Penjelasan Makna Jilbab
Ungkapan-ungkapan
para ahli tafsir telah lalu yang berkenaan dengan batasan maksud dari jilbab,
Al Hafidh Ibnu Hajar telah mengumpulkannya dalam Fathul Bari sebanyak tujuh
perkataan :( Muqanna’ah, Khimar atau lebih lebar darinya, pakaian
yang lapang lebih kecil dari rida’, izar, milhafah, mula’ah,
dan qamish).[1]
Dan
yang paling rajih adalah apa yang dikatakan oleh para ahli tahqiq, yaitu bahwa
yang dimaksud jilbab dalam bahasa
arab yang dikhithabkan kepada kita oleh Rasulullah r adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh, bukan yang
menutupi sebagian saja sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu
Hazm dalam Al Muhallaa[2],dan
dishahihkan oleh Al-Qurtubi dalam tafsirnya.[3]
Dan Ibnu Al Atsir mengatakan : Jilbab
adalah mantel dan jubah yang digunakan perempuan untuk menutupi seluruh
tubuhnya.[4]
Al
Baghawiy berkata : Jilbab adalah mula’ah
yang diselimutkan wanita sebagai rangkap baju kurung dan kudungnya.[5]
Ibnu
Katsir berkata : Jilbab adalah rida’
perangkap khimar, hampir sama dengan izar pada masa sekarang.[6]
Al
Albani mengatakan : Mungkin itu adalah ‘Aba’ah
yang sekarang biasa dipakai oleh wanita
Nejed (Saudi) dan Irak serta yang lainnya.[7]
Dan Syaikh
Anwar al-Kasymiri mengatakan jilbab adalah rida ( jubah) yang
menutupi dari ujung kepala sampai telapak kaki.[8]
Syaikh
Ibrahim Asy Syurii dan Syaikh Muhammad Asy
Syibawi berkata : Dan yang benar sesungguhnya jilbab adalah pakaian yang
menutupi seluruh tubuh, dan setiap wanita lebih mengetahui tentang pakaian yang
menutupi seluruh tubuhnya, dan tidak membutuhkan untuk diajari hal itu.[9]
Syaikh
Abdul Aziz Ibnu Khalaf berkata : Dan pengertian
jilbab itu tidak terbatas pada satu nama, satu jenis, dan satu warna, namun
jilbab adalah setiap pakaian yang digunakan wanita untuk menutupi tempat-tempat
perhiasannya, baik perhisan itu yang tetap ataupun yang bisa dipindah, dan bila
kita telah mengetahui maksud tentangnya, maka hilanglah kesulitan dalam
menentukan bentuk dan namanya.[10]
Hukum Memakai Jilbab
Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan
dari Ummu ‘Athiyyah radliyallhu ‘anha, beliau berkata : Kami
diperintahkan pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul ‘Adlha agar menyuruh keluar
mereka : yaitu gadis-gadis muda, wanita-wanita yang sedang haidl dan
wanita-wanita pingitan. Adapun wanita-wanita yang sedang haidl mereka menjauhi
tempat shalat, mereka menyaksikan kebaikan dan
undangan kaum muslimin,” Saya berkata : Wahai Rasulullah ! Seseorang di
antara kami tidak memiliki jilbab ? Rasulullah r berkata : Hendaklah saudarinya meminjamkan dari jilbab yang dia
miliki.”
Al
Hafidz Ibnu Hajar berkata : Dalam hadits ini ada
dalil dilarangnya wanita keluar (dari rumahnya) tanpa memakai jilbab…[11]
Al
Badr Al ‘Ainiy berkata : Di antara faidah hadits
ini adalah dilarangnya wanita keluar tanpa memakai jilbab…[12]
Al
‘Allamah Al Albaniy berkata dalam rangka
mengomentari ungkapan Al Kasymiri rahimahullah [13]:
Jilbab adalah untuk menutupi perhiasan wanita dari pandangan laki-laki lain,
sama saja apakah si wanita yang keluar menemui mereka atau mereka yang masuk
menemuinya, maka dalam semua keadaan ini dia (wanita) harus memakai jilbab[14],
Dan ini dikuatkan oleh apa yang dikatakan oleh Qais Ibnu Zaid : Sesungguhnya
Rasulullah r telah mencerai Hafshah putri Umar….kemudian Rasulullah r datang dan terus masuk menemuinya…. Maka Hafshah cepat berjilbab,
Rasulullah r berkata : Sesungguhnya Jibril telah mendatangiku, terus berkata
kepadaku : Rujuklah Hafshah karena dia itu wanita yang suka banyak shaum dan
shalat (malam), dan dia itu isterimu di surga,”[15]dan
telah sah dari Aisyah bahwa beliau bila melakukan shalat memakai jilbab, maka
jelaslah bahwa jilbab tidak khusus untuk keluar saja.[16]
[17]
Fatwa Al ‘Allamah Al Albani
Tentang Wajibnya Memakai Jilbab
Beliau rahimahullah
mengatakan : ………Kebenaran yang menuntut diamalkan sesuai dua ayat dalam surat
An Nur dan Al Ahzab bahwa wanita bila keluar keluar dari rumahnya wajib memakai
khimar (kerudung) dan kemudian memakai jilbab sebagai rangkap khimar,
karena hal itu seperti yang telah kami utarakan lebih tertutup, dan lebih jauh
dari mencetak bentuk kepala dan pundak, sedangkan hal ini adalah yang dituntut
oleh syari’at…..dan yang saya sebutkan itu adalah penafsiran sebagian salaf
terhadap ayat penguluran (Al Ahzab 59), dalam Ad Durr 5/222 : Ibnu Abi Hatim
mengeluarkan dari Said Ibnu Jubair dalam penafsiran firman-Nya,” Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka", beliau berkata : mereka mengulurkan dari
jilbabnya kepada tubuhnya, dan (jilbab) itu adalah qina’ yang lebih
lapang dari khimar, dan tidak halal bagi wanita muslimah dia dilihat
oleh laki-laki lain kecuali dia mengenakan qina’ sebagai rangkap
khimarnya yang telah dia ikat pada kepala dan lehernya.[18]
Di
tempat lain beliau rahimahullah
berkata : Tujuan dari berpakaian adalah menghilangkan fitnah, dan hal
ini tidak tercapai kecuali dengan pakaian yang longgar lagi luas, adapun
pakaian yang sempit meskipun menutupi warna kulit tapi dia itu menampakkan
lekuk badan atau sebagiannya, dan menggambarkannya di hadapan mata laki-laki,
dan hal ini tak ragu lagi merupakan sumber kerusakan dan ajakan untuk membuat
kerusakan, oleh sebab itu pakaian harus longgar, Usamah Ibnu Zaid t berkata : Saya diberi pakaian qibthiyyah
yang tebal oleh Rasulullah r yang merupakan hadiah yang
diberikan kepadanya oleh Dihyah Al Kalbi, terus saya berikan kepada
istri saya, maka beliau bertanya : Kenapa engkau tidak memakai baju
qibthiyyah itu ? Saya berkata : Saya berikan kepada istri saya, “ maka
beliau berkata,” Suruhlah dia agar memakai rangkap, karena saya hawatir
pakaian itu membentuk lekuk tubuhnya,”[19]
Nabi
r memerintahkan agar dia
mengenakan rangkap buat baju qibthiyyah itu agar bentuk badannya tidak
nampak, sedangkan perintah itu menunjukan kewajiban seperti yang sudah tetap
dalam ushul fiqh.[20]
Hadits
ini dengan tegas menyatakan bahwa qibthiyyah itu tebal, sebagaimana
hadits ini juga tegas menjelaskan penyimpangan yang dihawatirkan oleh Nabi r dari sebab kain qibthiyyah ini, maka
beliau berkata,” sesungguhnya saya hawatir pakaian itu membentuk lekuk
tubuhnya,” dari sinilah syaikh Al AlBani rahimahullah memastikan
bahwa hadits ini datang berkenaan dengan pakaian yang tebal yang bisa mencetak
bentuk lekuk tubuh karena halusnya, meskipun tidak tipis, dan tidak mungkin
hadits ini dibawa berkenaan dengan pakaian yang tipis yang tidak menutupi warna
kulit, oleh sebab itu syaikh mengingkari kepada sebagian pengikut madzhab
Syafi’i yang mengatakan : Dan disunnahkan wanita shalat dengan mengenakan dir’u
(baju kurung) yang besar dan khimar (kerudung) serta memakai jilbab
yang tebal sebagai rangkap pakaiannya itu supaya tidak membentuk lekuk
badannya,[21]maka
syaikh berkata mengomentari : Pendapat yang mengatakan sunnah itu bertentangan
dengan dhahir perintah, karena perintah itu menunjukan kewajiban
sebagaimana yang telah lalu, dan ungkapan Al Imam Asy Syafi’i t dalam kitab Al Umm dekat dengan
pendapat kami, beliau berkata [22]:
Dan bila dia (laki-laki) shalat dengan mengenakan gamis yang memperlihatkan
(bayangan kulit) darinya maka shalatnya tidak sah….dan bila shalat dengan
mengenakan gamis yang mencetak bentuk tubuh dan tidak memperlihatkan bayangan
kulit maka itu makruh baginya, namun dia tidak harus mengulangi shalatnya, dan wanita dalam hal
ini lebih berat daripada laki-laki bila bila dia shalat dengan mengenakan baju
kurung dan kerudung yang ternyata baju kurungnya menjiplak lekuk badannya, dan
lebih saya sukai bila dia tidak shalat
kecuali dengan mengenakan jilbab sebagai rangkap, dan dia
merenggangkannya dari badannya supaya (lekuk badannya) tidak terjiplak oleh
baju kurung, dan Aisyah radliyallahu ‘anha telah berkata ,” Wanita
itu harus shalat dengan tiga pakaian : baju kurung, jilbab dan
kerudung,” dan adalah Aisyah mencopot sarungnya terus berjilbab dengannya.[23]
Beliau
melakukan itu tidak lain melainkan supaya pakaiannya tidak menjiplak badannya,
dan perkataan Aisyah,” harus,” merupakan dalil atas wajibnya hal itu,
dan perkataan semakna dilontarkan oleh Ibnu Umar t,” Bila wanita shalat, hindaklah dia
shalat dengan mengenakan pakaiannya semuanya : baju kurung, kerudung, dan
jubahnya.”[24]
Dan
ini menguatkan penjelasan yang tadi kami kemukakan bahwa wajib atas wanita
menggabungkan antara kerudung dan jilbab bila keluar (dari rumah).[25]
Bantahan
Terhadap Pendapat Syaikh Al Albani Dalam Penafsiran Ayat Penguluran (Al Ahzab :
59)
Beliau
rahimahullah berkata : Tidak ada dilalah dalam ayat penguluran (idna’)
bahwa wajah wanita itu aurat yang wajib ditutupi, namun ayat itu hanya
memerintahkan untuk mengulurkan jilbab pada tubuhnya, dan hal semacam ini
adalah muthlaq sebagaimana yang anda lihat, maka ada kemungkinan bahwa
penguluran itu kepada perhiasan dan tempat-tempatnya yang tidak boleh
ditampakan sesuai penjelasan ayat pertama[26],
dan dengannya hilanglah dilalah yang disebutkan itu, dan ada kemungkinan
lebih umum dari itu, sehingga dengannya mencakup wajah.
Dan
masing-masing dari kedua penafsiran ini telah dianut oleh para ulama mutaqaddimun,
dan perkataan mereka itu telah dipaparkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, juga
As Suyuthi dalam Ad Durr Al Mantsur,,,,, dan kami menilai bahwa pendapat yang
pertama adalah yang lebih mendekati kebenaran karena hal-hal berikut ini :
Pertama : Bahwa Al Qur’an saling
menafsirkan antara yang satu dengan yang lainnya, dan telah jelas dalam ayat
surat An Nur yang lalu bahwa wajah tidak wajib ditutup, oleh sebab itu wajib
membatasi penguluran di sini dengan selain wajah demi keselarasan antara kedua
ayat.
Kedua : Bahwa As Sunnah adalah
menjelaskan Al Qur’an, dia mengkhususkan keumumannya, dan membatasi
kemuthlakannya, sedangkan telah banyak teks-teks As Sunnah yang menunjukan
bahwa wajah itu tidak wajib ditutup, oleh sebab itu wajib menafsirkan ayat
tersebut sesuai tuntunan As Sunnah, dan wajib membatasinya dengan
penjelasannya.
Maka
tetaplah bahwa wajah itu bukan aurat yang wajib ditutupi, dan ini adalah
madzhab banyak para ulama sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Rusydi dalam Al
Bidayah 1/89, dan di antara mereka adalah Abu Hanifah, Malik, Asy Syafii, serta
satu riwayat dari Imam Ahmad sebagaimana dalam Al Majmu’3/169, dan dihikayatkan
oleh Ath Thahawi dalam Syarh Al Ma’ani 2/9 dari kedua sahabat Abu Hanifah juga,
dan dipastikan dalam kitab Al Muhimmat yang merupakan kitab madzhab Asy Syafii
bahwa itu yang benar, sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Asy Syarbini
dalam Al ‘Iqna’ 2/110.
Namun
ini harus dibatasi bila diwajah itu juga di kedua telapak tangan tidak ada
sedikit pun dari perhiasan berdasarkan keumuman firman-Nya U,” Dan janganlah mereka
menampakan perhiasannya,” namun jika
ada perhiasan maka wajib menutupinya, apalagi pada zaman sekarang ini yang
dimana kaum wanita berlomba-lomba menghiasi wajah dan tangannya dengan beraneka
ragam hiasan dan polesan yang tidak ada
seorang muslim pun, bahkan orang yang berakal yang mempunyai rasa ghirah
meragukan keharamannya.[27]
Jawab :
Anda bisa melihat dari perkataan Fadlilatu Asy Syaikh bahwa beliau
secara terang menyatakan bahwa pendapat pertama yang beliau hikayatkan adalah
yang lebih dekat pada kebenaran, dan beliau menyebutkan bahwa pentarjihan
itu berdasarkan dua hal :
Pertama : Bahwa Al Qur’an satu sama lain
saling menafsirkan, dan ini adalah betul, namun bila kita terapkan pada
ayat-ayat hijab seluruhnya pasti kita mengetahui bahwa dua ayat dalam surat An
Nur dan Al Ahzab keduanya menjurus pada penetapan penguluran jilbab kepada
seluruh tubuh, karena ta’sis (penetapan makna baru) lebih utama daripada
sekedar ta’kid (menguatkan) bila hal itu berlingkar pada dua hal ini.
Dan seandainya kita menerima bahwa ayat وَلْيَضِْرْبنَ
بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ memberi
indikasi bolehnya sufur (membuka wajah) namun sesungguhnya ayat idna’
(Al Ahzab 59) mendatangkan hukum baru yaitu perintah mengulurkan jilbab pada
seluruh tubuh termasuk wajah.
Kedua : Hal yang disebutkan syaikh adalah anggapan/klaim (da’wa)
bahwa teks-teks yang banyak dari As Sunnah menunjukan bahwa wajah tidak wajib
ditutupi. Kita jawab bahwa teks-teks yang diisyaratkan itu adalah muhtamal
(mengandung banyak kemungkinan) dan tidak sharih (jelas) dalam kebolehan
sufur, sedangkan dalil bila dimasuki banyak kemungkinan tidak bisa
dijadikan hujjah (gugur dalam berhujah dengannya), Insya Allah
nanti jelasnya dalam pembahasan selanjutnya.
Dan
berdasarkan dua hal ini syaikh mengambil kesimpulan bahwa wajah bukan aurat,
beliau berkata : Maka
tetaplah bahwa wajah itu bukan aurat yang wajib ditutupi,” terus beliau berkata
: dan ini adalah madzhab banyak para ulama……..
Jawabnya : Ini adalah benar, dan tidak ada
pertentangan -bihamdillah- antara pendapat kebanyakan ulama yang
menyatakan bahwa wajah itu bukan aurat dengan fatwa dari mereka sendiri akan
wajibnya menutup wajah di hadapan laki-laki bukan mahram, karena batasan aurat
itu bukanlah batasan hijab, sehingga bila dikatakan wajah wanita itu bukan
aurat maka madzhab ini (pernyataan ini) maksudnya adalah di dalam shalat jika
tidak ada laki-laki bukan mahram di dekatnya, adapun hubungannya dengan
pandangan laki-laki bukan mahram maka seluruh tubuh wanita adalah aurat yang
harus ditutupi sesuai sabda Rasulullah r : اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ (Wanita itu adalah aurat)[28].
Oleh sebab itu umumnya anda dapatkan
pernyataan jelas para ulama bahwa wajah dan kedua telapak itu bukan termasuk
aurat adalah hanya dalam pembahasan syarat menutupi aurat dalam bab-bab
syarat-syarat sah shalat.
Al Imam Asy Syafii rahimahullah berkata
dalam bab bagaimana memakai pakaian di dalam shalat (باب كيف لبس الثياب في الصلاة )[29]:
Dan seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak
tangannya.
Beliau berkata juga : Dan wajib atas wanita
di dalam shalat menutupi seluruh tubuhnya selain kedua telapak tangan dan
wajahnya.
Asy Syihab berkata : Dan apa yang disebutkan -oleh Al
Baidlawi- tentang perbedaan antara aurat di dalam shalat dan di luar shalat
adalah madzhab Asy Syafii rahimahullah.[30]
Syaikh Muhammad ‘Ilyasy rahimahullah berkata :
Dan aurat bagi wanita merdeka adalah seluruh tubuhnya selain wajah dan kedua
telapak tangan, ini buat di dalam shalat….[31]
Al Imam Al Muwaffaq Ibnu Qudamah rahimahullah berkata
dalam bab shifat shalat : Malik, Al Auza’i dan Asy Syafii berkata
: Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya,
dan selain hal itu wajib ditutupi di dalam shalat.[32]
Syaikh Muhammad Zakaria Ibnu Yahya Al
Kandahlawi
menukil perkataan darinya : Semua ijma bahwa wanita boleh membuka wajahnya di
dalam shalat.[33]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah setelah
menyatakan benarnya bahwa wanita tidak boleh menampakan wajah, kedua telapak
tangan, dan telapak kakinya kepada laki-laki yang bukan mahramnya, beliau berkata
: Dan adapun menutupi itu semua di dalam shalat maka tidak wajib
dengan kesepakatan kaum muslimin, bahkan dia boleh menampakan wajahnya dengan ijma.[34]
Syaikh Mushthafa Ar Ruhaibani berkata : Tidak ada perbedaan di
dalam madzhab (kami) bahwa wanita merdeka boleh menampakan wajahnya di
dalam shalat- hal itu disebutkan dalam Al Mughni dan yang lainnya.[35]
Al Mardawi rahimahullah berkata : Az
Zarkasyi berkata : Imam Ahmad memuthlakan perkataanya bahwa
seluruh tubuh wanita adalah aurat, namun hal ini ada kemungkinan selain wajah
atau atau di luar shalat, sebagian yang lain mengatakan : Wajah itu aurat, dan
dibolehkan dibuka di waktu shalat karena keperluan, Syaikh
Taqiyyuddin (Ibnu Taimiyyah maksudnya) berkata : Yang benar bahwa wajah
bukan aurat di dalam shalat, namun dia itu aurat dalam hal
pandangan (laki-laki), karena tidak boleh memandang kepadanya.[36]
Asy Syaikh Al ‘Allamah Faqih Al Hanabilah pada zamannya Manshur Idris
Al Bahuti[37]
berkata : Dan wanita merdeka yang sudah baligh seluruh tubuhnya adalah
aurat di dalam shalat hingga kuku dan rambutnya, berdasarkan
sabdanya r : Wanita adalah aurat (اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ),” diriwayatkan oleh At Tirmidzi, dan berkata : Hasan shahih, dan dari Ummu
Salamah radliyallahu ‘anha bahwa beliau bertanya kepada Rasulullah r : Bolehkah wanita shalat hanya dengan
mengenakan baju kurung dan kerudung tanpa memakai izar (jubah maksudnya, pent)
? Beliau bersabda : Bila baju kurungnya lapang menutupi tumit kedua telapak
kakinya,” diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan Abdul Haqq dan yang lainnya
menshahihkan bahwa itu mauquf pada Ummu Salamah,, kecuali wajahnya,,dan tidak ada perbedaan
dalam madzhab (kami) bahwa boleh bagi wanita merdeka membuka wajahnya di
dalam shalat, ini disebutkan dalam Al Mughni dan yang lainnya, sejumlah
ulama mengatakan : Dan kedua telapak tangannya, dan ini dipilih oleh Al
Majdu, dan beliau memastikannya dalam Al ‘Umdah dan Al Wajiz,
berdasarkan firman-Nya U,” Dan janganlah mereka
menampakan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” Ibnu Abbas dan
Aisyah radhiyallahu 'anha berkata : wajahnya dan kedua telapak
tangannya,” diriwayatkan oleh Al Baihaqi dan ada kelemahan dalam sanadnya, dan
bertentangan dengan Ibnu Masud, dan keduanya -wajah dan kedua telapak tangan
dari wanita merdeka yang baligh- adalah
aurat di luar shalat (berhubungan
dengan pandangan laki-laki) berdasarkan
sabda Nabi r yang lalu : Wanita adalah
aurat (اَلْمَرْأَةُ
عَوْرَةٌ),”.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : Ungkapan pendapat ulama
madzhab kami (Al Hanabilah) dalam masalah wajah wanita di dalam shalat
berbeda-beda, sebagian mengatakan : Bukan aurat, dan yang lain mengatakan :
Aurat, dan hanyasannya dirukhshahkan untuk dibuka di dalam shalat
karena dibutuhkan (hajat), dan yang benar adalah bahwa wajah bukan aurat
di dalam shalat, namun aurat dalam pandangan (laki-laki) karena
tidak boleh melihat kepadanya, kemudian beliau berkata : Aurat di dalam shalat
itu tidak ada hubungannya dengan aurat dalam pandangan (laki-laki) baik
pemberlakuan ataupun sebaliknya.[38]
Al
Muhaqqiq Abu An Naja Syarafuddin Musa Al Hijawi Al Maqdisi berkata : Dan wanita merdeka yang baligh semua badannya adalah aurat
hingga kuku dan rambutnya kecuali wajahnya, sebagian mengatakan : dan kedua
telapak tangannya. Dan keduanya (kedua
telapak tangan) dan wajah adalah aurat di luar shalat berhubungan dengan pandangan (laki-laki)
sebagaimana halnya anggota badan yang lain.[39]
Terus
berkata lagi : Dan dimakruhkan seseorang shalat dengan mengenakan pakaian yang
bergambar, juga laki-laki shalat dengan memakai litsam (masker hidung
dan mulut), dan wanita shalat dengan mengenakan niqab (cadar) kecuali
bila dia shalat di suatu tempat dimana di sana ada laki-laki yang bukan mahram
yang tidak menjaga pandangannya, maka dalam keadaan seperti ini dia tidak boleh
melepas niqabnya.[40]
Asy
Syaikh Al Imam Abdul Qadir Ibnu Umar Asy Syaibani Al Hanbali berkata : Dan wanita merdeka yang sudah baligh seluruh tubuhnya adalah
aurat di dalam shalat hingga kuku dan rambutnya kecuali wajahnya,
sedangkan wajah dan kedua telapak tangan dari wanita merdeka yang sudah baligh
adalah aurat di luar shalat berhubungan dengan pandangan (laki-laki)
sebagaimana halnya anggota badan yang lain.[41]
Al
Imam Al Muhaqqiq Ibnu Al Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah
berkata : Aurat itu ada dua macam : aurat di dalam shalat, dan aurat di hadapan
pandangan (laki-laki). Wanita merdeka boleh melakukan shalat dengan wajah dan
kedua telapak tangannya terbuka, namun dia tidak boleh keluar ke pasar dan
tempat banyak orang dengan penampilan seperti itu (wajah dan telapak tangan
terbuka).[42]
Adapun
ihtijaj (berhujjah) Fadlilatu Asy syaikh Al Albani dengan
apa yang dituturkan oleh Asy Syarbini dalam kitab Al Iqna’maka itu
tertolak dengan penjelasan yang lalu, yaitu bahwa ruang lingkup hijab itu bukan
ruang lingkup aurat, bahkan tertolak oleh apa yang dituturkan Asy Syarbini
sendiri dalam tafsirnya yang bernama As Siraj Al Munir tatkala menukil
perkataan Ibnu ‘Adil : Dan mungkin dikatakan : Yang dimaksud adalah mereka
(para wanita) dikenal bahwa mereka tidak berzina, karena orang yang menutupi
wajahnya padahal bukan aurat yaitu di dalam shalat tidak ada
harapan bahwa dia membuka auratnya.[43]
Bahkan
Asy Syarbini sendiri menjelaskan dengan gamblang akan keharaman
memandang wajah dan kedua telapak tangannya[44], anda
bisa melihat beliau menukil perkataan As Subki : Sesungguhnya yang
mendekati pada pendapat para pengikut (madzhab Asy Syafii) adalah bahwa wajah
dan kedua telapak tangannya adalah aurat dalam pandangan (laki-laki), tidak di
dalam shalat.[45]
Al
Baidlawi berkata dalam tafsir firman-Nya U : Dan
janganlah mereka menampakan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” : Dan yang dikecualikan itu adalah
wajah dan kedua telapak tangan karena keduanya bukan termasuk aurat, dan yang
lebih jelas ini adalah di dalam shalat bukan dalam pandangan
(laki-laki), karena seluruh tubuh wanita merdeka (dalam pandangan laki-laki)
adalah aurat, tidak boleh selain suami dan mahramnya melihat sedikitpun dari
tubuhnya kecuali dalam keadaan darurat seperti untuk mengobati dan
ketika memberikan kesaksian.[46]
Asy Syihab berkata dalam Syarahnya : dan madzhab
Asy Syafii rahimahullah
sebagaimana dalam kitab Ar Raudlah dan yang lainnya adalah bahwa
seluruh badan wanita adalah aurat secara muthlak termasuk wajah dan telapak
tangannya, dan dikatakan (dalam pendapat yang lemah): boleh melihat wajah
dan telapak tangan bila tidak hawatir fitnah. Dan berdasarkan pendapat yang
pertama : Keduanya (wajah dan telapak tangan) adalah aurat kecuali di
dalam shalat, maka shalat tidak batal dengan membukanya.[47]
Al Amir Al Imam Muhammad Ibnu Ismail ash
Shan’ani rahimahullah
berkata : Dan boleh membuka wajahnya karena tidak ada dalil yang mengharuskan
menutupinya, dan maksudnya adalah membukanya di dalam shalat di
kala tidak ada laki-laki yang bukan mahram melihatnya, ini adalah auratnya di
dalam shalat, adapun auratnya berhubungan dengan pandangan laki-laki yang bukan
mahram maka seluruh (tubuhnya) adalah aurat sebagaimana yang akan ada
penjelasannya.[48]
Al Maududi rahimahullah berkata : Dan yang
sangat mengherankan adalah bahwa mereka yang membolehkan perempuan membuka
wajah dan kedua telapak tangannya kepada laki-laki yang bukan mahram berdalil
untuk hal itu bahwa wajah dan kedua telapak tangan perempuan adalah bukan
aurat, padahal sungguh jauh sekali perbedaan antara hijab dengan menutupi
aurat, aurat adalah sesuatu yang tidak boleh dibuka di hadapan laki-laki
mahramnya, adapun hijab adalah sesuatu di atas menutupi aurat yaitu penghalang
yang menghalangi wanita dari laki-laki yang bukan mahramnya.[49]
Syaikh Abu Hisyam Ibnu Abdillah Al Anshari berkata : Janganlah seseorang
terkecoh dengan ijma’ ulama atau yang menyerupai ijma’nya terhadap pengeluaran
wajah dan kedua telapak tangan dari aurat, karena ruang lingkup hijab bukanlah
ruang lingkup aurat, namun hanya saja
diperintahkan untuk berhijab karena hijab itu lebih bersih dan lebih suci bagi
hati kaum mu’minin dan mu’minat, dan seandainya benar bahwa sikap dan perkataan
mereka (para ulama yang berijma’) itu tidak selaras dan sejalan dengan
perkataan wajibnya menutupi wajah dan kedua telapak tangan maka tidak
diragukan lagi bahwa mereka atau banyak dari mereka kontra dengan diri mereka
sendiri karena dengan terang mereka menyatakan wajibnya (menutupi wajah dan
telapak tangan), dan seorang pun tidak mampu mengatakan bahwa mereka semua
tidak mengetahui arti kontradiktif (tanaqudl).[50]
Doktor Muhammad Mahmud Al Hijazi berkata : Aurat wanita di
dalam shalat adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak
tangannya, dan wanita itu seluruh tubuhnya adalah aurat dari sisi pandangan laki-laki
yang bukan mahram, dan sebagian orang mengatakan : seluruh tubuhnya kecuali
wajah dan kedua telapak tangan selama tidak hawatir fitnah.[51]
Syaikh Muhammad Ali Ash Shabuni berkata : Perintah untuk
berhijab adalah hanyalah datang setelah tegaknya perintah syari’at akan wajibnya
menutupi aurat, maka mesti penutupan yang diperintahkan itu melebihi terhadap batasan aurat yang
wajib ditutupi, oleh sebab itu ungkapan para ahli tafsir sepakat - meskipun
kata-katanya berbeda- bahwa yang dimaksud dengan jilbab adalah rida’
yang dipergunakan wanita untuk menutupi seluruh tubuhnya di atas pakaian (yang
sudah dipakai)….dan maksudnya bukan hanya sekedar menutupi aurat sebagaiman
yang disangka / diklaim oleh sebagian orang.[52]
Penukilan-penukilan dari ahli ilmu ini cukup
untuk menetapkan perbedaan antara batasan-batasan aurat dengan batasan-batasan
hijab, berdasarkan hal ini maka tidak benar apa yang dijadikan dalih oleh orang
yang membolehkan sufur berupa ijma ulama atau seperti ijma mereka terhadap
pengeluaran wajah dan kedua telapak tangan dari batasan aurat, maka hendaklah
ini diperhatikan. Dan Allah U yang menangani hidayah anda.[53]
[1] Fathul Bariy 1/424.
[2] Lihat Al Muhalla 3/217
[3] Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an 14/243.
[4] Jami Al Ushul 6/152.
[5] Ma’aalimut Tanzil
[6] Tafsir Al Qur’anil Adhim 3/518
[7] Hijab Al Mar’ah Al Muslimah 38.
[8] Faidlul Bari 1/388.
[9] Taisir At Tafsir, Al ‘Asyru Ats Tsamin Minal Qur’an 46.
[10] Jadi jelasnya
bahwa wanita muslimah memiliki tiga pakaian, diru’ (baju kurung) untuk
menutupi badan dari leher sampai kaki, dan khimar (kerudung) untuk
menutupi kepala, rambut dan bagian dada, serta ketiga adalah jilbab
untuk menutupi atau sebagai rangkap baju kurung dan kerudung itu serta wajah,
namun wajah bisa langsung ditutup dengan kerudung atau dengan kain lain seperti
niqab dan burqa’. (pent)
[11] Fathul Bari 1/424.
[12] ‘Umdatul Qari 3/305.
[13] Faidlul Bari 1/388
[14] lihat Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an karya Al Qurthubi 12/310.
[15] Dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad 8/58, Al Albani berkata : Hadits ini
mursal, dan dikeluarkan oleh Al Hakim 4/15, dan beliau menyebutkan syahid
baginya dari hadits Anas, maka Insya Allah U menjadi kuat ….(Hijab Al
Mar’ah Al Muslimah 40)
[16] Hijab Al Mar’ah Al Muslimah
….catatan kaki hal : 40.
[17] Jelaslah bahwa jilbab itu fungsinya untuk menutupi pakaian dalam
yang berupa baju kurung dan kerudung, jadi wanita setelah memakai baju kurung
dan kerudung ketika hendak keluar rumah atau ada laki-laki yang bukan mahram
dia harus memakai jilbab sebagai pakaian rangkap sehingga pakaian yang dia
kenakan tidak nampak bahkan tertutupi oleh jilbab itu, nah di sinilah kita bisa
menilai bahwa masih banyak wanita muslimah yang sudah mampu menutupi seluruh tubuhnya
namun belum sempurna dalam memakai jilbabnya (pent)
[18] Hijab Al Mar’ah Al Muslimah 39-40.
[19] Dukeluarkan oleh Adh Dhiya’ Al Maqdisi dalam Al Ahadits Al
Mukhtarah 1/441, dan Imam Ahmad dalam Al Musnad 5/205, serta Ath Thabrani dalam
Al Kabir 1/160.
[20] Hijabul Mar’ah Al Muslimah 60.
[21] Ini disebutkan oleh Ar Rafi’i dalam Syarhnya 4/92-105, dengan Syarh
Al Muhadzdzab.
[22] Al Umm 1/78
[23] Dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad 8/48-49, dan isnadnya dishahihkan oleh
Al Albani sesuai syarat Muslim, lihat Al
Hijab 62.
[24] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf, dan sanadnya
dishahihkan oleh Al Albani dalam Al Hijab 62.
[25] Hijab Al Mar’ah Al Muslimah 61-62.
[26] Maksudnya firman-Nya Ta’ala,”وَلاَ يُبْدِيْنَ
زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
[27] hijab Al Mar’ah Al Muslimah 40-42, dan nanti ada tambahan
penjelasan dalam dalam ayat yang diebutkan tadi Insya Allah.
[28] Hadis shahih riwayat At Tirmidzi no :1173, lihat Raf’ul Junnah 15,
Irwa’ul Ghalil no :273
[29] Al Umm1/77
[30] ‘Inayatul Qadhi 6/373, dan lihat Ruhul Ma’ani karya Al Alusi1
18/141.
[31] Minahul Jalil ‘Ala Mukhtashar Al ‘Allamah Khalil 1/133.
[32] Al Mughni 1/101.
[33] Badzlul Majhud Lihali Sunan Abi Dawud 4/301.
[34] Hijab Al mar’ah Al muslimah Wa libasuha Fishshalah : 6.
[35] Mathalib Uli An Nuha Fi Syarhi Ghayatil Muntaha 1/330.
[36] Al Inshaf Fi Ma’rifati Ar Rajih Minal Khilaf 1/452.
[37] Kasyful Qina’ ‘An Matnil ‘Iqna’ 1/243.
[38] Dinukil darinya oleh At
Tuwaijiri dalam Ash Sharim Al Masyhur
72-73.
[39] Al Iqna’1/88.
[40] Al Iqna’ Fi Halli Alfadz Abi Syuja’ 185 Bab menutup aurat dan penjelasannya.
[41] Nailul Ma’arib Bisyarhi Dalil Ath Thalib 1/39.
[42] Al Qiyas Fi Asy syar’i Al Islami 69.
[43] As Siraj Al Munir 3/271.
[44] Mughni Al Muntaj Ila Ma’rifati Al Fadz Al Minhaj 3/129.
[45] Penjelasan dan nukilan-nukilan ini membuktikan bahwa apa yang
dituturkan oleh pengarang kitab Kebebasan wanita (Yaitu Abdul Halim Abu
Syuqqah) banyak tidak ilmiyyahnya dan justru banyak memotong perkataan para
ulama dengan tujuan menyelaraskan dengan pendapat pengarang sendiri serta
terlalu memaksakan kehendak yang tidak berlandaskan pada hujjah yang kuat, ini
bisa dibuktikan jika pembaca sangat jeli dalam membacanya dan mau merujuk
langsung kedalam kitab-kitab yang dijadikan rujukan pada umumnya, sunggu sangat
disesalkan dan lebih menyayangkan adalah tindakan sebagian muqallidin terhadap
kitab ini yang membabi buta seolah-olah kitab ini adalah satu-satunya dalam
masalah ini, dan juga janganlah terkecoh dengan pujian terhadap kitab ini yang
dilontarkan oleh pemberi komentarnya karena tidak ada artinya pujian orang yang
banyak menolak hadits shahih karena bertentangan dengan akalnya (pent)
[46] ‘Inayatul Qadli Wa Kifayatur Radli 6/373.
[47] Ibid
[48] Subulus Salam 1/176.
[49] Tafsir surah An Nur 158.
[50] Majallatul Jami’ah As Salafiyyah, Dzul Qa’dah 1398 H hal : 69.
[51] At Tafsir Al Wadlih 18/66.
[52] Rawai’ul Bayan 2/378.
[53] Dengan penjelasan ini anda mengetahui perbedaan pakaian budak dengan
wanita merdeka, dan anda juga mengetahui bahwa maksud ijma ulama akan
bolehnya membuka wajah itu adalah di dalam shalat bukan dihadapan
laki-laki yang bukan mahram, bahkan kalau ketika sedang shalat terus ada
laki-laki yang bukan mahram memperhatikannya maka harus cepat menutup mukanya,
dan justru ulama yang mengatakan wajah bukan aurat di dalam shalat mereka
dengan gamblang menyatakan wajah harus ditutupi di kala ada laki-laki yang
bukan mahram.
Ini adalah dalil pertama tentang hijab dari
Al Qur’an berikut penafsiran para ahli tafsir dari kaum salaf dan ulama
muta’akhkhirin. (pent)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar