembangkan di masyarakat dengan sebab sufur, apakah tergolong
kebijaksanaan-Nya bila Dia menjauhkan dari satu kerusakan kecil dan membiarkan
kerusakan-kerusakan lain yang besar dengan pintu terbuka lebar padahal hal itu
termasuk jenis kerusakan bahkan lebih dasyat ? Maka yang benar adalah bahwa
satu kerusakan kecil – yaitu adanya gangguan terhadap wanita – tatkala nampak
dan menuntut untuk adanya satu perintah dari perintah-perintah Allah yang
dengannya pintu kerusakan itu bisa tertutup, maka Allah memerintahkan satu
perintah yang dengannya cukup untuk menutup pintu kerusakan ini, dan untuk
menutupi pintu-pintu kerusakan-kerusakan lain yang lebih besar dari kerusakan
tadi, maka Dia memerintahkan agar menutup kepala dan wajah sehingga jalan-jalan
itu terputus.
Dan
mungkin ada orang yang berkata : Sesungguhnya perintah itu bila ternyata
seperti itu, maka kenapa Allah U tidak mengingatkan terhadap
tujuan-tujuan yang mulia yang tersembunyi dibalik perintah ini ?. Dia membatasi
pada isyarat terhadap tujuan-tujuan itu di dalam ayat hijab dengan firman-Nya,”
Yang demikian itu adalah lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka,” sehingga
tidak memerlukan pengulangan, ooh sungguh kalimat yang simpel yang idak
membiarkan hal yang kecil maupun yang besar dari tujuan-tujuan masalah ini
melainkan telah memasukannya dalam lipatannya, kemudian sesungguhnya firman-Nya,”
yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karenanya mereka tidak
diganggu,” mengisyaratkan kepada tujuan-tujuan ini juga, Ar Raziy berkata :
(Dikatakan : mereka dikenal bahwa mereka iu adalah wanita merdeka sehingga
tidak diikuti dengan gangguan, dan mungkin dikatakan : Maksudnya mereka tu
tidak berzina, karena wanita yang menutupi wajahnya padahal bukan aurat, dia
itu tidak diharapkan membuka auratnya)[7]
Kesembilan
: Sesungguhnya amalan Ummahatul mu’minin dan amalan
wanita kaum muslimin memberikan petunjuk kepada kita akan makna yang shahih
dalam makna penguluran jilbab, karena khithab itu ditujukan kepada
mereka secara langsung, sedangkan Allah U mengawasi mereka, dan Rasulullah r juga pembimbing dan pengawas akan amalan-amalan mereka, maka kita
tidak menduga bahwa Rasulullah r
mengakui para sahabat laki-laki dan para sahabat wanita atas amalan yang tidak
diwajibkan oleh Allah U, padahal beliau datang untuk mengangkat kesulitan dan beban berat,
dan beliau merasa berat atas apa yang memberatkan mereka, sedangkan
riwayat-riwayat telah memberikan perincian tentang amalan-amalan para
sahabiyyat yang tidak mengandung sedikitpun keraguan bahwa mereka itu selalu
menutupi wajah-wajah mereka sebagai realisasi keimanan kepada Kitab Allah dan
pembenaran terhadap turunnya ayat itu.
Kesepuluh
: Sesungguhny para sahabat dan para tabiin serta
para ulama ahli tafsir yang tampil dalam menafsirkan ayat penguluran jilbab
mereka menafsirkannya dengan menutupi wajah, kecuali beberapa perkataan yang syadz
(ganjil), dan inilah nash-nash perkataan itu…)
Kemudian beliau menuturkan nukilan-nukilan
yang banyak sekali dari para jumhur ahli tafsir, dan telah lalu penukilan
perkataan mereka tadi, kemudian beliau hafidhahullah memberikan komentar
:
( Ini adalah perkataan tokoh-tokoh umat ini
dari sejak zaman masa terbaik hingga abad ke empat belas yang dimana kita hidup
di dalamnya, diketahui darinya bahwa orang yang tampil menafsirkan ayat
penguluran jilbab mereka menafsirkannya dengan menutupi wajah, meskipun di
antaranya ada yang berpendapat bolehnya membukanya, dan tidak diketahui ada
seorang yang menentang penafsiran ini secara sharih, hanyasannya bisa diambil
kesimpulan dari perkataan sebagiannya bahwa ia tidak memandang penutupan wajah
itu termasuk bagian dari penguluran jilbab, dan inilah perkataan mereka itu :
Mujahid berkata : Mereka berjilbab( yatajalbabna) [8], dan
Ikrimah berkata : Dia menutupi tsaghrah lehernya dengan jilbabnya, dia ulurkan
agar menutupinya[9],
Said Ibnu Jubair berkata : Mereka mengulurkan (yusdilna) ke tubuhnya[10]dan Ibnu
Qutaibah berkata : Yalbasna Al Ardiyah (mereka mengenakan rida’)[11].
Perkataan-perkataan ini tidak tegas seperti
yang anda lihat sendiri dalam menafikan menutupi wajah, karena sesungguhnya tajalbub
dan sadlul jilbab serta labsul ardiyah tidak menafikan penutupan
wajah, dengan dasar bahwa berjilbab itu adalah mempunyai cara tertentu yang
sudah ma’ruf di kalangan wanita kaum muslimin, yaitu memakainya dengan
menutupi wajahnya, oleh sebab itu barang siapa mengklaim membawa
perkataan-perkataan ini pada penafsiran yang berbeda dengan yang sudah ma’ruf ,
maka hendaklah dia mendatangkan dalil.
Kemudian sisi kesepuluh ini termasuk dari
sisi-sisi yang telah kami isyaratkan kepadanya di awal pembicaraan tentang ayat
ini, berarti ini adalah sepuluh sisi, dan kami juga memilki tambahan.
Kesebelas : Sesungguhnya firman-Nya,” يُدْنِيْنَ ,” adalah berbentuk fi’il mudhari yang bermakna amar
(perintah), dan sudah pada ma’lum bahwa asal dari perintah itu adalah
menunjukan kewajiban, dan sesungguhnya bila perintah itu datang dalam bentuk fi’il
mudhari’, maka itu lebih kuat dalam penunjukannya terhadap kewajiban. Dan
bila telah pasti dengan sepuluh sisi itu bahwa yang dimaksud dengan penguluran
jilbab adalah menutupi wajah, maka pastilah bahwa menutupi wajah itu adalah
wajib yang telah dinyatakan oleh Kitab Allah, sehingga tidak ada jalan keluar
dari tidak komitmen dengannya.
Dan
pada ujung pembahasan tentang makna ayat ini, saya memandang tidak apa-apa saya
berbicara sekitar apa yang dikatakan Fadlilatud Doktor dalam makna idnaa
(penguluran) : Sesungguhnya Fadlilatud Doktor telah menukil dari Ibnu Jarir
perbedaan ahli tafsir tentang tata cara idnaa : Apakah dia itu menutupi
wajah, atau mengikatkan jilbab pada kening ? kemudian beliau mentarjih yang
terakhir, bahkan menegaskan bahwa itulah yang dimaksud dengan lima alasan….
Saya
berkata : Telah anda ketahui dari yang telah kami kemukakan
bahwa pembagian ini tidak berpijak pada dasar yang kuat, sehingga semua yang
bercabang darinya, maka pasti sama dengannya.
Fadlilatud
Doktor berkata : ( Pertama : Nash-nash yang telah lalu yang
dengannya Kitab Allah ditafsirkan, dan orang yang diriwayatkan darinya
riwayat-riwayat itu- maksudnya Nabi r - lebih mengetahui akan Kitab Allah).
Saya
berkata : Penutup itu akan terbuka dari nash-nash tersebut
dan dari amalan Nabi r,
para sahabatnya dan umatnya, maka bersabarlah.
Fadlilatud
Doktor berkata : ( Kedua : Perkataan-perkataan para ulama
yang lalu itu[12]
tidak sejalan sama sekali dengan pendapat yang mengatakan wajibnya menutupi
wajah dan kedua telapak tangan, dan seorangpun tidak mampu mengatakan bahwa
mereka itu tidak mengetahui makna ayat ini, dan mereka sepakat menyalahi apa
yang ditunjukan olehnya).
Saya
katakan : Janganlah seseorang terpedaya dengan ijma ulama
atau seperti ijma mereka yang mengeluarkan kedua telapak tangan dan wajah dari
batasan aurat, karena ruang lingkup hijab bukanlah aurat, akan tetapi
hanyasannya diperintahkan berhijab karena hal itu lebih bersih dan lebih suci
bagi hati kaum mu’minin dan mu’minat. Dan seandainya benar bahwa sikap dan
perkataan-perkataan mereka (ulama) itu tidak sejalan dengan perkataan akan
wajibnya menutupi wajah dan kedua telapak tangan, maka tidak diragukan lagi
sesungguhnya mereka atau mayoritas mereka telah kontra dengan diri mereka
sendiri, karena mereka sendiri yang menegaskan wajibnya menutupi wajah, dan
seorangpun tidak mampu mengatakan bahwa mereka itu tidak mengetahui makna
kontradiktif, sedangkan Fadlilatud Doktor menukil dari sebagian mereka
penegasan bahwa wajah dan kedua telapak tangan itu bukan aurat, dan penegasan
bahwa menutupi keduanya adalah wajib, dan bahwa sebab wajibnya itu adalah
khawatir fitnah, namun dengan itu semua Fadlilatud Doktor masih mengatakan :
(Perkataan-perkataan para ulama yang lalu itu tidak sejalan sama sekali dengan
pendapat yang mengatakan wajibnya (menutupi wajah dan kedua telapak tangan)..)
dan saya tidak tahu mana yang mencegah dari kesejalanan setelah ini semua ?
Kemudian
hendaklah tahu bahwa para sahabat dan umat islam yang dimana wanita-wanita
mereka komitmen dengan menutupi wajah-wajahnya setelah turun dua ayat An Nur
Dan Al Ahzab – sebagaimana yang akan kami sebutkan sebagai dalil – dan begitu
juga para pembesar para sahabat, tabi’in dan para pemuka para ulama ahli tafsir
yang menafsirkan penguluran jilbab dengan menutupi wajah, seorangpun tidak
mampu mengatakan bahwa mereka semua tidak mengetahui bahasa Arab, atau mereka
tidak mengetahui bahwa mereka merealisasikan dan menafsirkan perintah dari
perintah-perintah Allah, dan bahwa perintah itu menunjukan kewajiban.
Fadlilatud
Doktor berkata : ( Ketiga : Sesungguhnya idna’ul jalabib
(penguluran jilbab) tidak tegas dalam menutupi wajah, apalagi bila anda telah
mengetahui sebab turun ayatnya, dan alasan yang ada di akhir ayat, yaitu
firman-Nya,”Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu
mereka tidak diganggu,”
Saya
katakan : Anda telah mengetahui bahwa idna’ul jalabiib
itu tidak layak bagi selain makna menutupi wajah, apalagi bila anda telah
mengetahui sebab nuzul ayatnya dan bi’ah (situasi masyarakat) yang
dimana ayat itu turun, dan anda telah mengetahui makna alasan yang ada di akhir
ayat ini dan dalam ayat hijab.
Fadlilatud
Doktor berkata : ( Keempat : Banyaknya orang yang
mengatakan pendapat kedua, hingga Ibnu Abbas….)
Saya katakan : Pertama : Al Kitab dan As Sunnah keduanya
adalah yang harus didahulukan atas semua manusia, dan manusia tidak boleh
dijadikan penghukum Al Kitab dan As Sunnah. Kedua : Anda sudah tahu – dan akan
tahu – hakikat banyak dan sedikit pada dua belah pihak, orang-orang yang
menyatakan bolehnya sufur (membuka wajah) tidak lain hanyalah segelintir orang
di bandingkan dengan umat (ulama) yang banyak dan tersebar.
Fadlilatud
Doktor berkata : ( Kelima : Ayat ini telah ditafsirkan di
dalam Al Qur’an sendiri, dan sebaik-baiknya penafsir Al Qur’an adalah Al Qur’an
….)
Saya
katakan : Ya betul, Ayat ini ditafsirkan dengan Firman-Nya U ,”Apabila kamu minta sesuatu (keperluan) kepada
mereka (isteri-isteri Nabi) maka mintalah dari belakang tabir,” dan
firman-Nya,”dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya,” dan adapun penafsirannya dengan firman-Nya,”Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,” maka itu adalah
penafsiran dengan sebagian madlulnya (yang ditunjukannya) dan dengan
satu sisi dari sisi-sisi maknanya yang luas cakupannya, sehingga tidak benar
membatasi padanya saja, dan telah kami kemukakan cacatnya pengambilan dalil
dengan ayat ini terhadap bolehnya membuka wajah, maka tidak usah diulangi lagi,
dan bila di dalam Al Qur’an itu ada banyak ayat yang pantas dijadikan
penafsiran bagi satu ayat darinya, maka kita tidak boleh menafsirkannya dengan
sebagiannya saja dan membiarkan yang lainnya tidak diperhatikan, tapi yang
pasti bahwa makna ta’sis (penetapan hukum baru) lebih diutamakan dai
sekedar ta’kid (penguat hukum yang sudah ada)[13].
Maka bila kita mengatakan : Sesungguhnya ayat An Nur adalah penjelasan bagi
sebagian dari etika-etika wanita di masyarakat islam, dan ayat Al Ahzab adalah
penjelasan bagi sebagian yang lain dari etika-etika itu, maka itu lebih pas dan
sesuai dengan rahasia Al Qur’an dan balaghah, dan I’jaz firman
Allah U.[14]
·
Al ‘Allamah
Abdul Aziz Ibnu Abdillah Ibnu Baz rahimahullah
berkata dalam tafsir ayat ini : Jalabib adalah bentuk jamak dari jilbab,
dan jilbab adalah apa yang dikenakan wanita di kepalanya untuk menutupi
dirinya, Allah U memerintahkan seluruh wanita kaum mu’minin
agar mengulurkan jilbabnya pada mahasin (tempat-tempat kecantikan) tubuh
mereka seperti rambut, wajah dan yang lainnya supaya mereka dikenal keiffahannya
sehingga tidak diganggu dan tidak membuat orang lain terfitnah sehingga bisa mengganggunya.[15]
[1] Tabaqat Ibnu Sa’ad 8/176-177.
[2] Lihat Al Aghaniy, biografi Muqanna’ 17/60.
[3] Tarikh Al Ya’qubiy, cet Uruubah
2/315
[4] Tafsir Ibnu Katsir 5/516, Tafsir Surat An Nur Ibnu Taimiyyah 17, Al
Muhalla 3/281.
[5] Fathul Bayan karya An Nuwwab Shiddiq Hasan Khan 7/316.
[6] Lihat Tafsir Ibnu Katsir
5/87.
[7] At Tafsir Al Kabir 6/799
[8] Tafsir Ibnu Katsir 5/516.
[9] Tafsir Ibnu Katsir 5/516.
[10] Ruhul Ma’aniy karya Al Alusiy 22/83
[11] Zadul Masir Fi Ilmit Tafsir 6/422
[12] Fadlilatud Doktor Al Hilaliy – Rahimahullah -
mengisyaratkan kepada penegasan banyak ulama terhadap dikeluarkannya wajah dan
kedua telapak tangan dari batasan aurat.
[13] Itu karena lafadh bila mengandung lebih dari satu makna, maka
kemungkina yang rajih diutamakan dari kemungkina yang marjuh : seperti Ta’sis,
sesungguhnya dia (ta’sis itu) didahulukan terhadap ta’kid, contohnya firman-Nya
U,”Sesungguhnya
orang-orang yang kafir dan menghalangi dari jalan Allah,” kalimat,”
menghalangi,” di sini mengandung kemungkinan dia itu lazim seperti
firman-Nya,”niscaya kamu lihat orang-orang munafiq menghalangi dengan
sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu,” sehingga maknanya adalah kufur, maka
dia itu menjadi penguat bagi kalimat,”orang-orang yang kafir,” dan ada
kemungkinan muta’addi, sehingga makna firman-Nya,”orang-orang yang kafir,” menunjukan
kekufuran dalam dirinya sendiri, dan
makna,” menghalangi,” adalah mereka membawa orang lain pada kekufuran
dan menghalanginya dari kebenaran, maka berarti kemungkinan yang kedua adalah
yang lebih kuat, karena ada makna ta’sis buat makna baru di sana, berbeda dengan
kemungkinan yang pertama yang hanya sekedar penguat.
Contohnya
lagi firman-Nya U ,”barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan,” bila
kita bawa kehidupan yang baik dalam ayat
ini pada kehidupan dunia, maka itu adalah ta’sis, dan bila kita bawa kehidupan
yang baik ini pada kehidupan surga maka itu terulang-ulang bersama firman-Nya,”
dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih
baik dari apa yang telah mereka kerjakan,” karena kehidupan baik di surga
itu adalah pahala mereka yang dengannya mereka diberi pahala, Abu Hayyan
berkata dalam Al Bahrul Muhith : ( Dan yang dhahir dari firman-Nya,” maka
sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik,” bahwa itu di
dunia, dan ini adalah pendapat jumhur, dan ini dibuktikan dengan firman-Nya,”
dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih
baik dari apa yang telah mereka kerjakan,” yaitu di akhirat.
Contoh lain
juga firman-Nya,”Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?,”
dan firman-Nya,”Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang
mendustakan,” ada yang mengatakan : Pengulangan lafadh dalam keduanya
adalah ta’kid (penguat), dan statusnya sebagai ta’sis adalah yang
lebih rajih sebagaiman yang telah kami sebutkan, maka nikmat-nikmat dalam
setiap tempat dibawa pada apa yang disebutkan sebelum lafadh pendustaan itu,
sehingga satupun lafadh dari nikmat-nikmat itu tidak diulang-ulang, dan begitu
juga dikatakan dalam surat Al Mursalat, maka lafadh itu dibawa pada orang-orang
yang mendustakan terhadap apa yang disebutkan sebelum setiap lafadh. Wallahu
‘Alam.
[14] Penggabungan ini bisa boleh hanya berdasarkan pada penerimaa
jadaliy (sifatnya debat) terhadap kebenaran pendapat mereka bahwa ayat An Nur
itu memberikan faidah bolehnya sufur, namun demikian sesungguhnya ayat itu
–sesuai pemahaman para sahabiyyat radhiyallahu ‘anhunna – tidak memberikan
faidah seperti itu sebagaimana yang akan datang nanti penjelasannya Insya
Allah.
[15] Risalah Tabhatsu fi Masa’il As Sufur Walhijab ;6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar