Sobat Sobat SenjuJasrizal.blogspot.com yang baik hati,,, TERIMA KASIH TELAH MENGUNJUNGI BLOG INI... mohon maaf atas segala kekurangan, mudah-mudahan bermanfaat dan dapat sobat2ku mengambil hikmah didalamnya....^_^

Minggu, 23 Desember 2012

Dalil-Dalil Tentang Wajibnya Hijab 4


·         Perkataan Al ‘Allamah Abu Hisyam Abdullah Al Anshariy dalam penafsiran ayat penguluran.
Beliau rangkum perkataannya itu dalam sebuah pembahasan yang sangat berharga : (Ibrazul Haq Wash Shawab Fi Mas’alatis Sufur Wal Hijab) yang diterbitkan oleh Majallah Al Jami’ah As Salafiyyah di India yang beliau tulis dalam rangka membantah tulisan Doktor Muhammad Taqiyyuddin Al Hilaliy- rahimahullah- dengan judul : Al Isfar ‘Anil Haq Fi Mas’alatis Sufur Wal Hijab,, Dan saya akan menguraikannnya dengan keseluruhan, karena mengandung faidah yang agung, beliau hafidhahullah berkata :
( Dan ayat ini adalah penyempurna dan penjelas ayat bagi ayat hijab, itu dikarenakan sesungguhnya ayat hijab diuraikan dalam rangka menjelaskan hukum-hukum rumah, karena Allah U memulai khithabnya dengan firman-Nya,”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memauki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan,” dan dalam konteks ini Dia memerintahkan agar berhijab dengan firman-Nya,”Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari balik tabir ,” maka para sahabat mengetahui dari penjelasan ini bahwa mereka tidak boleh masuk ke dalam rumah-rumah beliau, atau berdiri diam di depan pintunya di saat mereka membutuhkan untuk meminta sesuatu, namun mereka harus memintanya dari balik sesuatu yang dinamakan hijab, baik berupa tembok atau pintu, atau tabir yang dipasang, nah dari sinilah timbul pertanyaan lain, yaitu apa yang mereka lakukan ? atau apa yang dilakukan wanita bila ingin keluar rumah ? Maka Allah U menurunkan ayat ini, dan memerintahkan para wanita agar mengulurkan jilbab-jilbannya ke seluruh tubuh mereka, dan dengan ini sempurnalah perintah hijab dalam dua keadaan, di saat keluar rumah dan di saat berada di dalam rumah.
Dan ayat  yang mulia ini menuntut pengamatan dan pemikiran yang diulang-ulang dari beberapa sisi :
Pertama : Sesungguhnya Allah U  tidak mengatakan yatajalbabna (berjilbablah) namun Dia hanya mengatakan yudniina (mengulurkan), dan sudah maklum bahwa mengulurkan itu bukanlah berjilbab, namun dia itu lebih dari sekedar berjilbab, maka realisasi dari perintah ini tidak terlaksana dengan sekadar berjilbab, namun harus melakukan sesuatu yang lebih darinya yang dengannya penafsiran kalimat idnaa (penguluran) itu benar.

Kedua : Sesungguhnya
penguluran itu tidaklah dikatakan pada pemakaian baju, kemudian dia juga tidak muta’addi (memerlukan obyek) dengan huruf ‘alaa, namun muta’addi dengan lam, min, dan ilaa, maka pemerluan obyeknya dengan ‘alaa di sini dikarenakan idnaa tersebut mengandung makna kata kerja lain, yaitu irkhaa (menguraikan/mengulurkan), sedangkan irkhaa ini terlaksana bila dilakukan dari atas, sehingga maknanya adalah : Hendaklah mereka mengulurkan bagian dari jilbab-jilbabnya dari atas kepala-kepala mereka kepada wajah-wajah mereka. Adapun perkataan kami : kepada wajah-wajah mereka,” kami ambil dikarenakan jilbab itu di saat diulurkan pasti mengenai anggota badan, dan sudah diketahui secara langsung bahwa anggota badan yang dimaksud tidak lain  kecuali wajah, dan adapun hanya pada kening saja, maka sudah maklum bahwa kadar kecil dari penempelan pakaian ini tidak dinamakan penguluran, dan makna ini dikuatkan (yaitu bahwa yang dimaksud dengan idnaa adalah penguluran/penguraian bukan sekedar berjilbab) juga, bahwa Allah U mendatangkan dengan kata min yang memiliki arti sebagian sebelum kata jalaabib, maka tuntutannya adalah bahwa penguluran ini terlaksana dengan sebagian jilbab di samping bahwa berjilbab itu dikatakan bagi semua cara mengenakan jilbab itu.



Ketiga  : Sesungguhnya dhamir pada kalimat yudniina kembali pada tiga kelompok wanita seluruhnya : isteri-isteri Nabi r, puteri-puterinya, dan wanita-wanita orang-orang yang beriman. Sedangkan para ulama sudah berijma bahwa menutupi wajah dan kedua telapak tangan adalah hal yang diwajibkan atas isteri-isteri Nabi r, maka bila kata kerja ini (maksudnya yudniina) menunjukan akan wajibnya menutup wajah dan kedua telapak tangan bagi satu kelompok dari yang tiga itu, maka kenapa kata kerja yang sama tersebut tidak menujukan akan kewajiban yang sama bagi kedua kelompok yang lainnya ?!.

Keempat : Sesungguhnya Allah U memerintahkan Ummahatul Mu’minin agar menutupi diri secara sempurna dalam ayat hijab, dan sama sekali tidak mengecualikan sedikitpun dari anggota tubuhnya, maka seandainya yang dimaksud dengan idnaaul jilbab itu adalah menutupi kepala tanpa mencakup wajah dan kedua telapak tangan, tentu firman Allah U itu adalah sia-sia bagi hak Ummahatul Mu’minin, karena termasuk suatu yang sangat aneh adalah  bila diperintahkan awalnya agar menutupi diri secara sempurna hingga wajah dan kedua telapak tangan kemudian (setelah itu) diperintahkan agar menutupi kepalanya saja dengan status ayat pertama tetap muhkamah tidak dinasakh, ooh sungguh heran…apa perlunya diperintahkan menutupi kepala setelah diperintahkan menutupi seluruh anggota badan?!

Kelima : Sesungguhnya metode-metode para perawi- meskipun berbeda-beda dalam menjelaskan sebab nuzul ayat ini- namun mereka sepakat bahwa diantara tujuan perintah ini adalah membedakan antara wanita-wanita merdeka dari wanita-wanita budak dengan pakaian tertentu, maka kewajiban kita adalah kembali dalam memahami hal itu kepada kebiasaan-kebiasaan orang-orang Arab pada saat itu dan sebelumnya. Dan nampak dari syair-syair para penyair zaman Jahiliyyah bahwa wanita-wanita merdeka dan wanita-wanita terhormat, mereka itu menutupi wajahnya juga pada zana jahiliyyah, dan hijab wajah ini –meskipun tidak menyeluruh-namun dia itu merupakan pakaian pembeda antara wanita merdeka dengan budak.

Kemudian beliau menuturkan beberapa syawahid syi’riyyah untuk menguatkan bahwa menutupi wajah dan membukanya merupakan pembeda atara wanita merdeka dengan wanita budak pada zaman jahiliyyah, hingga beliau hafidhahullah kemudian mengatakan :

Dan setelah mengetahui dengan cukup tentang kebiasaan wanita-wanita zaman jahiliyyah, maka mudah sekali bagi kita memahami makna ayat itu, dan sesungguhnya Allah U memerintahkan wanita-wanita mu’minat agar komitmen dengan pakaian yang sudah mereka ketahui bahwa itu adalah pakaian wanita merdeka, dan bukan pakaian budak, dan sudah diketahui bahwa pakaian itu adalah menutupi wajah dengan jilbab.

Keenam : Sesungguhnya riwayat-riwayat yang ada tentang sebab nuzul ayat ini, ada yang bersifat diam tidak menjelaskan tentang pakaian yang membedakan antara wanita merdeka dengan wanita budak, dan ada yang sharih (jelas) lagi pasti tentang sifat pakaian itu. Adapun riwayat yang menjelaskan dengan terang akan pakaian  itu adalah atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dari Muhammad Ibnu Ka’ab Al Quradhzi, berkata : Ada seorang laki-laki dari kalangan munafiqin selalu mengganggu wanita-wanita kaum muslimin, bila diomongin, dia malah mengatakan : Oh Saya kira dia itu budak,” Maka Allah mmemerintahkan para wanita agar berbeda dengan pakaian budak, dan mengulurkan jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuhnya, sehingga menutupi wajahnya kecuali satu mata, Dia berfirman,”Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, sehingga mereka tidak diganggu,” Dia berkata : Itu memudahkan agar mereka lebih dikenal.[1]
Dan ada riwayat yang dekat maknanya dengan riwayat tersebut yaitu riwayat Ibnu Jarir, dan telah dinukil oleh Fadlilatud Doktor Al Hilaliy, di dalamnya ada penafsiran kalimat yudniina dengan yataqanna’na, sedangkan taqannu’ biasa diartikan dengan menutupi wajah, dan darinya ada yang dinamakan Muqanna’ Al Kindiy, dia dinamakan Muqanna’ karena tidak keluar dari rumahnya kecuali dengan mengenakan penutup pada wajahnya.[2]
Dan di antaranya adalah apa yang dikatakan oleh Ahmad Ibnu Abi Ya’qub dalam Tarikhnya : Dan orang-orang Arab dahulu biasa datang ke pasar Ukadh dengan mengenakan purdah pada wajah-wajah mereka, terus dikatakan : Sesungguhnya orang Arab pertama yang membuka penutup mukanya adalah Dharif Ibnu Ghanm Al ‘Anbariy[3]
Dan diantaranya sebuah peribahasa : Dia menanggalkan penutup malu dari wajahnya.
Riwayat-riwayat yang menjelaskan sebab nuzul ini dengan terang juga menegaskan  bahwa pembeda antara budak dengan wanita merdeka adalah hanya terletak pada penutupan dan pembukaan wajah. Dan adapun istidlal mereka dengan apa yang sudah masyhur di dalam kitab-kitab Fiqh, yaitu bahwa budak itu tidak menutupi kepalanya, maka argument ini tidak benar sama sekali, pertama : Karena Allah U  hanya mengembalikan kaum muslimin pada kebiasaan-kebiasaan yang sebelumnya sudah ada di kalangan masyarakat orang-orang Arab, dan tidak mengembalikannya kepada yang sudah masyhur dan baku dalam syariat ini, karena apa yang baku dan berlaku pada syariat ini belum tetap kecuali setelah turun ayat ini. Kedua : karena membuka wajah kepala bagi wanita budak itu bukanlah masalah yang disepakati.[4]
Dan adapun apa yang dikatakan oleh bapak Doktor bahwa Umar t pernah memukul budak-budak wanita karena sebab menutupi kepalanya, sungguh ini tidak benar, namun yang benar adalah bahwa beliau memukul mereka karena sebab mereka menutupi wajah, coba simaklah lafadh riwayatnya : Anas berkata : Seorang budak lewat di depan Umar dengan mengenakan niqab, maka beliau mengancamnya dengan tongkat, dan berkata : Ya Lakka’, kalian menyerupai wanita-wanita merdeka ? lemparkan penutup itu.[5]
Dan anehnya bapak Doktor, bagaimana ridla berdalil dengan atsar itu akan bolehnya membuka wajah bagi wanita merdeka?!

Ketujuh : Sesungguhnya kita seandainya menerima – dalam rangka mengandai-andai mengikuti apa yang dikatakannya- bahwa sekedar menutupi kepala itu cukup untuk membedakan wanita medeka dari budak, maka tidak diragukan lagi bahwa menutupi wajah beserta menutupi kepala adalah lebih utama dalam memberikan perbedaan, dan dalam memenuhi tujuan ini, terus sebab turun ayat ini seandainya benar apa yang dipahami bapak Doktor darinya, hal itu tidak memestikan penafian penutupan kepala dan juga tidak menafikan kewajibannya.

Kedelapan : Sesungguhnya sebab nuzul ayat itu menerangkan dengan tegas bahwa Allah U dengan perintah mengulurkan jilbab itu menolak satu kerusakan dari banyak kerusakan, yaitu gangguan terhadap wanita, namun masih ada kerusakan-kerusakan lain yang lebih besar darinya, yaitu bahwa seorang wanita - meskipun dia itu rusak - bila ada laki-laki yang menganggunya di jalan dengan rayuan gombal, atau dengan pelontaran ucapan-ucapan tertentu, rasa harga dirinya dan ghirahnya memberontak dan dia langsung marah, kecuali wanita yang sudah terlalu kadung bejat dan amburadul tak bermoral, jarang sekali laki-laki itu berhasil dalam mencapai maksudnya dengan godaan seperti ini, dan ia tidak memetik dari perbuatannya kecuali kehinaan dan kecut. Namun bila wanita itu keluar dengan wajah terbuka, maka tidak diragukan lagi pandangannya akan beradu dengan pandangan laki-laki, dan sudah merupakan hal yang dikenal umum bahwa pertemuan dua pandangan itu akan membuahkan ketertarikan di dalam dua hati itu, sulit yang satu sabar dari yang lainnya, dan akhirnya salah satunya menjadi santapan bagi yang satu lagi dengan sangat mudah, oleh sebab itu ada atsar,”Bahwa pandangan itu adalah salah satu panah dari panah-panah Iblis yang beracun,”[6] seorang penyair berkata :
Semua kejadian bermula dari pandangan
Dan umumnya api berasal dari percikan api
Dan yang lain berkata :
Mereka (wanita) menaklukan laki-laki berakal hingga tidak bisa berkutik
Padahal mereka itu adalah makhluk Allah yang paling lemah yang berbentuk manusia.
Kerusakan-kerusakan ini bukanlah sekedar khayalan atau perkiraan belaka, namun semua masyarakat manusia di alam ini telah tertimpa dengannya, dan semua itu adalah akibat dari barakah sufur (membuka wajah)ini.
Bula di sana ada banyak kerusakan lain di samping kerusakan yang untuk menolaknya ayat itu diturunkan, maka apakah termasuk hikmah Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui yang mengetahui mata-mata yang berkhianat, apa yang disembunyikan oleh dada, dan apa yang berkembangkan di masyarakat dengan sebab sufur, apakah tergolong kebijaksanaan-Nya bila Dia menjauhkan dari satu kerusakan kecil dan membiarkan kerusakan-kerusakan lain yang besar dengan pintu terbuka lebar padahal hal itu termasuk jenis kerusakan bahkan lebih dasyat ? Maka yang benar adalah bahwa satu kerusakan kecil – yaitu adanya gangguan terhadap wanita – tatkala nampak dan menuntut untuk adanya satu perintah dari perintah-perintah Allah yang dengannya pintu kerusakan itu bisa tertutup, maka Allah memerintahkan satu perintah yang dengannya cukup untuk menutup pintu kerusakan ini, dan untuk menutupi pintu-pintu kerusakan-kerusakan lain yang lebih besar dari kerusakan tadi, maka Dia memerintahkan agar menutup kepala dan wajah sehingga jalan-jalan itu terputus.
Dan mungkin ada orang yang berkata : Sesungguhnya perintah itu bila ternyata seperti itu, maka kenapa Allah U  tidak mengingatkan terhadap tujuan-tujuan yang mulia yang tersembunyi dibalik perintah ini ?. Dia membatasi pada isyarat terhadap tujuan-tujuan itu di dalam ayat hijab dengan firman-Nya,” Yang demikian itu adalah lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka,” sehingga tidak memerlukan pengulangan, ooh sungguh kalimat yang simpel yang idak membiarkan hal yang kecil maupun yang besar dari tujuan-tujuan masalah ini melainkan telah memasukannya dalam lipatannya, kemudian sesungguhnya firman-Nya,” yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karenanya mereka tidak diganggu,” mengisyaratkan kepada tujuan-tujuan ini juga, Ar Raziy berkata : (Dikatakan : mereka dikenal bahwa mereka iu adalah wanita merdeka sehingga tidak diikuti dengan gangguan, dan mungkin dikatakan : Maksudnya mereka tu tidak berzina, karena wanita yang menutupi wajahnya padahal bukan aurat, dia itu tidak diharapkan membuka auratnya)[7]

Kesembilan : Sesungguhnya amalan Ummahatul mu’minin dan amalan wanita kaum muslimin memberikan petunjuk kepada kita akan makna yang shahih dalam makna penguluran jilbab, karena khithab itu ditujukan kepada mereka secara langsung, sedangkan Allah U mengawasi mereka, dan Rasulullah r juga pembimbing dan pengawas akan amalan-amalan mereka, maka kita tidak menduga bahwa Rasulullah r mengakui para sahabat laki-laki dan para sahabat wanita atas amalan yang tidak diwajibkan oleh Allah U, padahal beliau datang untuk mengangkat kesulitan dan beban berat, dan beliau merasa berat atas apa yang memberatkan mereka, sedangkan riwayat-riwayat telah memberikan perincian tentang amalan-amalan para sahabiyyat yang tidak mengandung sedikitpun keraguan bahwa mereka itu selalu menutupi wajah-wajah mereka sebagai realisasi keimanan kepada Kitab Allah dan pembenaran terhadap turunnya ayat itu.

Kesepuluh : Sesungguhny para sahabat dan para tabiin serta para ulama ahli tafsir yang tampil dalam menafsirkan ayat penguluran jilbab mereka menafsirkannya dengan menutupi wajah, kecuali beberapa perkataan yang syadz (ganjil), dan inilah nash-nash perkataan itu…)

Kemudian beliau menuturkan nukilan-nukilan yang banyak sekali dari para jumhur ahli tafsir, dan telah lalu penukilan perkataan mereka tadi, kemudian beliau hafidhahullah memberikan komentar :
( Ini adalah perkataan tokoh-tokoh umat ini dari sejak zaman masa terbaik hingga abad ke empat belas yang dimana kita hidup di dalamnya, diketahui darinya bahwa orang yang tampil menafsirkan ayat penguluran jilbab mereka menafsirkannya dengan menutupi wajah, meskipun di antaranya ada yang berpendapat bolehnya membukanya, dan tidak diketahui ada seorang yang menentang penafsiran ini secara sharih, hanyasannya bisa diambil kesimpulan dari perkataan sebagiannya bahwa ia tidak memandang penutupan wajah itu termasuk bagian dari penguluran jilbab, dan inilah perkataan mereka itu : Mujahid berkata : Mereka berjilbab( yatajalbabna) [8], dan Ikrimah berkata : Dia menutupi tsaghrah lehernya dengan jilbabnya, dia ulurkan agar menutupinya[9], Said Ibnu Jubair berkata : Mereka mengulurkan (yusdilna) ke tubuhnya[10]dan Ibnu Qutaibah berkata : Yalbasna Al Ardiyah (mereka mengenakan rida’)[11].
Perkataan-perkataan ini tidak tegas seperti yang anda lihat sendiri dalam menafikan menutupi wajah, karena sesungguhnya tajalbub dan sadlul jilbab serta labsul ardiyah tidak menafikan penutupan wajah, dengan dasar bahwa berjilbab itu adalah mempunyai cara tertentu yang sudah ma’ruf di kalangan wanita kaum muslimin, yaitu memakainya dengan menutupi wajahnya, oleh sebab itu barang siapa mengklaim membawa perkataan-perkataan ini pada penafsiran yang berbeda dengan yang sudah ma’ruf , maka hendaklah dia mendatangkan dalil.
Kemudian sisi kesepuluh ini termasuk dari sisi-sisi yang telah kami isyaratkan kepadanya di awal pembicaraan tentang ayat ini, berarti ini adalah sepuluh sisi, dan kami juga memilki tambahan.

Kesebelas : Sesungguhnya firman-Nya,” يُدْنِيْنَ ,” adalah berbentuk fi’il mudhari yang bermakna amar (perintah), dan sudah pada ma’lum bahwa asal dari perintah itu adalah menunjukan kewajiban, dan sesungguhnya bila perintah itu datang dalam bentuk fi’il mudhari’, maka itu lebih kuat dalam penunjukannya terhadap kewajiban. Dan bila telah pasti dengan sepuluh sisi itu bahwa yang dimaksud dengan penguluran jilbab adalah menutupi wajah, maka pastilah bahwa menutupi wajah itu adalah wajib yang telah dinyatakan oleh Kitab Allah, sehingga tidak ada jalan keluar dari tidak komitmen dengannya.
Dan pada ujung pembahasan tentang makna ayat ini, saya memandang tidak apa-apa saya berbicara sekitar apa yang dikatakan Fadlilatud Doktor dalam makna idnaa (penguluran) : Sesungguhnya Fadlilatud Doktor telah menukil dari Ibnu Jarir perbedaan ahli tafsir tentang tata cara idnaa : Apakah dia itu menutupi wajah, atau mengikatkan jilbab pada kening ? kemudian beliau mentarjih yang terakhir, bahkan menegaskan bahwa itulah yang dimaksud dengan lima alasan….
Saya berkata : Telah anda ketahui dari yang telah kami kemukakan bahwa pembagian ini tidak berpijak pada dasar yang kuat, sehingga semua yang bercabang darinya, maka pasti sama dengannya.
Fadlilatud Doktor berkata : ( Pertama : Nash-nash yang telah lalu yang dengannya Kitab Allah ditafsirkan, dan orang yang diriwayatkan darinya riwayat-riwayat itu- maksudnya Nabi r - lebih mengetahui akan Kitab Allah).
Saya berkata : Penutup itu akan terbuka dari nash-nash tersebut dan dari amalan Nabi r, para sahabatnya dan umatnya, maka bersabarlah.
Fadlilatud Doktor berkata : ( Kedua : Perkataan-perkataan para ulama yang lalu itu[12] tidak sejalan sama sekali dengan pendapat yang mengatakan wajibnya menutupi wajah dan kedua telapak tangan, dan seorangpun tidak mampu mengatakan bahwa mereka itu tidak mengetahui makna ayat ini, dan mereka sepakat menyalahi apa yang ditunjukan olehnya).
Saya katakan : Janganlah seseorang terpedaya dengan ijma ulama atau seperti ijma mereka yang mengeluarkan kedua telapak tangan dan wajah dari batasan aurat, karena ruang lingkup hijab bukanlah aurat, akan tetapi hanyasannya diperintahkan berhijab karena hal itu lebih bersih dan lebih suci bagi hati kaum mu’minin dan mu’minat. Dan seandainya benar bahwa sikap dan perkataan-perkataan mereka (ulama) itu tidak sejalan dengan perkataan akan wajibnya menutupi wajah dan kedua telapak tangan, maka tidak diragukan lagi sesungguhnya mereka atau mayoritas mereka telah kontra dengan diri mereka sendiri, karena mereka sendiri yang menegaskan wajibnya menutupi wajah, dan seorangpun tidak mampu mengatakan bahwa mereka itu tidak mengetahui makna kontradiktif, sedangkan Fadlilatud Doktor menukil dari sebagian mereka penegasan bahwa wajah dan kedua telapak tangan itu bukan aurat, dan penegasan bahwa menutupi keduanya adalah wajib, dan bahwa sebab wajibnya itu adalah khawatir fitnah, namun dengan itu semua Fadlilatud Doktor masih mengatakan : (Perkataan-perkataan para ulama yang lalu itu tidak sejalan sama sekali dengan pendapat yang mengatakan wajibnya (menutupi wajah dan kedua telapak tangan)..) dan saya tidak tahu mana yang mencegah dari kesejalanan setelah ini semua ?
Kemudian hendaklah tahu bahwa para sahabat dan umat islam yang dimana wanita-wanita mereka komitmen dengan menutupi wajah-wajahnya setelah turun dua ayat An Nur Dan Al Ahzab – sebagaimana yang akan kami sebutkan sebagai dalil – dan begitu juga para pembesar para sahabat, tabi’in dan para pemuka para ulama ahli tafsir yang menafsirkan penguluran jilbab dengan menutupi wajah, seorangpun tidak mampu mengatakan bahwa mereka semua tidak mengetahui bahasa Arab, atau mereka tidak mengetahui bahwa mereka merealisasikan dan menafsirkan perintah dari perintah-perintah Allah, dan bahwa perintah itu menunjukan kewajiban.
Fadlilatud Doktor berkata : ( Ketiga :  Sesungguhnya idna’ul jalabib (penguluran jilbab) tidak tegas dalam menutupi wajah, apalagi bila anda telah mengetahui sebab turun ayatnya, dan alasan yang ada di akhir ayat, yaitu firman-Nya,”Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu,”
Saya katakan : Anda telah mengetahui bahwa idna’ul jalabiib itu tidak layak bagi selain makna menutupi wajah, apalagi bila anda telah mengetahui sebab nuzul ayatnya dan bi’ah (situasi masyarakat) yang dimana ayat itu turun, dan anda telah mengetahui makna alasan yang ada di akhir ayat ini dan dalam ayat hijab.
Fadlilatud Doktor berkata : ( Keempat : Banyaknya orang yang mengatakan pendapat kedua, hingga Ibnu Abbas….)
Saya katakan : Pertama : Al Kitab dan As Sunnah keduanya adalah yang harus didahulukan atas semua manusia, dan manusia tidak boleh dijadikan penghukum Al Kitab dan As Sunnah. Kedua : Anda sudah tahu – dan akan tahu – hakikat banyak dan sedikit pada dua belah pihak, orang-orang yang menyatakan bolehnya sufur (membuka wajah) tidak lain hanyalah segelintir orang di bandingkan dengan umat (ulama) yang banyak dan tersebar.
Fadlilatud Doktor berkata : ( Kelima : Ayat ini telah ditafsirkan di dalam Al Qur’an sendiri, dan sebaik-baiknya penafsir Al Qur’an adalah Al Qur’an ….)
Saya katakan : Ya betul, Ayat ini ditafsirkan dengan Firman-Nya U ,”Apabila kamu minta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi) maka mintalah dari belakang tabir,” dan firman-Nya,”dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya,” dan adapun penafsirannya dengan firman-Nya,”Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,” maka itu adalah penafsiran dengan sebagian madlulnya (yang ditunjukannya) dan dengan satu sisi dari sisi-sisi maknanya yang luas cakupannya, sehingga tidak benar membatasi padanya saja, dan telah kami kemukakan cacatnya pengambilan dalil dengan ayat ini terhadap bolehnya membuka wajah, maka tidak usah diulangi lagi, dan bila di dalam Al Qur’an itu ada banyak ayat yang pantas dijadikan penafsiran bagi satu ayat darinya, maka kita tidak boleh menafsirkannya dengan sebagiannya saja dan membiarkan yang lainnya tidak diperhatikan, tapi yang pasti bahwa makna ta’sis (penetapan hukum baru) lebih diutamakan dai sekedar ta’kid (penguat hukum yang sudah ada)[13]. Maka bila kita mengatakan : Sesungguhnya ayat An Nur adalah penjelasan bagi sebagian dari etika-etika wanita di masyarakat islam, dan ayat Al Ahzab adalah penjelasan bagi sebagian yang lain dari etika-etika itu, maka itu lebih pas dan sesuai dengan rahasia Al Qur’an dan balaghah, dan I’jaz firman Allah U.[14]

·         Al ‘Allamah Abdul Aziz Ibnu Abdillah Ibnu Baz rahimahullah berkata dalam tafsir ayat ini : Jalabib adalah bentuk jamak dari jilbab, dan jilbab adalah apa yang dikenakan wanita di kepalanya untuk menutupi dirinya, Allah U  memerintahkan seluruh wanita kaum mu’minin agar mengulurkan jilbabnya pada mahasin (tempat-tempat kecantikan) tubuh mereka seperti rambut, wajah dan yang lainnya supaya mereka dikenal keiffahannya sehingga tidak diganggu dan tidak membuat orang lain terfitnah sehingga bisa mengganggunya.[15]


[1] Tabaqat Ibnu Sa’ad 8/176-177.
[2] Lihat Al Aghaniy, biografi Muqanna’ 17/60.
[3] Tarikh Al Ya’qubiy, cet Uruubah  2/315
[4] Tafsir Ibnu Katsir 5/516, Tafsir Surat An Nur Ibnu Taimiyyah 17, Al Muhalla 3/281.
[5] Fathul Bayan karya An Nuwwab Shiddiq Hasan Khan 7/316.
[6] Lihat Tafsir  Ibnu Katsir 5/87.
[7] At Tafsir Al Kabir 6/799
[8] Tafsir Ibnu Katsir 5/516.
[9] Tafsir Ibnu Katsir 5/516.
[10] Ruhul Ma’aniy karya Al Alusiy 22/83
[11] Zadul Masir Fi Ilmit Tafsir 6/422
[12] Fadlilatud Doktor Al Hilaliy – Rahimahullah - mengisyaratkan kepada penegasan banyak ulama terhadap dikeluarkannya wajah dan kedua telapak tangan dari batasan aurat.
[13] Itu karena lafadh bila mengandung lebih dari satu makna, maka kemungkina yang rajih diutamakan dari kemungkina yang marjuh : seperti Ta’sis, sesungguhnya dia (ta’sis itu) didahulukan terhadap ta’kid, contohnya firman-Nya U,”Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi dari jalan Allah,” kalimat,” menghalangi,” di sini mengandung kemungkinan dia itu lazim seperti firman-Nya,”niscaya kamu lihat orang-orang munafiq menghalangi dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu,” sehingga maknanya adalah kufur, maka dia itu menjadi penguat bagi kalimat,”orang-orang yang kafir,” dan ada kemungkinan muta’addi, sehingga makna firman-Nya,”orang-orang yang kafir,” menunjukan kekufuran dalam  dirinya sendiri, dan makna,” menghalangi,” adalah mereka membawa orang lain pada kekufuran dan menghalanginya dari kebenaran, maka berarti kemungkinan yang kedua adalah yang lebih kuat, karena ada makna ta’sis buat makna baru di sana, berbeda dengan kemungkinan yang pertama yang hanya sekedar penguat.
Contohnya lagi firman-Nya U ,”barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan,” bila kita bawa kehidupan yang baik  dalam ayat ini pada kehidupan dunia, maka itu adalah ta’sis, dan bila kita bawa kehidupan yang baik ini pada kehidupan surga maka itu terulang-ulang bersama firman-Nya,” dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan,” karena kehidupan baik di surga itu adalah pahala mereka yang dengannya mereka diberi pahala, Abu Hayyan berkata dalam Al Bahrul Muhith : ( Dan yang dhahir dari firman-Nya,” maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik,” bahwa itu di dunia, dan ini adalah pendapat jumhur, dan ini dibuktikan dengan firman-Nya,” dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan,” yaitu di akhirat.
Contoh lain juga firman-Nya,”Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?,” dan firman-Nya,”Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan,” ada yang mengatakan : Pengulangan lafadh dalam keduanya adalah ta’kid (penguat), dan statusnya sebagai ta’sis adalah yang lebih rajih sebagaiman yang telah kami sebutkan, maka nikmat-nikmat dalam setiap tempat dibawa pada apa yang disebutkan sebelum lafadh pendustaan itu, sehingga satupun lafadh dari nikmat-nikmat itu tidak diulang-ulang, dan begitu juga dikatakan dalam surat Al Mursalat, maka lafadh itu dibawa pada orang-orang yang mendustakan terhadap apa yang disebutkan sebelum setiap lafadh. Wallahu ‘Alam.
[14] Penggabungan ini bisa boleh hanya berdasarkan pada penerimaa jadaliy (sifatnya debat) terhadap kebenaran pendapat mereka bahwa ayat An Nur itu memberikan faidah bolehnya sufur, namun demikian sesungguhnya ayat itu –sesuai pemahaman para sahabiyyat radhiyallahu ‘anhunna – tidak memberikan faidah seperti itu sebagaimana yang akan datang nanti penjelasannya Insya Allah.
[15] Risalah Tabhatsu fi Masa’il As Sufur Walhijab ;6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar