Sobat Sobat SenjuJasrizal.blogspot.com yang baik hati,,, TERIMA KASIH TELAH MENGUNJUNGI BLOG INI... mohon maaf atas segala kekurangan, mudah-mudahan bermanfaat dan dapat sobat2ku mengambil hikmah didalamnya....^_^

Minggu, 23 Desember 2012

Dalil-Dalil Tentang Wajibnya Hijab 7


Dalil Keempat

Firman-Nya U :

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِيْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِيْ أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانِهِنَّ أَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ أُولِي اْلإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّ وَتُوْبُوْا إِلَى اللهِ جَمِيْعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ .
Artinya : Dan katakanlah kepada wanita yang beriman,” Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara-saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (An Nur : 31)
Dalam ayat yang mulia ini ada tiga tempat yang bisa  menunjukan wajibnya berhijab
:
Pertama : Firman-Nya,” dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya (وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا  ). Telah shahih dari Ibnu Masud t dan yang lainnya penafsiran zinah(perhiasan) dengan pakaian luar wanita, dan adapun orang yang mengatakan bahwa,” yang (biasa) nampak dari padanya,” adalah wajah dan kedua telapak tangan, maka dia telah melandaskan/membangun pendapatnya pada hal berikut ini :
1.      Atsar-atsar yang dhaif sanadnya yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas t, sebagaiman nanti Insya Allah akan kami jelaskan.
2.      Atau mungkin berdasarkan pentarjihan dengan ilzam fiqhi,  berlandaskan pada : Bahwa aurat wanita di dalam shalat adalah seluruh aggota badannya selain wajah dan telapak tangannya, dan bahwa ihramnya adalah pada wajah dan kedua telapak tangannya, mereka mengatakan : Maka mesti dari itu bolehnya menampakan keduanya.

Ada hal yang menarik perhatian, yaitu bahwa banyak para mufassirin yang terjebak dalam kerancuan/kintradiktip (tanaqudl) pada pendapat mereka sendiri, yaitu mereka dalam membahas sebagian ayat-ayat hijab menyatakan wajibnya berhijab atas seluruh wanita, namun dalam tempat lain dalam pembahasan yang sama mereka mentarjih madzhab yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas t dan yang lainnya, kemudian mereka berhujjah dengan ilzam fiqhi yang tidak mesti (ghair lazim) karena adanya perbedaan antara keadaan di luar shalat dengan keadaan di dalam shalat.
Dan sebagian mereka mentarjih bolehnya membuka wajah dan kedua telapak tangan karena alasan kebutuhan terkadang yang menuntut untuk menampakan keduanya, seperti waktu khithbah, kesaksian, pengobatan, dan lain-lain, dan jawaban atas hal ini adalah bahwa hal itu diberikan dispensasi (rukhshah) dalam batas-batas kebutuhan saja. WallahuAlam.
Ke dua : Firman-Nya U : Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,”( وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ )
Ke tiga : Firman-Nya U  : Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.”( وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّ ).

Tahqiq atsar-atsar yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas t dan atsar-atsar yang disandarkan kepada Ibnu Masud t dalam tafsir firman-Nya U : إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا

Fadlilatu Asy Syaikh Abdul Qadir Ibnu Habibullah As Sindi pengajar di Ma’had Al Haram Al Makki Asy Syarif saat naqd (mengoreksi) atsar : Sesungguhnya wanita bila sudah sampai pada usia haidh maka tidak layak dilihat darinya kecuali ini dan itu, dan beliau mengisyaratkan pada wajah dan kedua telapak tangannya,” (إن المرأة إذا بلغت المحيض لم يصلح أن يرى منها إلا هذا وهذا . وأشار إلى وجهه وكفيه )[1] : Tidak ada hadits marfu’ yang shahih yang semakna dengan hal ini kecuali riwayat yang datang dari Ibnu Abbas t dalam atsar yang dikeluarkan oleh Al Imam Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir At Thabari dalam tafsirnya[2]dan Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra[3], Al Imam Ibnu Jarir Ath Thabari berkata : Telah memberitahukan kepada kami Abu Kuraib, berkata : Telah memberitahukan kepada kami Marwan, berkata : Telah memberitahukan kepada kami Muslim Al Mullaa’i Al A’war dari Said Ibnu Jubair dari Ibnu Abbas, beliau berkata : وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا  (dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya) beliau berkata : Celak dan cincin,” Saya berkata (As Sindi) : Isnadnya dlaif jiddan (lemah sekali), bahkan munkar, Al Imam Adz Dzahabi berkata : Muslim Ibnu Kaisan Abu Abdillah Adl Dlabbi Al Kufiy Al Mulla’i Al A’war dari Anas dan Ibrahim An Nakha’i, Al Imam Al Hafidz Abu Al Hajjaj Al Muzzi dalam biografi Muslim Ibnu Kaisan Al Mulla’i dia meriwayatkan dari Said Ibnu Jubair- dan dia meriwayatkan isnad ini dari Said Ibnu Jubair[4].
Al Imam Adz Dzahabi berkata dalam biografinya (Muslim Al Mulla’i) :
(Dari Ats Tsauri, dan Waki’ Ibnu Al Jarrah Ibnu Mulaih, Al Fallas berkata : Matrukul Hadits.
Ahmad berkata : Laa yuktabu hadutsuhu (haditsnya tidak usah ditulis).
Yahya berkata : Tidak tsiqah.
Al Bukhari berkata : Mereka memperbincangkannya.
Yahya berkata lagi : Mereka mengklaim bahwa dia telah ngawur (ikhtilath).
Dan Yahya Al Qathan berkata : Hafsh Ibnu Giyats memberitahuku, dia berkata : saya berkata kepada Muslim Al Mulla’i : Dari siapa engkau mendengar ini ? Dia berkata : Dari Ibrahim dari Alqamah,” Kami berkata : Alqamah dari siapa ? Dia berkata : Dari Abdullah,” kami berkata : Abdullah dari siapa ? Dia berkata : Dari Aisyah,”
An Nasa’i berkata : Matrukul Hadits.[5])
Saya katakan : Isnad ini gugur (saqith) tidak layak untuk menjadi mutaba’at dan syawahid sebagaimana yang tidak samar lagi bagi orang yang berkecimpung dalam bidang ilmu yang mulia ini.
Al Imam Al Hafidz Al Baihaqi  berkata dalam As Sunan Al Kubra : Telah memberitahukan kepadaku Abu Abdillah Al Hafidz dan Abu Said Ibnu Abi Amr, keduanya berkata : Telah memberitahukan kepada kami Abu Al Abbas Muhammad Ibnu Yaqub, telah memberitahukan kepada kami Ahmad Ibnu Abdil Jabbar, telah memberitahukan kepada kami Hafsh Ibnu Ghiyats dari Abdullah Ibnu Muslim Ibnu Hurmuz dari Said Ibnu Jubai dari Ibnu Abbas, beliau berkata : وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا  (dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya) beliau berkata : Apa yang ada di telapak tangan dan wajah.”[6]
Saya katakan : Isnadnya Mudhlim dlaif (gelap lagi lemah), karena dlaifnya dua orang perawi yaitu :

1.      Ahmad Ibnu Abdil Jabbar Al ‘Aththaridiy.

Al Imam Adz Dzahabi berkata : Ahmad Ibnu Abdil Jabbar Al ‘Aththaridiy meriwayatkan dari Abu Bakar Ibnu ‘Iyasy dan orang-orang yang sethabaqah dengannya, didlaifkan oleh banyak ulama.
Ibnu ‘Addi berkata : Saya melihat mereka ijma atas kedlaifannya, dan saya tidak melihat dia memiliki hadits munkar, sebab mereka mendlaifkannya karena dia tidak pernah bertemu dengan orang yang dia meriwayatkan hadits dari mereka.
 Ibnu Mathin berkata : Dia suka berdusta.
Abu Hatim berkata : Tidak kuat (laisa bilqawiyy).
Anaknya Abdul Rahman berkata : Dulu saya mengambil hadis darinya, dan kemudian tidak mengambilnya karena orang-orang mempermasalahkan.
Ibnu ‘Addi : Ibnu ‘Uqdah tidak mau meriwayatkan hadits darinya, dan dia menyebutkan bahwa dia memiliki qimathrun (wadah dimana buku dijaga) sehingga dia tidak segan-segan menyampaikan hadits dari siapa saja, meninggal tahun 272 H[7].
Dan Al Hafidz berkata dalam At Taqrib : Dlaif.[8]

2.      Begitu juga ada dalam isnad Al Imam Al Baihaqi perawi yang bernama Abdullah Ibnu Muslim Ibnu Hurmuz Al Makki dari Mujahid dan yang lainnya.
Al Hafidz Adz Dzahabi berkata : Dia dianggap dlaif  oleh  Ibnu Main, dan dia berkata : Dia suka memarfu’kan banyak sesuatu.
Abu Hatim berkata : Tidak kuat (laisa bilqawiyy).
Ibnu Al Madiniy berkata : Dia itu dlaif (dua kali) menurut kami, dan beliau berkata lagi : Dlaif.
Dan begitu juga dianggap dlaif oleh An Nasai.[9]
Al Hafidz berkata dalam At Taqrib : Dlaif.[10]
Saya berkata : Dua isnad ini keadaannya sangat jelek, hingga sampai pada derajat  yang jauh yang menjadikannya tidak tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak usah ditulis, dan di sini masih ada beberapa isnad yang derajat kedlaifan dan kemungkarannya tidak jauh berbeda dengan yang tadi, sehingga bisa dikatakan bahwa penisbatan ini tidak benar kepada Ibnu Abbas t, dan seandainya juga benar penyandaran ini kepadanya tentu tidak bisa dijadikan sebagai hujjah menurut ulama ahli hadits, apalagi keadaannya seperti ini. Dan sungguh telah sah sanad-sanad kepada saudara sepupu Al Mushthafa r (Ibnu Abbas, maksudnya)dan kepada sahabat yang lainnya y sebaliknya dari makna yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir Ath Thabari dalam tafsirnya, Al Baihaqi dalam Sunannya, serta Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya. Ditambah apa yang telah tsabit dengan sanad-sanad yang shahihah dari Rasulullah r sebagaimana yang akan ada penjelasannya tentang perintah beliau agar wanita berhijab dan menutupi diri. Dan inilah yang pertama yang saya hadirkan kepada para pembaca, yaitu atsar yang bersumber dari sebagian para sahabat y, diantaranya Abdullah Ibnu Masud t sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, beliau rahimahullah berkata : Telah menceritakan kepada saya Yunus, dia berkata telah memberitahukan  kepada kami Ibnu Wahb, dia berkata berkata telah memberitahukan  kepada kami Ats Tsauri dari Abu Ishaq Al Hamadaniy, dari Abi Al Ahwash dari Ibnu Masud, beliau berkata :( وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا) (dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya) beliau berkata : Pakaian,”[11]
Saya berkata : Isnadnya sangat shahih sekali (Fi Ghayatish Shihhah), dan atsar ini juga di tuturkan oleh Al Imam Ibnu katsir dalam tafsirnya [12]kemudian Al Imam Ibnu Jarir Ath Thabari menuturkan isnad lain dengan perkataannya : Muhammad Ibnu Basyar telah mengabarkan kepada kami, dia berkata Abdul Rahman telah memberitahukan kepada kami dari Sufyan dari Abu Ishaq dari Abu Al Ahwash dari Abdullah seperti hal itu.
Saya berkata : Isnadnya sangat shahih sekali (Fi Ghayatish Shihhah).
Dan Al Imam As Sayuthi berkata : Ibnu Jarir Ath Thabari, Ibnu Al Mundzir, Ibnu Abi Hatim, dan Al Baihaqi dalam Sunannya telah mengeluarkan (dengan sanadnnya) dari Ibnu Abbas t berkenaan dengan firman-Nya U : ( وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا) (dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya) beliau berkata : Perhiasan yang biasa nampak adalah wajah, kedua telapak tangan, dan celak mata,” terus Ibnu Abbas t berkata : Maka yang ini (wajah, kedua telapak tangan, dan celak mata ) dia tampakan kepada orang yang masuk menemuinya, kemudian mereka (wanita) tidak boleh menampakan perhiasannya kecuali kepada suaminya, atau ayah-ayahnya, dan seterusnya (yang tercantum dalam ayat di atas).
Kemudian beliau t berkata : Dan perhiasan yang boleh ditampakan kepada mereka (mahram) adalah kedua antingnya, kalungnya, dan gelangnya, dan adapun gelang kakinya, tangannya, lehernya dan rambutnya maka hal itu tidak boleh ditampakan kecuali kepada suaminya[13] .
Saya berkata : Riwayat Ibnu Abbas t ini –telah saya teliti sanadnya dalam tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari, dan perawinya seluruhnya tsiqat, namun munqathi’, karena di dalamnya ada Ali Ibnu Abi Thalhah yang meninggal tahun 143 H, dia meriwayatkan dari Ibnu Abbas t sedangkan dia tidak pernah bertemu dengannya, dan perantara keduanya adalah Mujahid Ibnu Jabr Al Makkiy- dan beliau itu adalah imam besar tsiqat tsab (kuat) tidak diragukan lagi- dan telah berhujjah dengan riwayat ini yaitu riwayat Ali Ibnu Abi Thalhah dari Ibnu Abbas t Al Bukhari dalam Al Jami’ Ash Shahih[14] beliau menuturkan dalam banyak tempat dalam kitabut tafsir secara ta’liq meskipun tidak memenuhi syaratnya dalam Al Jami’ Ash Shahih-dikatakan oleh Al Hafidh dalam At Tahdzib[15], Al Imam Al Muzzi di dalam Tahdzib Al kamal berkata seraya mengisyaratkan kepada riwayat tafsir ini < dalam biografi Ali Ibnu Abi Thalhah : Dia ini mursal dari Ibnu Abbas dan di antara keduanya adalah Mujahid[16]>. Dan telah berpegang kepada riwayat ini ‘Allamatu Asy Syam Muhammad Jamaluddin Al Qasimiy di dalam tafsirnya[17], Al Imam Al Qurthubiy dalam tafsirnya[18], dan begitu juga Al Imam Ibnu Katsir dalam banyak tempat di tafsirnya, maka kuatlah riwayat ini dan bisa dijadikan hujjah menurut kalangan ulama tafsir dan lainnya, dan sesungguhnya dhahir Al Qur’an dan As Sunnah serta atsar para sahabat dan para tabi’in menguatkannya, oleh sebab itu peganglah dia dan jadikanlah sebagai pendekatan…[19] (dinukil dari Risalatul Hijab karya As Sindiy).


Jawaban para ulama tentang perkataan Ibnu Abbas t seandainya benar penisbatannya kepada beliau

Pertama  : Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Ta’ala berkata : Dan salaf berbeda pendapat tentang perhiasan yang biasa nampak (zinah dhahirah), ada dua pendapat, Ibnu Masud mengatakan : Ia adalah pakaian, dan Ibnu Abbas bersama orang yang sejalan dengannya berkata : Ia adalah apa yang ada di wajah dan di kedua telapak tangan seperti celak dan cincin.
Beliau (Ibnu Taimiyyah) berkata : Dan sebenarnya bahwa Allah telah menjadikan perhiasan (zinah) itu dua macam, zinah dhahirah (perhiasan yang biasa nampak) dan zinah ghair dhahirah (perhiasan yang tidak biasa nampak), dan Dia membolehkan menampakan zinah dhahirah kepada selain suami dan mahram-mahramnya, dan adapun zinah bathinah (ghair dhahirah) maka tidak boleh dinampakan kecuali kepada suami dan mahram-mahramnya.
Dan sebelum ayat hijab turun, para wanita keluar dengan tidak mengenakan jilbab, sehingga laki-laki bisa melihat wajah dan kedua tangannya, karena waktu itu wanita dibolehkan menampakan wajah dan kedua telapak tangannya, sehingga waktu itu dibolehkan melihatnya karena dibolehkan bagi wanita untuk menampakannya, kemudian tatkala Allah U menurunkan ayat hijab dengan firman-Nya,” Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka", maka wanita menutupi diri dari laki-laki, dan itu terjadi di kala Nabi r menikahi Zainab Bintu Zahsy radliyallahuanha, maka Nabi r mengulurkan tirai dan melarang Anas untuk melihatnya.

Dan tatkala Nabi r memilih Shafiyyah Bintu Huyayy setelah itu pada tahun Khaibar para sahabat berkata : Bila beliau menghijabinya berarti dia adalah Ummahatul Mu’minin (maksudnya wanita merdeka, pent), dan kalau tidak menghijabinya berarti dia adalah budaknya, maka beliau pun mengihijabinya.

Maka tatkala Allah U memerintahkan agar wanita tidak ditanya/dipinta kecuali dari belakang hijab, dan Dia memerintahkan isteri-isterinya, puteri-puterinya dan wanita kaum mu’minin supaya mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuhnya, sedang jilbab adalah mula’ah, yaitu yang Ibnu Masud dan yang lainnya menamakannya rida, sedang orang umum menyebutnya izar, yaitu izar yang besar yang menutup kepala dan seluruh tubuhnya, Ubaidah dan yang lainnya telah menghikayatkan bahwa wanita mengulurkannya dari atas kepalanya sehingga tidak nampak kecuali matanya, dan diantara jenis pakainnya adalah niqab, adalah para wanita salaf mereka memakai niqab (cadar), dan dalam hadits shahih, “ sesungguhnya wanita yang sedang ihram tidak boleh memakai niqab dan kaos tangan,” Maka bila mereka diperintahkan untuk memakai jilbab, dan ini adalah menutup wajah atau menutup wajah dengan niqab, maka berarti wajah dan tangan termasuk zinah (perhiasan) yang diperintahkan untuk tidak dinampakan kepada laki-laki yang bukan mahram, maka oleh sebab itu tidak tersisa bagi laki-laki yang bukan mahram kehalalan memandang kecuali kepada pakaian yang nampak. Berarti Ibnu Masud menyebutkan akhir dari dua hal sedangkan Ibnu Abbas menyebutkan hal yang awal dari dua hal itu.[20]

Kedua : Al ‘Allamah Abdul Aziz Ibnu Abdillah Ibnu Baz rahimahullah berkata : (Dan adapun apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas t bahwa beliau menafsirkan,” kecuali yang biasa nampak darinya,” dengan wajah dan kedua telapak tangan, maka itu ditinjau dari sisi keadaan wanita sebelum turun ayat hijab, dan adapun setelah itu maka Allah U telah memerintahkan wanita agar menutupi seluruh tubuhnya, sebagaimana yang telah lalu dalam ayat-ayat yang mulia dalam surat Al Ahzab, dan yang menunjukan bahwa Ibnu Abbas menghendaki hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Ali Ibnu Abi Thalhah dari beliau, berkata : Allah telah memerintahkan wanita kaum mu’minin bila mereka keluar dari rumahnya untuk suatu keperluan agar menutup wajahnya dari atas kepalanya dengan jilbab dan hanya menempakan satu mata saja.
Dan hal ini telah diingatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan ulama ahli tahqiq lainnya, dan inilah kebenaran  (haq) yang tidak diragukan lagi, serta sudah pada ma’lum tentang fitnah dan kerusakan yang ditimbulkan akibat para wanita membuka wajahnya dan kedua telapak tangannya. Dan telah lalu Firman-Nya U,” Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir,” tidak ada pengecualian di sana, dan ini adalah ayat muhkamah, maka wajib berpegang kepadanya dan merujuk ke sana serta membawa hal lainnya kepadanya. Hukum dalam ayat ini umum buat isteri-isteri Nabi r dan wanita kaum mu’minin, dan telah lalu dalam tafsir surat An Nur hal yang menunjukan kepada hal ini.)[21]dan penggabungan ini lebih utama, karena ada riwayat dari Ibnu Abbas sendiri, beliau mengatakan,”Hendaklah dia mengulurkan jilbab ke wajahnya wala tadlrib bih,” Rauh berkata dalam haditsnya : saya berkata :Apa artinya wala tadlrib bih ? Maka beliau memperlihatkan kepada saya sebagaimana wanita wanita mengenakan jilbab, terus memperlihatkan bagian jilbab yang ada di pipinya seraya berkata : Dia menyambungkan dan mengencangkannya pada wajahnya sebagaimana jilbab itu diuraikan kewajahnya,” Ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Al Masa’il, beliau berkata : Telah memberitahukan kepada kami Ahmad-yaitu Ibnu Muhammad Ibnu Hambal-berkata : Telah memberitahukan kepada kami Yahya dan Rauh dari Ibnu Juraij beliau berkata : ‘Atha telah memberitahu kami beliau berkata : Abu Asy Sya’tsa telah memberitahu kami bahwa Ibnu Abbas t berkata : Hadits tadi….,” Dan sanadnya Shahih sesuai Syarat Al Bukhari dan Muslim.
Dan perkataan Ibnu Masud t dan yang sejalan dengannya adalah pendapat yang benar dalam penafsiran ayat ini karena didukung dengan ayat dalam surat Al Ahzab, yaitu firman-Nya,” Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka".

Al Imam Abu Al Faraj Jamaluddin Abdurrahman Ibnu Al Jauzi rahimahullah : Firman-Nya,” وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ,” maknanya : Janganlah mereka menampakannya kepada laki-laki yang bukan mahram, dan perhiasannya itu ada dua macam : Khafiyyah (tersembunyi) seperti gelang, anting, gelang lengan bagian atas (dumluj), kalung dan lain-lain, dan Dhahirah (perhiasan yang nampak) yang diisyaratkan oleh firman-Nya,”kecuali yang biasa nampak darinya,” dan dalam hal ini ada tujuh pendapat :
1.      Itu adalah pakaian (tsiyab), ini diriwayatkan oleh Abu Al Ahwash dari Ibnu Masud, dan satu ungkapan beliau berkata : rida’ (jubah lebar)
2.      Itu adalah telapak tangan, cincin, dan wajah.
3.      Celak dan cincin, keduanya diriwayatkan oleh Said Ibnu Jubair dari Ibnu Abbas.
4.      Qulban, yaitu dua gelang, cincin, dan celak, ini dikatakan oleh Al Miswar Ibnu Makhramah.
5.      Celak, cincin, dan dan semir, ini dikatakan oleh Mujahid.
6.      Cincin dan gelang, ini dikatakan oleh Al Hasan.
7.      Wajah dan kedua telapak tangan, ini dikatakan oleh Adl Dlahhak.

Al Qadli Abu Ya’la berkata : Dan pendapat yang pertama adalah yang paling mendekati pada kebenaran, dan Al Imam Ahmad telah menetapkan hal ini, beliau berkata : Zinah dzahirah adalah pakaian, dan segala sesuatu dari badan wanita adalah aurat hingga kukunya juga, dan hal ini memberikan faidah atas haramnya memandang sesuatu dari (badan wanita lain) tanfa ada udzur (alasan syar’i), namun bila ada udzur seperti ingin menikahinya atas menegakan kesaksian atasnya, maka dalam kedua keadaan ini dia boleh melihat kepada wajahnya saja, adapun memandang kepadanya tanpa udzur maka itu tidak boleh baik disertai syahwat maupun tidak, dan sama saja apakah itu wajah, kedua telapak tangan, dan anggota badan yang lainnya. Kemudian bila dikatakan : Kenapa shalat tidak batal dengan membuka wajahnya ? maka jawabnya : Sesungguhnya menutupinya saat shalat ada masyaqqah maka dima’afkan dari hal itu.[22]

Al Imam Ibnu ‘Athiyyah berkata : Dan sesuai lafadz ayat itu maka jelaslah bagi saya bahwa wanita diperintahkan agar tidak menampakan wajahnya, dan dia harus berusaha menyembunyikan segala sesuatu yang masuk dalam kategori zinah, dan pengecualian itu tejadi pada sesuatu yang mesti nampak karena dharuratnya bergerak dan lain-lain, maka sesuatu yang nampak dari wanita atas dasar hal ini  karena situasi dharurat maka itu dimaafkan.[23]

Al Imam Al Qurthubi rahimahullah mengomentarinya seraya berkata : Saya berkata : Ini adalah perkataan yang baik, hanyasannya tatkala wajah dan kedua telapak tangan biasanya nampak secara adat dan dalam ibadah, yaitu dalam shalat dan haji, maka pantas sekali pengecualian tadi kembali kepada keduanya[24], ini ditunjukan oleh hadits  yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Aisyah radliyallahu anha-dan beliau menuturkan hadits Asma[25] sambil berdalil dengannya, sampai beliau rahimahullah berkata : Dan Ulama dari madzhab kami Khuwaiz Ibnu Mindad berkata : Sesungguhnya wanita bila cantik dan dihawatirkan fitnah karena wajah dan kedua telapak tangannya maka dia harus menutupinya, namun bila wanita itu tua renta atau jelek maka boleh baginya membuka wajah dan kedua telapak tangannya.[26]

Al Baidlawi rahimahullah berkata dalam tafsirnya : ,”Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya,” seperti perhiasan emas/perak (huliyy), pakaian, dan celupan pacar (semir) apalagi tempat-tempatnya kepada orang yang tidak halal menampakan kepadanya,” kecuali yang biasa nampak darinya,” ketika melakukan aktifitas-aktifitas seperti pakaian dan cincin, karena terdapat kesulitan dalam menutupinya.
Dan dikatakan : Yang dimaksud dengan zinah itu adalah tempatnya dengan taqdir membuang mudlaf[27], atau semua yang mencakup kecantikan yang sifatnya alami dan dibuat-buat, sedangkan yang dikecualikan adalah wajah dan telapak tangan karena keduanya bukan termasuk aurat, namun yang lebih jelas bahwa ini (perkataan bahwa wajah dan telapak tangan bukan aurat) adalah di dalam shalat bukan pada pandangan (laki-laki yang bukan mahram), karena sesungguhnya seluruh badan wanita merdeka itu adalah aurat yang tidak halal sedikitpun dilihat oleh selain suaminya dan mahramnya kecuali karena dlarurat, seperi mengobati dan menunaikan persaksian….

Asy Syihab dalam syarhnya berkata : Dan madzhab Asy Syafiiy sebagaimana dalam kitab Ar Raudlah dan yang lainnya bahwa seluruh badan wanita merdeka adalah aurat termasuk wajah dan kedua telapak tangannya secara muthlaq, dan dikatakan (dalam perkataan yang lemah) : Boleh melihat wajah dan telapak tangan bila tidak takut fitnah, dan sesuai perkataan pertama : Keduanya aurat kecuali dalam shalat, maka tidak batal shalatnya dengan membukanya.

Beliau berkata lagi : Firman-Nya,” kecuali yang biasa nampak darinya,” yaitu tanpa sengaja menampakannya seperti terbuka oleh angin, dan pengecualian dari hukum yang sudah pasti itu adalah dengan jalur isyarat, yaitu dia (wanita) dikenakan sangsi dengan sebab (menampakannya secara sengaja) di hari pembalasan, dan termasuk dalam hukum pengecualian adalah sesuatu yang mesti dinampakannya dalam rangka melaksanakan persaksian dan pengobatan dokter.

Beliau berkata lagi : perkataannya : Dan dikatakan : yang dimaksud dengan zinah adalah mawadli’uha (tempat-tempatnya),,, dan dalam satu manuskrip : mawaqi’uha, yang maknanya sama, imilah yang disetujui oleh Az Zamakhsyari sedang beliau ini berada di atas madzhab Abu Hanifah rahimahullah, dan beliau menjadikannya sebagai kinayah dari apa yang telah disebutkan seperti naqal jaib, dan ini adalah majaz (kiasan) dari penyebutan sesuatu yang menempati dan yang dimaksud adalah tempatnya. Dan dikatakan : Ini adalah dengan taqdir (mengkira-kirakan) adanya mudlaf sebagaimana yang disebutkan oleh Mushannif rahimahullah, dan dalam kitab Al Intishaf : Fiman-Nya,” dan janganlah mereka memukulkan kaki-kaki mereka………..,” memastikan bahwa menampakan zinah itu adalah yang dimaksud dari pelarangan, dan seandainya dibawa pada kemungkinan yang telah disebutkan maka mesti adanya kehalalan bagi laki-laki lain untuk melihat apa yang nampak dari angota-angota badan tempat perhisan tersebut, dan ini adalah pendapat yang bathil karena seluruh badan wanita adalah aurat menurut Asy Syafiiy dan Malik, dan adapun menampakan perhiasan saja (maksudnya kalung, gelang, cincin, anting-anting dan sebagainya) maka tidak ada perbedaan atas kebolehannya, karena tidak haram memandang gelang wanita yang sedang dijual pada tangan laki-laki. Adapun (perkataan yang mengatakan sebab tidak bolehnya menampakan perhiasan itu) karena membuat hati orang-orang fakir bersedih maka ini adalah pernyataan yang sama sekali tidak berdasar, makanya Mushannif mengatakannya dengan uslub melemahkan (tamridl) karena berbeda dengan madzhabnya, dan ini perlu ditinjau. Sedang ziiniyyah adalah bentuk nisbat dari zinah, dan dalam satu manuskrif : tazyiniyyah,,,dan perkataan mushannif : dan yang dikecualikan,,,yaitu berdasarkan pendapat Abu Hanifah rahimahullah, dan kedua telapak kaki serta kedua lengan dalam satu riwayat. Perkataannya : Badan wanita merdeka adalah aurat,,, sebagaimana dalam hadits,” Wanita adalah aurat masturah,” diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdillah Ibnu Masud t, namun tidak terdapat lafadh masturah, dan apa yang disebutkannya berupa perbedaan antara aurat di dalam shalat dan di luar shalat adalah madzhab Asy Syafiiy rahimahullah, dan di dalamnya ada perkataan Ibnu Al Hummam, coba sebaiknya rujuk.[28]
Asy Syaikh Al ‘Allamah Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Juzzi Al Kalbiy rahimahullah berkata :,” Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” Dia melarang menampakan perhisan secara umum kemudian mengecualikan perhisan yang biasa nampak darinya, yaitu yang mesti kelihatan dikala bergerak atau ketika memperbaiki keadaannya dan lain-lain, maka dikatakan : Kecuali yang bisa nampak adalah pakaian, oleh sebab itu wajib menutupi seluruh badan, dan ada dikatakan : Pakaian, wajah, kedua telapak tangan, dan ini adalah Madzhab Malik, karena beliau membolehkan membuka wajah dan kedua telapak tangannya di dalam shalat, dan Abu Hanifah menambahkan dua telapak kaki.[29]

Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata : Ini dalah perintah dari Allah bagi wanita-wanita mu’minah, dan sebagai ghirah dari-Nya terhadap suami-suami mereka hamba-hamba-Nya yang beriman, serta sebagai pembeda bagi wanita mu’minah dari sifat wanita masa jahiliyah dan perlakuan wanita musyrikah.

Beliau rahimahullah berkata : ,”Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” artinya : Janganlah mereka menampakan sedikitpun dari perhiasannya kepada laki-laki lain kecuali perhiasan yang tidak mungkin disembunyikan, Ibnu Masud berkata : Seperti rida’ dan tsiyab yaitu yang biasa dipakai oleh wanita Arab berupa jubah yang merangkap pakaiannya, dan bagian pakaian bawah yang yang terkadang nampak, maka dalam hal ini dia tidak berdosa, karena hal ini tidak mungkin disembunyikan, dan sama dalam hal ini yaitu pakaian wanita berupa jubah yang biasa nampak dan bagian pakaian yang tidak mungkin disembunyikan, dan orang yang menyatakan seperti perkataan Ibnu Masud adalah : Al Hasan, Ibnu Sirin, Abu Al Jauzaa, Ibrahim An Nakhai dan lain-lain.[30]
As Sayuthi rahimahullah berkata : وَلاَ يُبْدِيْنَ  janganlah mereka menampakan زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا yaitu wajah dan kedua telapak tangan maka boleh laki-laki lain melihatnya bila tidak hawatir fitnah menurut satu pendapat, dan pendapat kedua : Haram karena itu adalah sumber fitnah, dan inilah yang kuat demi menutup pintu (fitnah).[31]

(Ibnu Abi Hatim dan As Sayuthi meriwayatkan dalam Ad Durr dari Said Ibnu Jubair secara mauquf, bahwa beliau berkata : { زِيْنَتَهُنَّ  وَلاَ يُبْدِيْنَ} maknanya : Janganlah mereka menanggalkan jilbabnya yaitu qina’ dari atas kerudungnya {.. إِلاَّ لِبُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ },”kecuali kepada …,” beliau berkata : Maka hal itu (membuka kepada selain yang disebutkan) adalah diharamkan.)[32]

Al ‘Allamah Ibnu Muflih Al Hanbali rahimahullah U  berkata : (Ahmad berkata : Dia tidak boleh menampakan perhiasannya kecuali kepada orang yang disebutkan di dalam ayat itu, dan Abu Thalib menukil perkataannya :< kukunya adalah aurat, bila dia keluar maka jangan menampakan sesuatupun , tidak pula sepatunya (khuff), karena khuff ini menjiplak bentuk telapak kakinya > dan saya lebih menyukai bila dia itu menjadikan pada baju lengannya kancing pas tangannya. Al Qadli menguatkan perkataan orang yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan perhiasan yang biasa nampak itu adalah pakaian berdasarkan perkataan Ibnu Masud dan yang lainnya, tidak perkataan orang yang menafsirkannya dengan huliyy (perhisan seperti cincin, gelang, dll) atau dengan sebagian anggota tubuh, karena itu termasuk zinah khafiyyah (perhiasan yang tersembunyi), beliau berkata : Hal ini telah dinyatakan dengan jelas oleh Ahmad, beliau berkata : Perhiasan yang biasa nampak adalah pakaian, dan seluruh anggota tubuhnya adalah auarat, termasuk kukunya.)[33].

Al ‘Allamah Al Kasymiri rahimahullah berkata : (Bila anda mengatakan : Dan bila boleh menampakan anggota-anggota badan ini secara muthlaq maka apa artinya pengkhususan dan pengecualian tersebut ? Saya katakan : Dan siapa yang mengklaim bahwa Al Qur’an menganjurkan mereka (wanita) untuk membukanya ? namun konteks itu berkenaan dengan  menampakan perhiasan bagi orang yang dibolehkan di saat dlarurat, adapun orang yang tidak dlarurat maka hukum yang berlaku bagi mereka adalah seperti yang dijelaskan dalam ayat yang lain, yaitu (ayat) penguluran jilbab karena hal itu lebih tertutup baginya, dan bila boleh juga baginya membukanya, namun karena hal itu bisa menimbulkan fitnah maka Al Qur’an sangat menekankan untuk menutupinya dalam setiap keadaan.)[34]
Dan beliau rahimahullah berkata lagi : ( Sebab saya mengatakan : Sesungguhnya membuka wajah itu boleh seandainya tidak ada fitnah berdasarkan hadits Fadl Ibnu Abbas dan seorang pemudi pada waktu haji, maka Nabi r memalingkan wajahnya darinya dan berkata : Saya hawatir setan mengelabui antara mereka berdua,” maka pahamilah dan berterima kasih.)[35]

Al Alusi rahimahullah berkata : ( Dan Madzhab Asy Syafiiy-semoga Allah merahmatinya- sebagaimana dalam kitab Az Zawajir bahwa wajah dan telapak tangan baik atas maupun bawah sampai pergelangan dari wanita meskipun dia itu budak adalah aurat dalam pandangan (laki-laki yang bukan mahram,pent) menurut pendapat yang paling shahih, meskipun keduanya (wajah dan telapak tangan) bukan aurat di dalam shalat bagi wanita merdeka........sebagian kecil pengikut madzhab Syafiiy membolehkan melihat wajah dan telapak tangan dengan syarat aman dari fitnah, namun pendapat ini tidak dianggap dalam madzhab mereka (madzhab Asy Syafiiy), dan sebagian tokoh mereka menafsirkan apa yang biasa nampak dengan wajah dan kedua telapak tangan setelah menuturkan ayat itu (An Nur : 31) sebagai dalil bahwa aurat wanita itu adalah selain keduanya, dan dia menjadikan kehawatiran timbulnya fitnah sebagai alasan haramnya memandang keduanya, maka itu menunjukan bahwa tidak semua yang haram dilihat itu adalah aurat. Namun anda mengetahui bahwa pembolehan menampakan wajah dan kedua telapak tangan sesuai tuntutan ayat menurut mereka beserta perkataan mereka atas haramnya memandang kedua anggota badan itu secara muthlaq sungguh sangat jauh sekali (pertentangannya), maka perhatikanlah[36], dan ketahuilah bahwasannya bila yang dimaksud adalah larangan menampakan anggota-anggota badan tempat perhiasan itu, dan dikatakan termasuk di dalamnya wajah dan kedua telapak tangan dan memastikan perkataan bahwa keduanya adalah aurat dan haram menampakannya kepada selain orang-orang yang dikecualikan sesudahnya maka bisa jadi pengecualian dalam firman-Nya,” kecuali yang biasa nampak darinya,” adalah dari hukum yang sudah tetap  dengan cara isyarat yaitu adanya sangsi di Hari pembalasan, dan berarti maknanya adalah : Bahwa yang nampak darinya tanpa sengaja menampakannya seperti terbuka oleh angin, maka mereka tidak terkena sangsi dengannya di hari kemudian, dan sama dalam kategori hukum ini adalah apa yang mesti ditampakan dikala melakukan persaksian atau menjalani pengobatan, Ath Thabrani telah meriwayatkan begitu juga Al Hakim dan beliau menshahihkannya, Ibnu Al Mundzir dan Ulama lainnya dari Ibnu masud bahwa yang dimaksud dengan apa yang biasa nampak adalah pakaian dan jilbab, dan dalam satu riwayat adalah pakaian saja, dan begitu juga Al Imam Ahmad membatasi pada pakaian saja, dan penamaan pakaian dengan zinah (perhiasan) itu telah ada dalam Firman-Nya: خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ (pakailah pakaian yang indah di setiap (masuk) masjid,” Al A’raf :31 ) sesuai dalam kitab Al Bahr)[37]
Asy Syaikh Abu Hisyam Al Anshari : ( وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا ) Ini adalah ayat pertama dari tiga ayat sesuai susunan Al Qur’an, beberapa riwayat yang ada bisa dijadikan pendekatan bahwa ayat ini diturunkan sebelum ayat penguluran jilbab (Al Ahzab : 59), padahal riwayat-riwayat yang lain memberikan indikasi bahwa ayat itu diturunkan sesudah ayat penguluran, dan bagaimanapun juga  dua keadaan itu tetap masih bisa dibawa kepada makna yang shahih, oleh sebab itu kita tidak begitu penting membahasnya dari sisi ini.
Dan ayat ini memerintahkan wanita-wanita mu’minat agar menyembunyikan perhiasan (zinah) seluruhnya, sama saja baik  yang kita maksud dengan zinah di sini adalah zinah khalqiyyah (bawaan) seperti wajah, dua mata, hidung, dua bibir, rambut, dua pipi, dua telinga, dua pelipis dan anggota badan wanita lainnya, atau yang kita maksud adalah zinah muktasabah (perhiasan yang diusahakan) seperti gelang, cincin, semir, celak, fatkh, qulb, dumluj, anting-anting, iklil, pakaian yang terhiasi dan lain-lain, sesungguhnya ayat ini memerintahkan agar menyembunyikan seluruh perhiasan tanpa membedakan satu perhiasan dengan perhiasan yang lainnya,” kecuali yang biasa nampak darinya,”, sedangkan yang biasa nampak itu masih mubham (belum jelas) yang belum ditafsirkan oleh Al Kitab dan As Sunnah, bahkan membiarkannya dalam kemubhamannya, dan bangkitlah para sahabat dan para tabiin dan para ulama ahli tafsir menguak kemubhamannya, dan tak diragukan lagi bahwa bila mereka ijma atas sesuatu tentu sangat cukup dan memuaskan, serta tentu itu bisa menguak kemubhamannya dan pertentangan sekaligus, akan tetapi Allah menghendaki kemubhaman ini tidak terkuak sebagai rahmat terhadap umat ini, maka pendapat-pendapat mereka bertentangan dan bersebrangan sehingga hal itu berhak untuk kita biarkan pada keadaannya dan kita kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tatkala kita kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya ternyata kita dapatkan  kemubhaman ini tetap pada keadaannya, dan anda akan mengetahui bahwa tetapnya seperti itu adalah baik, dan marilah kita membahas satu sisi yang lain.
Sesungguhnya Allah U tatkala melarang menampakan perhiasan Dia menyandarkan pekerjaan kepada wanita, dan mendatangkan dengan fiil muta’addi, namun tatkala Dia mengecualikan Dia tidak mengatakan,” kecuali yang mereka tampakan darinya,” namun Dia mengatakan,” kecuali yang biasa nampak darinya,” Dia berpaling dari mempergunakan Fiil (kata kerja) muta’addiy kepada Fiil yang lazim dan tidak menyandarkannya kepada wanita, dan tuntutan ini bahwa wanita diperintahkan agar menutupi seluruh perhiasannya secara muthlaq, dan mereka tidak mempunyai keleluasaan sedikitpun dalam menampakan perhiasannya, ya ! sesungguhnya dia seandainya komitmen menutupi perhiasannya, dan membatasi diri dengannya, kemudian sebagian perhiasannya itu nampak tanpa kecerobohan dalam menutupinya dan tanpa  sengaja menampakannya, maka sesungguhnya dia tidak berhak dicela dan dikenakan sangsi nanti di sisi Allah U, inilah yang dipahami dari konteks ayat itu, dan inilah yang dimaksud dengan susunan kalimat.
Dan dari sinilah diketahui bahwa semua perhiasan yang memungkinkan bagi wanita untuk  menyembunyikannya maka dia diperintahkan untuk menyembunyikannya, sama saja apakah itu wajah, kedua telapak tangan, celak, cincin, kedua gelang, dan sesungguhnya dia bila melakukan taqshir (mengenteng-enteng) dalam menyembunyikan perhiasan seperti ini dan dia membukanya dengan sengaja maka dia dikenai dosa, dan bahwasannya semua perhiasan yang tidak mungkin menyembunyikannya – seperti pakaian luar umpamanya – atau mungkin menyembunyikannya namun perhiasan itu terbuka tanpa ada unsur kesengajaan si wanita untuk membukanya atau dia tidak merasa bahwa itu terbuka  maka dia tidak berdosa dan tidak pantas mendapatkan celaan, sebagaimana juga dia tidak berdosa dan tidak tercela bila membukanya secara sengaja untuk suatu keperluan, atau mashlahat yang memaksanya untuk membukanya, maka seolah-olah si wanita tidak secara langsung dan tidak sengaja membukanya namun kebutuhan dan mashlahatlah yang membukanya, oleh sebab itu dia tidak tercela, jadi firman-Nya U ,” kecuali yang biasa nampak darinya,” termasuk dalam makna firman-Nya,”Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kemampuannya,”

Kesimpulan bahwa zinah itu ada dua macam,  macam yang mungkin disembunyikan, maka wanita diperintahkan untuk menutupi zinah macam ini kapanpun dia berada, dan macam kedua adalah zinah yang tidak mungkin disembunyikan atau mungkin menyembunyikannya namun terkadang terbuka tanpa ada unsur kesengajaan si wanita untuk membukanya, atau ada kebutuhan yang mendesak wanita untuk menampakannya, maka zinah macam ini adalah yang dimaksud dengan firman-Nya U,” Yang biasa nampak darinya,” si wanita tidak terkena sangsi dosa karena sebab perhiasan (zinah) ini nampak. Dan tatkala zinah macam ini berbeda-beda sesuai keadaan, kebutuhan dan mashlahat dan tidak mungkin membatasinya dengan batasan tertentu yang tidak menerima kelebihan dan pengurangan maka Allah dan Rasul-nya membiarkannya pada kemubhamannya sebagai kemudahan bagi umat ini dan menjauhi dari menyulitkannya.
Dan hal itu diberi contoh dengan pakaian luar, atau anggota tubuh yang terbuka angin tanpa sengaja, memandang wanita yang dikhithbah sebelum menikahinya, atau wanita membuka sebagian anggota badannya dihadapan dokter untuk tujuan pengobatan, atau membuka wajah dan kedua telapak tangan di hadapan saksi, ini dan hal yang serupa merupakan keadaan yang memaksa wanita untuk membuka sebagian anggota tubuhnya yang harus ditutupi secara ijma, dan tidak ada dosa dan celaan atasnya dalam gambaran-gambaran itu, karena sesungguhnya itu semua perhiasan-perhiasan yang tampak tanpa ada unsur kehendaknya.
Nah dari sini jelaslah bahwa menentukan,” Yang biasa nampak darinya,” dengan wajah dan kedua telapak tangan, atau cincin dan kedua gelang atau celak dan semir dan lain-lain adalah tidak benar, tetapi yang benar adalah membiarkannya di atas kemubhaman dan keumumannya, dan bahwa hal itu mencakup seluruh badan wanita tergantung kebutuhan dan keadaan, dan sesungguhnya orang-orang yang membatasinya pada anggota tertentu telah jatuh dalam tafrith, namun di sisi lain mereka juga jatuh dalam ifrath (berlebih-lebihan) karena mereka membolehklan menampakan bagian badan ini secara muthlaq baik ada hajat yang mendesak untuk membukanya ataupun tidak, padahal Allah U tidak memberikan kebebasan kepada wanita untuk menampakan sedikitpun dari perhiasannya, namun hanya memberikan maaf kepada mereka atas sesuatu yang nampak dengan sendirinya dari perhiasan-perhiasan itu.
Dan bila telah jelas makna ayat tadi maka hendaklah pembaca yang budiman selalu ingat bahwa Firman-Nya,”Dan janganlah mereka menampakan,” adalah fi’il mudlari’ yang mengandung makna nahyu (larangan) sedang larangan itu menunjukan keharaman, dan bila larangan itu datang dengan bentuk mudlari maka menunjukan larangan yang sangat. Jadi ayat itu sangat jelas sekali menunjukan bahwa menampakan perhiasan itu adalah haram atas wanita, maka dari itu, ini adalah merupakan dalil wajibnya hijab dan bahwa sesungguhnya wajah dan kedua telapak tangan adalah termasuk di dalamnya.
Dan orang-orang yang berdalih dengan ayat ini atas bolehnya menampakan wajah dan kedua telapak tangan, sama sekali saya tidak melihat sedikitpun sesuatu yang memuaskan, namun yang mereka jadikan sandaran adalah pemalingan ayat dari maknanya yang manshush (jelas) kepada makna lain seraya berdalil dengan perkataan Ibnu Abbas t dan para sahabatnya, sedangkan perkataan Ibnu Abbas sendiri menolak apa yang mereka kemukakan. Itu dikarenakan Ibnu Abbas dan sejumlah murid-muridnya  menafsirkan penguluran jilbab (dalam surat Al Ahzab : 59 pent) dengan menutupi wajah, dan tidak samar bagi mereka bahwa sesungguhnya mereka menafsirkan perintah dari perintah-perintah Allah U, dan sesungguhnya perintah-Nya U adalah menunjukan suatu kewajiban, dan sesungguhnya Allah mewajibkan hal itu untuk membedakan antara wanita merdeka dengan budak, dan sangat tidak mungkin memalingkannya dari batas kewajiban kepada sekedar sunnah saja, karena sudah barang tentu tujuan yang dimaksud tersebut akan hilang. Apakah mungkin mereka (Ibnu Abbas dan murid-muridnya) mengeluarkan pernyataan yang kontradiksi, mereka mengatakan wajibnya menutup wajah dan sekaligus mengatakan boleh membukanya ? Sama sekali tidak mungkin,” namun bisa dijadikan pendekatan dari perkataan Ibnu Abbas bahwa beliau berpendapat bahwa boleh membukanya karena dlarurat, Ibnu Jarir telah meriwayatkan darinya dalam penafsiran Firman-Nya,” Dan janganlah mereka menampakan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa nampak darinya,” beliau berkata : Dan perhiasan yang biasa nampak adalah wajah, celak mata, semir telapak tangan, dan cincin, ini boleh dia tampakan di dalam rumahnya kepada orang yang masuk menemuinya (Tafsir Ibnu Jarir 18/83-84), Ibnu Abbas tidak memfatwakan bolehnya membuka wajah dan telapak tangan secara muthlaq, namun beliau hanya memfatwakan bolehnya membuka keduanya di hadapan orang yang masuk menemuinya ke dalam rumah, kemudian yang dimaksud dengan orang-orang yang masuk menemuinya bisa saja kerabat-kerabatnya yang bukan mahram seperti anak anak paman/bibinya dan seperti saudara suaminya, seperti mereka ini sering sekali masuk rumah, kemudian Ibnu Abbas memandang bahwa menutupi diri dari mereka mendatangkan masyaqqah dan kesulitan, dan beliau mengambil istinbath bolehnya menampakan wajah dan kedua telapak tangan di hadapan mereka dari firman-Nya,” kecuali apa yang biasa nampak darinya,” maka seolah-olah bukanlah si wanita yang menampakan perhiasannya di hadapan mereka namun masyaqqahlah yang menampakannya. Dan bisa juga yang di maksud dengan orang-orang yang masuk menemuinya adalah setiap orang yang masuk setelah mendapat izin, namun secara umum pembatasan membuka hanya di dalam rumah memberikan isyarat bahwa Ibnu Abbas memandang bahwa sibuknya perempuan dengan pekerjaan rumahnya tergolong kebutuhan yang membolehkan si wanita membuka wajahnya di hadapan orang-orang tadi, beliau memandang boleh hanya pada keadaan tertentu saja, dan ini memberikan indikasi tidak bolehnya di lakukan pada pada keadaan yang lain. Oleh sebab itu bandingkan pendapat Ibnu Abbas ini dengan pendapat orang-orang yang membolehkan sufur (membuka wajah), dan mereka mengklaim bahwa Ibnu Abbas adalah tokoh rujukan mereka dalam hal ini…[38][39]

Adapun Al ‘Allamah Al Qurani Muhammad Al Amin Asy Syinqithi, beliau berkata setelah menuturkan atsar-atsar ulama salaf dalam penafsiran firman-Nya U ,”kecuali yang biasa nampak darinya,”  : Dan saya telah melihat dalam uraian-uraian yang dituturkan dari salaf ini perkataan-perkataan para Ahlul Ilmi tentang zinah dhahirah dan bathinah, dan bahwasannya semua itu kembali secara umum kepada tiga pendapat sebagaimana yang telah kami sebutkan :
Pertama : Bahwa yang dimaksud dengan zinah (perhiasan) adalah sesuatu yang dengannya si wanita menghias diri di luar asal bentuk aslinya (Ashlul Khilqah) dan memandang perhiasan tersebut tidak memestikan bisa melihat sedikitpun dari badannya sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ud t dan yang sejalan dengan beliau : Sesungguhnya hal itu adalah pakaian luar, karena pakaian adalah perhiasan wanita di luar ashlul khilqah, dan pernyataan ini sangat jelas sekali karena adanya hukum dlarurat (menyembunyikannya,pent) sebagaiman yang anda lihat.
Dan pendapat ini adalah pendapat yang paling jelas menurut kami, dan lebih hati-hati serta lebih jauh dari sumber-sumber ribah (kecurigaan) dan dari sebab-sebab fitnah.
Pendapat kedua : Bahwa yang dimaksud dengan zinah (perhiasan) adalah sesuatu yang dengannya si wanita menghias diri dan di luar asal bentuk aslinya (Ashlul Khilqah juga, namun memandang perhiasan tersebut menyebabkan bisa melihat bagian badan si wanita, dan itu seperti semir, celak dan lain-lain, karena memandang perhiasan ini memestikan bisa melihat anggota badan yang dijadikan tempat perhiasan tersebut sebagaimana yang tidak samar lagi.
Pendapat ketiga : Bahwa yang dimaksud dengan zinah dhahirah tersebut adalah sebagian tubuh wanita yang merupakan ashlul khilqahnya berdasarkan perkataan orang yang mengatakan : Bahwa yang dimaksud apa yang biasa nampak darinya adalah wajah dan kedua telapak tangan- dan berdasarkan perkataan sebagian Ahlul Ilmi yang telah disebutkan.
Dan bila anda mengetahui hal ini maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kami telah menjelaskan dalam tarjamah Al Kitab Al Mubarak ini bahwa di antara bayan (penjelasan) yang terkandung di dalam Al Qur’an adalah adanya sebagian Ulama yang berpendapat suatu pendapat tentang (tafsir) suatu ayat, namun dalam ayat itu sendiri ada qarinah yang menunjukan ketidak shahihan pendapat tersebut[40], dan telah kami jelaskan juga dalam tarjamahnya bahwa di antara macam bayan yang dikandungnya yaitu bahwa pada umumnya di dalam Al Qur’an adalah adanya maksud makna tertentu dalam suatu lafadh, bila lafadh tertentu sering disebut berulang-ulang di dalam Al Qur’an, maka terbuktinya makna itu sebagai makna yang dimaksud dari lafadh ini secara umumnya(kebiasaannya) menunjukan bahwa makna itulah yang dimaksud dalam perselisihan ini, berdasarkan kebiasaan maksudnya dari lafadh tersebut di dalam Al Qur’an, dan kami dalam tarjamah itu telah menyebutkan beberapa contoh.[41]
Dan bila anda telah mengetahui ini maka ketahuilah bahwa dua macam bayan dari sekian macam bayan yang kami sebutkan dalam tarjamah Al Kitab Al Mubarak dan kami berikan baginya beberapa contoh, keduanya terdapat dalam ayat yang sedang kita kupas.
Adapun yang pertama : Maka penjelasannya : Bahwa perkataan orang yang mengatakan dalam makna,” Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” bahwa yang dimaksud dengan zinah (perhiasan) itu adalah wajah dan kedua telapak tangan umpamanya, telah ada di dalam ayat itu sendiri qarinah yang menunjukan tidak benarnya pendapat ini, yaitu bahwa zinah di dalam bahasa Arab adalah sesuatu yang dipakai oleh wanita untuk menghiasi dirinya yang merupakan hal di luar ashlul khilqahnya seperti perhiasan (cincin, gelang dll, pent) dan pakaian, maka penafsirkan zinah dengan sebagian tubuh wanita adalah bertentangan dengan makna yang jelas (dhahir), dan tidak boleh menafsirkan ayat itu dengan makna tersebut kecuali dengan adanya dalil yang wajib dijadikan rujukan, nah dengan ini anda bisa mengetahui bahwa pendapat orang yang mengatakan bahwa zinah dhahirah adalah wajah dan kedua telapak tangan merupakan pendapat yang bertentangan dengan dhahir makna lafadh ayat itu, dan itu merupakan qarinah yang menunjukan ketidakbenaran pendapat ini, oleh sebab itu tidak boleh lafadh ayat itu dibawa penafsirannya kepada pendapat seperti ini kecuali dengan dalil terpisah yang mewajibkan dijadikan rujukan.
Dan adapun macam bayan kedua yang telah disebutkan maka penjabarannya adalah sebagai berikut : Sesungguhnya lafadh zinah sering sekali disebutkan di dalam Al Qur’an dengan mengandung makna zinah kharijiyyah (perhiasan diluar) badan yang dihiasinya, dan tidak bermakna sebagian anggota tubuh yang dihiasinya, seperti Firman-Nya,” Hai anak Adam, pakailah pakaian kamu yang indah (zinah) di setiap memasuki mesjid,”[42]dan firman-Nya,” katakanlah :,”Siapakah yang mengharamkan perhiasan (zinah) dari Allah Yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hambanya,”[43]dan firman-Nya,” Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya(zinah),”[44]dan firman-Nya,” Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang,”[45] dan firman-Nya,”dan (Dia telah memciptakan) kuda, bighal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan,”[46]dan firman-Nya,”Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam (zinah) kemegahannya,”[47] dan firman-Nya,” Harta dan anak-anak adalah perhiasan(zinah)  kehidupan dunia,”[48]dan firman-Nya,”bahwa sesungguhnya kehidupam dunia itu hanyalah permainan, dan suatu yang melalaikan, perhiasan(zinah) …,”[49]dan firman-Nya,”Berkata Musa,” Waktu untuk pertemuan (kami dengan) kamu itu ialah di hari raya(zinah),”[50]dan firman-Nya tentang kaum Nabi Musa,”Tetapi kami disuruh membawa beban-beban dari (zinah) perhiasan kaum itu,”[51]dan firman-Nya,”Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui (zinah) perhiasan yang mereka sembunyikan,”[52]. Lafadh zinah di dalam ayat-ayat itu semuanya bermakna adalah segala sesuatu yang menghiasi sesuatu namun bukan bagian dari sesuatu itu sebagaimana yang bisa anda lihat, dan karena secara umumnya (ghalibnya) zinah di dalam Al Qur’an itu bermakna seperti tersebut di atas maka ini menunjukan bahwa lafadh zinah dalam masalah yang menjadi polemik itu (maksudnya dalam surat An Nur : 31, pent) adalah sama seperti makna di atas yang biasa dipakai secara sering di dalam Al Qur’an Al ‘Adzim, dan itulah yang sudah dikenal dikalangan orang Arab seperti perkataan penyair :
Mereka mengenakan perhiasannya (zinah) seindah yang bisa kau lihat
Dan bila mereka melepaskannya
Maka tetap mereka adalah sebaik-baiknya wanita yang tidak berperhiasan
 Nah dengan penjelasan ini maka anda bisa mengetahui bahwa penafsiran zinah di dalam ayat itu (An Nur : 31) dengan wajah dan kedua telapak tangan adalah perlu dikoreksi lagi.
Dan bila anda telah mengetahui bahwa yang dimaksud dengan zinah di dalam Al Qur’an adalah sesuatu yang dijadikan sebagai penghias dari hal yang bukan dari asal khilqahnya dan bahwa para ulama yang menafsirkannya dengan hal ini berbeda pendapat menjadi dua pendapat : Sebagian mengatakan : Ia adalah zinah yang tidak memestikan dengan melihatnya bisa memandang bagian tubuh wanita seperti pakaian luar, dan sebagian lagi mengatakan : Ia adalah zinah yang memestikan dengan melihatnya bisa melihat bagian tubuh wanita yang merupakan tempat zinah tersebut seperti celak, semir (khidlab) dan lain-lain.
Penulis –semoga Allah memaafkan dan mengampuninya- (maksudnya Asy Syinqithi, pent) berkata : pendapat yang paling jelas dari kedua pendapat tersebut menurut saya adalah pendapat Ibnu Mas’ud t yaitu bahwa zinah dhahirah adalah : Sesuatu yang tidak memestikan dengan melihatnya bisa memandang bagian tubuh wanita ajnabiyyah (yang bukan mahram), kami katakan bahwa pendapat ini adalah yang paling dhahir (jelas) karena sesungguhnya pendapat ini adalah pendapat yang paling hati-hati dan paling jauh dari sebab-sebab fitnah, serta lebih suci bagi hati laki-laki dan hati wanita, dan tidak diragukan lagi bahwa wajah wanita merupakan pokok keindahannya, dan memandangnya merupakan salah satu sebab fitnah terbesar dengannya sebagaimana yang sudah pada diketahui, dan itulah yang berjalan sesuai kaidah-kaidah syariat yang mulia, dan itu merupakan kesempurnaan penjagaan dan menjauhi dari terjerumus kedalam sesuatu yang tidak pantas terjadi.[53] 
Syaikh Abul A’la Al Maududi semoga Allah merahmatinya dengan rahmat yang luas berkata : Dan adapun firman-Nya,” Kecuali yang biasa nampak darinya,” penjelasan-penjelasan yang berbeda-beda di dalam kitab-kitab tafsir telah menjadikan mafhum ayat ini sangat tertutup dan tidak jelas, padahal sesungguhnya ayat ini sangat jelas sekali tidak ada kesamaran di dalamnya, maka bila dikatakan pada ungkapan pertama,”Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya,”yaitu janganlah mereka menampakan keindahan pakaian-pakaian, perhiasan,wajah-wajah, tangan-tangan dan anggota badan mereka yang lainnya. Dia mengecualikan dari hukum yang umum ini dengan kata,”kecuali,” dalam ungkapan,”yang biasa nampak darinya,” yaitu sesuatu yang nampak yang tidak mungkin menyembunyikannya atau perhiasan yang nampak dengan sendirinya tanpa ada maksud menampakannya, dan ungkapan ini menunjukan bahwa wanita tidak diperbolehkan sengaja menampakan perhiasan ini, hanyasannya apa yang nampak darinya tanpa ada unsur kesengajaan dari mereka- seperti bila jubahnya terterpa hembusan angin sehingga terbuka sebagian perhiasannya nampak umpamanya-atau sesuatu yang nampak dengan dengan sendirinya yang tidak mungkin bisa disembunyikan- seperti jubah (rida’) yang menjadi rangkap pakaian wanita, karena itu tidak mungkin disembunyikan dan rida’ ini yang menyebabkan bisa dipandang karena bagaimanapun pasti dikenakan  oleh wanita- maka dia (wanita) tidak terkena dosa dari Allah U.
Dan inilah makna yang dijelaskan oleh Abdullah Ibnu Masud, Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan Ibrahim An Nakha’i terhadap ayat ini, dan sebaliknya dari penafsiran ini sebagian ahli tafsir berkata : Sesungguhnya makna,”Kecuali yang biasa nampak darinya,” adalah apa yang ditampakan oleh orang sesuai adat kebiasaan yang berlaku, kemudian mereka memasukan di dalamnya wajah dan kedua telapak tangannya dengan semua hiasannya, yaitu menurut mereka wanita boleh menghiasi wajahnya dengan celak, lulur penghias, dan menghiasi tangannya dengan semir, cincin, dan gelang kemudian berjalan di hadapan orang-orang dengan sembari membuka wajah dan kedua telapak tangannya, dan makna inilah yang diriwayatkan (dengan sanad lemah, pent) dari Abdullah Ibnu Abbas t dan murid-muridnya[54], dan ini diambil oleh sejumlah besar pengikut madzhab Hanafi. Adapun kita sungguh tidak mampu memahami dengan berbagai kaidah-kaidah bahasa yang ada bahwa boleh jadi makna ,” Apa yang biasa nampak,” adalah apa yang ditampakan oleh manusia, karena perbedaan antara sesuatu yang nampak dengan sendirinya dengan apa yang sengaja ditampakan oleh manusia adalah sangat jelas sekali yang tidak seorangpun tidak mengetahuinya, dan dzahir dari ayat itu bahwa Al Qur’an melarang dari menampakan perhiasan dan memberikan rukhshah (keringanan) bila terbuka nampak tanpa ada unsur kesengajaan, maka terlalu membebaskan diri di dalam rukhshah ini sehingga sengaja menampakannya dengan sengaja adalah hal yang bertentangan dengan Al Qur’an dan bertentangan dengan riwayat-riwayat yang menetapkan bahwa wanita-wanita di zaman Nabi r tidak pernah mereka itu tampil di hadapan laki-laki lain dengan membuka wajahnya, dan bahwa perintah berhijab itu mencakup wajah, dan cadar itu telah menjadi bagian dari pakaian wanita kecuali di saat ihram. Dan sesuatu yang paling mengherankan adalah bahwa mereka yang membolehkan wanita membuka wajah dan kedua telapak tangannya kepada laki-laki lain berdalih atas hal itu dengan ungkapan bahwa wajah dan kedua telapak tangan itu bukan aurat, padahal sangat berbeda sekali antara hijab dengan menutup aurat. Aurat adalah sesuatu yang yang tidak boleh dibuka meskipun kepada laki-laki mahramnya, sedangkan hijab adalah lebih dari sekedar dari menutupi aurat, yaitu adalah sesuatu yang menghalangi/memisahkan antara wanita dengan laki-laki yang bukan mahramnya, dan sesungguhnya pokok pembahasan dalam ayat ini adalah hijab bukan menutupi aurat.[55]  [56]
Syaikh Abdul Aziz Ibnu Rasyid An Najdi rahimahullah berkata : Dan zinah wajah adalah zinah yang paling besar yang dimana wanita dilarang menampakan dan membukanya kepada laki-laki lain (ajnabiyy), sebagaimana laki-laki diperintahkan untuk menundukan pandangan darinya dan dari setiap yang haram, oleh sebab itu semua orang pasti memandang wajah wanita terlebih dahulu sebelum memandang yang lainnya karena Allah U  menjadikan padanya daya tarik tersendiri yang digandrungi semua orang dibandingkan zinah yang lainnya. Dan Allah U tidak mengkhithabi manusia kecuali dengan sesuatu yang mereka dipahami dengan fithrahnya, dan dengan sesuatu yang telah menjadi kebiasaan mereka serta dengan sesuatu yang sesuai dengan bahasa mereka. Dan bukan sesuatu yang masuk akal, dan juga bukan termasuk hikmah Allah U dan agamanya yang diturunkannya sebagai rahmat, hidayah, penjaga kehormatan dan sifat-sifat mulia serta melindunginya dengan mengharamkan zina dan wasilah-wasilahnya dan mengkeraskan hukumannya, namun kemudian Dia membolehkan bagi wanita-wanita untuk membuka wajahnya di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya, mereka menampakannya dan tabarruj (dengannya) di jalanan. Tak ragu lagi ini merupakan penyeru terbesar untuk berbuat zina dan sebab-sebabnya, perusakan kehormatan, dan bahaya buat laki-laki yang difithrahkan menyukai keanggunan dan kecantikan wajah wanita, serta menyebabkan berlebih-lebihan dalam menetapkan mahar karenanya..[57]
Syaikh Muhammad Ibnu Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata : Sesungguhnya Allah U melarang menampakan perhiasan secara muthlaq kecuali yang biasa nampak darinya, yaitu yang mesti nampak seperti pakaian luar, dan oleh sebab itu Dia berfirman,” kecuali yang biasa nampak darinya,” dan tidak mengatakan : kecuali yang mereka tampakan darinya,” kemudian Dia melarang sekali lagi dari menampakan zinah kecuali kepada orang yang dikecualikan, berarti ini menunjukan bahwa zinah yang pertama berbeda dengan zinah yang kedua, zinah yang pertama adalah zinah dhahirah yang nampak bagi setiap orang dan tidak mungkin disembunyikannya, dan zinah yang kedua adalah zinah bathinah (yang tertutup) yang dengannya mereka menghiasi dirinya, dan seandainya zinah ini boleh (ditampakan) kepada setiap orang tentu ta’mim (pemberian sifat umum) dalam (zinah) yang pertama dan pengecualian dalam yang kedua tidak merupakan faidah yang ma’lumah.
4- sesungguhnya Allah U memberikan keringanan untuk menampakan zinah bathinah kepada pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan kepada wanita, dan kepada anak kecil yang belum memiliki syahwat dan belum mengerti mengenai aurat wanita, maka ini menunjukan kepada dua hal :
Pertama : Bahwa memperlihatkan zinah bathinah ini tidak halal kepada semua orang yang bukan mahram kecuali kepada dua kelompok orang ini saja.
Kedua  : Bahwa illat (alasan) dan ruang lingkup hukum adalah kekhawatiran akan fitnah akibat perempuan dan keterkaitan hati dengannya, dan tidak ragu lagi bahwa wajah adalah pokok kecantikan dan sumber fitnah tersebut maka menutupinya adalah wajib agar laki-laki yang masih memiliki hasrat terhadap wanita tidak terfitnah dengannya.[58]  
Syaikh Abu Bakar Al Jazairi hafidzahullah berkata : Firman-Nya U,”Dan katakanlah kepada wanita yang beriman,” Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka……..,”
Sesungguhnya dilalah ayat ini terhadapa hijab adalah sangat kuat sekali, karena ayat ini mengandung perintah menundukan pandangan dan menjaga kemaluan, sedangkan menjaga kemaluan itu tidak mungkin bisa terlaksana kecuali dengan menundukan pandangan, dan menundukan pandangan itu tidak  bisa terlaksan kecuali dengan adanya hijab yang sempurna. Dan telah lalu dalam pembahasan ini bahwa  menundukan pandangan itu bisa terlaksana dengan salah satu dari dua hal, dan kedua hal ini diperintahkan bila tidak ada ikhtilath (campur baur laki-laki dengan wanita), atau dengan adanya ikhtilath maka hal itu tidak bisa terlaksana, dan sangat sulit sekali bagi mumin dan muminah untuk mentaati Rabnya dalam keadaan (ikhtilath) seperti itu, nah dari sinilah diketahui bahwa makna kata hijab itu bukanlah seorang wanita menutupi kecantikannya  saja, namun makna yang haq darinya adalah adanya penghalang dan pembatas yang bisa mencegah campur baurnya laki-laki dengan wanita dan wanita dengan laki-laki, nah dalam keadaan seperti inilah menjaga pandangan dan kemaluan bisa terlaksana. Dan dikarenakan terkadang ada keperluan yang sangat penting yang mengharuskan wanita keluar dari rumahnya, maka Allah U  mengizinkannya keluar, namun tanpa menampakan perhiasannya, bahkan dia harus menutupinya kecuali yang memang diperlukan terbuka seperti mata untuk melihat jalan, atau telapak tangan untuk mengambil sesuatu, atau pakaian yang dia kenakan. Dan inilah makna pengecualian di dalam ayat ini,”kecuali yang biasa nampak darinya,” dan dengan ini banyak ulama dari kalangan shahabat dan tabi’in serta orang-orang yang sesudah mereka menafsirkannya.



[1] Tahqiqnya akan datang nanti.
[2] Tafsir Ath Thabari 18/119.
[3] As Sunan Al Kubra 2/182-183, 7/86.
[4] Tahdzib Al Kamal 7/663.
[5] Mizanul I’tidal 4/106.
[6] As Sunan Al Kubra 2/225, 7/852, Dan Syaikh Manshur  Ibnu Idris Al Bahutiy rahimahullah berkata : وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا  (dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya) Ibnu Abbas dan Aisyah berkata : Wajah dan kedua telapak tangannya, diriwayatkan oleh Al Baihaqi, dan dalam sanadnya ada kelemahan, dan ini berlawanan dengan Ibnu Masud. Dari Kitab kasyful Qina’ 1/243.
[7] Mizan Al ‘Itidal 1/112-113.
[8] Taqrib At Tahdzib 1/19.

[9] Mizan Al ‘Itidal 2/503.
[10] Taqrib At Tahdzib 1/450.
[11] Tafsir At Tabari 18/119, dan telah diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dan Al Hakim dari jalannya, dan beliau berkata : Ini hadits shahih sesuai syarat Muslim, dan ini tidak dikeluarkan oleh Al Bukhari dan Muslim, dan disetujui oleh Adz Dzahabi dalam At Talkhish.
[12] Tafsir Al Qur’an Al ‘Adzim 2/283.
[13] Ad Durr Al Mantsur 5/42.
[14] Lihat contohnya fathul bari 8/207,228,265.
[15] Tahdzib At Tahdzib 7/340.
[16] Tahdzib Al Kamal 7/340.
[17] Mahasin At Ta’wil 4/4909.
[18] Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an 14/243.
[19] Risalatul Hijab Fil Kitab Was Sunnah 21-26.
[20] Hijabul Mar’ah Wa Libasuha Fish Shalah 13-17. Majmu fatawa 22/110,dan dari uraian ini jelaslah bahwa Syaikhul Islam berpendapat adanya nasakh (penghapusan hukum) dalam periode-periode pensyari’atan hijab, beliau rahimahullah berkata : Dan sebaliknya hal itu wajah, kedua kaki dan kedua telapak kaki maka wanita tidak boleh menampakannya kepada laki-laki lain menurut pendapat yang paling shahih, ini berbeda dengan keadaan sebelum terjadi nasakh, tetapi (sekarang setelah terjadi nasakh) dia tidak boleh menampakan kecuali pakaian saja,” Dan beliau rahimahullah berkata lagi : Dan adapun wajahnya, kedua tangannya dan kedua telapak kakinya maka dia hanya dilarang menampakannya kepada laki-laki yang bukan mahramnya, dan dia tidak dilarang menampakannya kepada sesama wanita dan laki-laki mahramnya. Dari Majmu Fatawa 22/117-118.
[21] Risalatul Hijab Was Sufur 19.
[22] Zadul Masir 6/31.
[23] Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an 12/229.
[24]Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an 12/229.
[25] Istidlal Al Imam Al Qurthubi ini dikomentari oleh Al Albani dengan perkatannya : saya berkata : Dan  komentar ini perlu ditinjau juga, karena meskipun biasanya wajah dan kedua telapak tangan itu nampak dari sisi hukum kenyataan, maka sesungguhnya itu terjadi karena ada unsur kesengajaan dari mukallaf, sedangkan ayat sesuai apa yang kami pahami hanya memberikan faidah pengecualian sesuatu yang nampak tanpa ada unsur kesengajaan, maka mana mungkin menjadikannya sebagai dalil yang mencakup sesuatu yang nampak dengan unsur kesengajaan ? maka perhatikanlah dengan cermat…. Dari Kitab Hijab Al Mar’ah Al Muslimah 24.
[26] Lihat jawabannya nanti pada pembahasan selanjutnya.
[27] Ini sebanding dengan firman-Nya,” maka dalam rahmat Allah mereka kekal di dalamnya,” dan yang dimaksud dengan rahmat di sini adalah surga, karena dia adalah tempat rahmat, begitu juga firman-Nya,” janganlah kalian mendekati shalat sedang kalian dalam keadaan mabuk,” dan yang dimaksud dengannya adalah tempat-tempat shalat, Az Zamakhsyari berkata : dan menyebutkan perhiasan tanpa menyebut tempatnya adalah untuk tujuan penekanan dalam perintah menutupi, karena sesungguhnya Dia tidak melarang menampakan zinah itu kecuali karena zinah tersebut ada pada tempat (anggota badan) itu, oleh sebab itu menampakan tempat itu sendirinya termasuk yang dilarang dan haram dinampakan lebih duluan.
[28] ‘Inayatul Qadli wa Kifayatul Ar Radli 6/373.
[29] At Tashil Li Ulumit Tanzil 3/64.
[30] Tafsir Al Qur’an Al Adhim 6/46-47.
Syaikh Al Anshari berkata ketika mengomentari perkataan Ibnu Katsir rahimahullah ini : Dan maksudnya bahwa di dalamnya ada dilalah yang menunjukan bahwa menutup seluruh tubuh telah menjadi bagian agama yang dilakukan oleh wanita para shahabat, para tabiin dan wanita kaum muslimin. Inilah Rasulullah r ketika ayat hijab telah diturunkan kepadanya beliau langsung mengajarkannya, dan mengajarkan tafsirnya serta hikmahnya, dan inilah mereka para shahabat dari kalangan muhajirin dan anshar mempelajari ayat-ayat  ini beserta tafsirnya, kemudian mereka kembali ke rumahnya dan terus mengajarkannya kepada ister-isterinya, puteri-puterinya, saudari-saudarinya, dan wanita-wanita yang ada di rumahnya. Dan inilah para shahabiyyat yang suci mereka mendengar dan mempelajari ayat ini dari Rasulullah r atau dari orang yang mempelajarinya dari Rasulullah r, kemudian mereka langsung merobek kain tebal yang mereka miliki dan menutupi wajahnya, dan mereka menjadikan niqab (cadar) sebagai bagian pakaian mereka, dan inilah yang telah menjadi bagian kebiasaan agama wanita wanita arab dan wanita kaum muslimin seluruhnya, bukan pada zaman Rasulullah r, para shahabat, dan tabiin saja, bahkan Al Imam Asy Syaukani menghikayatkan dari Ibnu Ruslan kesepakatan kaum muslimin atas terlarangnya wanita keluar dengan membuka wajahnya apalagi  di kala banyaknya orang-orang fasik (Nailulul Authar 6/245). Dan apa yang dilakukan oleh mereka dan isteri mereka ini bukan sekedar inisiatif dari mereka dan bukan pula pengharusan dari mereka sendiri  dengan sesuatu yang  tidak diharuskan oleh Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana yang diklaim oleh orang yang mengklaim, namun mereka melakukan semua itu –sebagaimana yang dikabarkan oleh Ash Shiddiqah (Aisyah) Bintu Ash Shiddiq (Abu Bakar)- sebagai rasa iman mereka terhadap kitab Allah dan  pembenaran tanzilnya, dan sebagai bentuk realisasi terhadap perintah Allah serta menjauhi larangan-Nya. Dan tidak samar lagi bagi mereka bahwa perintah-perintah Allah (asalanya) menunjukan kewajiban dan larangan-larangan-Nya menunjukan keharaman, dan sesungguhnya isteri-isteri mereka dengan menutup wajah-wajahnya itu adalah melaksanakan perintah berhijab dan perintah penguluran jilbab, dan menghindari dari menampakan perhiasannya, dan mereka itu (para wanita masa salaf) merupakan  para wanita yang mencerminkan masyarakat yang diinginkan Allah kemudian  Rasul-Nya ingin menegakkannya, dan setelah penjelasan ini semua saya tidak tahu bagaimana ada orang yang meragukan wajibnya menutup muka dan haramnya menampakannya ? Dan apa dan siapa orangnya yang bisa dijadikan pegangan setelah Allah, Rasul-Nya, dan para shahabat serta kaum mu’minin ? Dari majallah Al Jami’ah As Salafiyyah.
[31] Tafsir Al Jalalain 2/54.
[32] Al Khajandi menukulnya dalam Hablu Asy Syar’il Hakim 234.
[33] Al Furu’ 1/601.
[34] Faidl Bari 4/24.
[35] Lihat juga kitab yang sama 4/308 dan akan datang jawaban atas hadits Fadl nanti Insya Allah Ta’ala.

[36] Syaikh Muhammad shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata : Sesungguhnya Allah U memerintahkan kaum mu’minat agar menjaga kemaluannya, sedangkan perintah menjaga kemaluan merupakan perintah untuk menjaganya dan menjaga segala sesuatu yang menjadi wasilah kepadanya, dan orang yang berakal tidak meragukan lagi bahwa salah satu sarana (wasilah) untuk menjaganya adalah menutupi wajah, karena membukanya merupakan sebab untuk melihatnya, mengamati kecantikan, dan menikmatinya, dan yang berikutnya adalah menjalin hubungan dan menghubunginya, sedangkan dalam hadits,” Kedua mata itu zina, dan zinanya adalah memandang,” sampai sabdanya r ,” Dan kemaluan mengiyakan atau mendustakannya,” maka bila menutupi wajah merupakan salah satu sarana menjaga kemaluan maka pasti sekali menutupi wajah itu diperintahkan, karena sarana itu hukumnya sama dengan tujuan….Dari Risalah Hijab : 6.
[37] Ruhul Ma’ani 8/141.
[38] Majallatul Jami’ah As Salafiyyah, Mei, Juni 1978 M.
[39] Namun yang lebih nampak yang dimaksud oleh Ibnu Abbas dengan orang-orang yang masuk menemuinya (wanita) adalah kerabat-kerabat yang merupakan mahram baginya karena merekalah orang yang boleh masuk menemui wanita secara langsung, adapun laki-laki lain yang bukan mahramnya maka kita sudah mengetahui banyak sekali hadits-hadits yang melarang mereka masuk menemui perempuan diantaranya sabda beliau r dalam hadits shahih yang sudah masyhur ,” Janganlah kalian masuk menemui wanita,” seorang laki-laki berkata : Bagaimana pendapat engkau tentang kerabat suami ? Rasulullah r menjawab,” Kerabat suami adalah bencana,”..berarti orang yang merupakan mahram wanitalah yang hanya boleh melihat wajah dan telapak tangan itu….(pent)
[40] Adlwaul Bayan 1/10-12.
[41] Ibid 1/15-16
[42] Al ‘Araf : 31.
[43] Al ‘Araf : 32.
[44] Al Qashash : 60.
[45] Ash Shaffat : 6.
[46] An Nahl : 8.
[47] Al Qashash : 79.
[48] Al Kahfi : 46.
[49] Al Hadid : 20.
[50] Thaha : 59.
[51] Thaha : 87.
[52] An Nur : 31.
[53] Lihat Adlwa Al Bayan : 6/192-202.
[54] Telah dijelaskan bahwa riwayat yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas itu adalah lemah sekali, bahkan bertentangan dengan penafsiran beliau sendiri yang lebih kuat dalam tafsir surat Al Ahzab : 59, namun sebagian orang berusaha untuk menjadikan kuat riwayat yang lemah tersebut (pent).
[55] Tafsir Surat An Nur, hal : 157-158.
[56] Dan di antar bukti bahwa hijab dengan menutupi aurat itu berbeda adalah kewajiban wanita bila hendak keluar rumah atau ada laki-laki yang bukan mahram dia harus mengenakan jilbab (jubah) sebagai penutup baju kurungnya dan khimarnya (kerudung) kalau seandainya perintah itu hanya sekedar menutupi aurat buat apa dia diperintahkan mengenakan jilbab sebagai rangkap pakaian tadi di dalam surat Al Ahzab :59.(pent)
[57] Taisur Wahyain 1/142-143.
[58] Risalatul Hijab :8-9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar