Sobat Sobat SenjuJasrizal.blogspot.com yang baik hati,,, TERIMA KASIH TELAH MENGUNJUNGI BLOG INI... mohon maaf atas segala kekurangan, mudah-mudahan bermanfaat dan dapat sobat2ku mengambil hikmah didalamnya....^_^

Minggu, 23 Desember 2012

Dalil-Dalil Tentang Wajibnya Hijab 5


Penjelasan Makna Jilbab

Ungkapan-ungkapan para ahli tafsir telah lalu yang berkenaan dengan batasan maksud dari jilbab, Al Hafidh Ibnu Hajar telah mengumpulkannya dalam Fathul Bari sebanyak tujuh perkataan :( Muqanna’ah, Khimar atau lebih lebar darinya, pakaian yang lapang lebih kecil dari rida’, izar, milhafah, mula’ah, dan qamish).[1]
Dan yang paling rajih adalah apa yang dikatakan oleh para ahli tahqiq, yaitu bahwa yang dimaksud jilbab dalam bahasa  arab yang dikhithabkan kepada kita oleh Rasulullah r adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh, bukan yang menutupi sebagian saja sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam Al Muhallaa[2],dan dishahihkan oleh Al-Qurtubi dalam tafsirnya.[3]
 Dan Ibnu Al Atsir mengatakan : Jilbab adalah mantel dan jubah yang digunakan perempuan untuk menutupi seluruh tubuhnya.[4]
Al Baghawiy berkata : Jilbab adalah mula’ah yang diselimutkan wanita sebagai rangkap baju kurung dan kudungnya.[5]
Ibnu Katsir berkata : Jilbab adalah rida’ perangkap khimar, hampir sama dengan izar pada masa sekarang.[6]
Al Albani mengatakan : Mungkin itu adalah ‘Aba’ah yang  sekarang biasa dipakai oleh wanita Nejed (Saudi) dan Irak serta yang lainnya.[7]
Dan Syaikh Anwar al-Kasymiri mengatakan jilbab adalah rida ( jubah) yang menutupi dari ujung kepala sampai telapak kaki.[8]
Syaikh Ibrahim Asy Syurii dan Syaikh Muhammad Asy Syibawi berkata : Dan yang benar sesungguhnya jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh, dan setiap wanita lebih mengetahui tentang pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya, dan tidak membutuhkan untuk diajari hal itu.[9]
Syaikh Abdul Aziz Ibnu Khalaf berkata : Dan pengertian jilbab itu tidak terbatas pada satu nama, satu jenis, dan satu warna, namun jilbab adalah setiap pakaian yang digunakan wanita untuk menutupi tempat-tempat perhiasannya, baik perhisan itu yang tetap ataupun yang bisa dipindah, dan bila kita telah mengetahui maksud tentangnya, maka hilanglah kesulitan dalam menentukan bentuk dan namanya.[10]

Hukum Memakai Jilbab


Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ummu ‘Athiyyah radliyallhu ‘anha, beliau berkata : Kami diperintahkan pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul ‘Adlha agar menyuruh keluar mereka : yaitu gadis-gadis muda, wanita-wanita yang sedang haidl dan wanita-wanita pingitan. Adapun wanita-wanita yang sedang haidl mereka menjauhi tempat shalat, mereka menyaksikan kebaikan dan  undangan kaum muslimin,” Saya berkata : Wahai Rasulullah ! Seseorang di antara kami tidak memiliki jilbab ? Rasulullah r berkata : Hendaklah saudarinya meminjamkan dari jilbab yang dia miliki.”
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata : Dalam hadits ini ada dalil dilarangnya wanita keluar (dari rumahnya) tanpa memakai jilbab…[11]
Al Badr Al ‘Ainiy berkata : Di antara faidah hadits ini adalah dilarangnya wanita keluar tanpa memakai jilbab…[12]
Al ‘Allamah Al Albaniy berkata dalam rangka mengomentari ungkapan Al Kasymiri rahimahullah [13]: Jilbab adalah untuk menutupi perhiasan wanita dari pandangan laki-laki lain, sama saja apakah si wanita yang keluar menemui mereka atau mereka yang masuk menemuinya, maka dalam semua keadaan ini dia (wanita) harus memakai jilbab[14], Dan ini dikuatkan oleh apa yang dikatakan oleh Qais Ibnu Zaid : Sesungguhnya Rasulullah r telah mencerai Hafshah putri Umar….kemudian Rasulullah r datang dan terus masuk menemuinya…. Maka Hafshah cepat berjilbab, Rasulullah r berkata : Sesungguhnya Jibril telah mendatangiku, terus berkata kepadaku : Rujuklah Hafshah karena dia itu wanita yang suka banyak shaum dan shalat (malam), dan dia itu isterimu di surga,”[15]dan telah sah dari Aisyah bahwa beliau bila melakukan shalat memakai jilbab, maka jelaslah bahwa jilbab tidak khusus untuk keluar saja.[16] [17]

Fatwa Al ‘Allamah Al Albani Tentang Wajibnya Memakai Jilbab

Beliau rahimahullah mengatakan : ………Kebenaran yang menuntut diamalkan sesuai dua ayat dalam surat An Nur dan Al Ahzab bahwa wanita bila keluar keluar dari rumahnya wajib memakai khimar (kerudung) dan kemudian memakai jilbab sebagai rangkap khimar, karena hal itu seperti yang telah kami utarakan lebih tertutup, dan lebih jauh dari mencetak bentuk kepala dan pundak, sedangkan hal ini adalah yang dituntut oleh syari’at…..dan yang saya sebutkan itu adalah penafsiran sebagian salaf terhadap ayat penguluran (Al Ahzab 59), dalam Ad Durr 5/222 : Ibnu Abi Hatim mengeluarkan dari Said Ibnu Jubair dalam penafsiran firman-Nya,” Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka", beliau berkata : mereka mengulurkan dari jilbabnya kepada tubuhnya, dan (jilbab) itu adalah qina’ yang lebih lapang dari khimar, dan tidak halal bagi wanita muslimah dia dilihat oleh laki-laki lain kecuali dia mengenakan qina’ sebagai rangkap khimarnya yang telah dia ikat pada kepala dan lehernya.[18]

Di tempat lain beliau rahimahullah  berkata : Tujuan dari berpakaian adalah menghilangkan fitnah, dan hal ini tidak tercapai kecuali dengan pakaian yang longgar lagi luas, adapun pakaian yang sempit meskipun menutupi warna kulit tapi dia itu menampakkan lekuk badan atau sebagiannya, dan menggambarkannya di hadapan mata laki-laki, dan hal ini tak ragu lagi merupakan sumber kerusakan dan ajakan untuk membuat kerusakan, oleh sebab itu pakaian harus longgar, Usamah Ibnu Zaid t berkata : Saya diberi pakaian qibthiyyah yang tebal oleh Rasulullah r yang merupakan hadiah yang diberikan kepadanya oleh Dihyah Al Kalbi, terus saya berikan kepada istri saya, maka beliau bertanya : Kenapa engkau tidak memakai baju qibthiyyah itu ? Saya berkata : Saya berikan kepada istri saya, “ maka beliau berkata,” Suruhlah dia agar memakai rangkap, karena saya hawatir pakaian itu membentuk lekuk tubuhnya,”[19]
Nabi r memerintahkan agar dia mengenakan rangkap buat baju qibthiyyah itu agar bentuk badannya tidak nampak, sedangkan perintah itu menunjukan kewajiban seperti yang sudah tetap dalam ushul fiqh.[20]
Hadits ini dengan tegas menyatakan bahwa qibthiyyah itu tebal, sebagaimana hadits ini juga tegas menjelaskan penyimpangan yang dihawatirkan oleh Nabi r dari sebab kain qibthiyyah ini, maka beliau berkata,” sesungguhnya saya hawatir pakaian itu membentuk lekuk tubuhnya,” dari sinilah syaikh Al AlBani rahimahullah memastikan bahwa hadits ini datang berkenaan dengan pakaian yang tebal yang bisa mencetak bentuk lekuk tubuh karena halusnya, meskipun tidak tipis, dan tidak mungkin hadits ini dibawa berkenaan dengan pakaian yang tipis yang tidak menutupi warna kulit, oleh sebab itu syaikh mengingkari kepada sebagian pengikut madzhab Syafi’i yang mengatakan : Dan disunnahkan wanita shalat dengan mengenakan dir’u (baju kurung) yang besar dan khimar (kerudung) serta memakai jilbab yang tebal sebagai rangkap pakaiannya itu supaya tidak membentuk lekuk badannya,[21]maka syaikh berkata mengomentari : Pendapat yang mengatakan sunnah itu bertentangan dengan dhahir perintah, karena perintah itu menunjukan kewajiban sebagaimana yang telah lalu, dan ungkapan Al Imam Asy Syafi’i t dalam kitab Al Umm dekat dengan pendapat kami, beliau berkata [22]: Dan bila dia (laki-laki) shalat dengan mengenakan gamis yang memperlihatkan (bayangan kulit) darinya maka shalatnya tidak sah….dan bila shalat dengan mengenakan gamis yang mencetak bentuk tubuh dan tidak memperlihatkan bayangan kulit maka itu makruh baginya, namun dia tidak harus   mengulangi shalatnya, dan wanita dalam hal ini lebih berat daripada laki-laki bila bila dia shalat dengan mengenakan baju kurung dan kerudung yang ternyata baju kurungnya menjiplak lekuk badannya, dan lebih saya sukai bila dia tidak shalat  kecuali dengan mengenakan jilbab sebagai rangkap, dan dia merenggangkannya dari  badannya  supaya (lekuk badannya) tidak terjiplak oleh baju kurung, dan Aisyah radliyallahuanha telah berkata ,” Wanita itu harus shalat dengan tiga pakaian : baju kurung, jilbab dan kerudung,” dan adalah Aisyah mencopot sarungnya terus berjilbab dengannya.[23]
Beliau melakukan itu tidak lain melainkan supaya pakaiannya tidak menjiplak badannya, dan perkataan Aisyah,” harus,” merupakan dalil atas wajibnya hal itu, dan perkataan semakna dilontarkan oleh Ibnu Umar t,” Bila wanita shalat, hindaklah dia shalat dengan mengenakan pakaiannya semuanya : baju kurung, kerudung, dan jubahnya.”[24]
Dan ini menguatkan penjelasan yang tadi kami kemukakan bahwa wajib atas wanita menggabungkan antara kerudung dan jilbab bila keluar (dari rumah).[25]

Bantahan Terhadap Pendapat Syaikh Al Albani Dalam Penafsiran Ayat Penguluran (Al Ahzab : 59)

Beliau rahimahullah berkata : Tidak ada dilalah dalam ayat penguluran (idna’) bahwa wajah wanita itu aurat yang wajib ditutupi, namun ayat itu hanya memerintahkan untuk mengulurkan jilbab pada tubuhnya, dan hal semacam ini adalah muthlaq sebagaimana yang anda lihat, maka ada kemungkinan bahwa penguluran itu kepada perhiasan dan tempat-tempatnya yang tidak boleh ditampakan sesuai penjelasan ayat pertama[26], dan dengannya hilanglah dilalah yang disebutkan itu, dan ada kemungkinan lebih umum dari itu, sehingga dengannya mencakup wajah.
Dan masing-masing dari kedua penafsiran ini telah dianut oleh para ulama mutaqaddimun, dan perkataan mereka itu telah dipaparkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, juga As Suyuthi dalam Ad Durr Al Mantsur,,,,, dan kami menilai bahwa pendapat yang pertama adalah yang lebih mendekati kebenaran karena hal-hal berikut ini :
Pertama : Bahwa Al Qur’an saling menafsirkan antara yang satu dengan yang lainnya, dan telah jelas dalam ayat surat An Nur yang lalu bahwa wajah tidak wajib ditutup, oleh sebab itu wajib membatasi penguluran di sini dengan selain wajah demi keselarasan antara kedua ayat.

Kedua : Bahwa As Sunnah adalah menjelaskan Al Qur’an, dia mengkhususkan keumumannya, dan membatasi kemuthlakannya, sedangkan telah banyak teks-teks As Sunnah yang menunjukan bahwa wajah itu tidak wajib ditutup, oleh sebab itu wajib menafsirkan ayat tersebut sesuai tuntunan As Sunnah, dan wajib membatasinya dengan penjelasannya.

Maka tetaplah bahwa wajah itu bukan aurat yang wajib ditutupi, dan ini adalah madzhab banyak para ulama sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Rusydi dalam Al Bidayah 1/89, dan di antara mereka adalah Abu Hanifah, Malik, Asy Syafii, serta satu riwayat dari Imam Ahmad sebagaimana dalam Al Majmu’3/169, dan dihikayatkan oleh Ath Thahawi dalam Syarh Al Ma’ani 2/9 dari kedua sahabat Abu Hanifah juga, dan dipastikan dalam kitab Al Muhimmat yang merupakan kitab madzhab Asy Syafii bahwa itu yang benar, sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Asy Syarbini dalam Al ‘Iqna’ 2/110.
Namun ini harus dibatasi bila diwajah itu juga di kedua telapak tangan tidak ada sedikit pun dari perhiasan berdasarkan keumuman firman-Nya U,” Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya,” namun  jika ada perhiasan maka wajib menutupinya, apalagi pada zaman sekarang ini yang dimana kaum wanita berlomba-lomba menghiasi wajah dan tangannya dengan beraneka ragam hiasan dan polesan yang tidak  ada seorang muslim pun, bahkan orang yang berakal yang mempunyai rasa ghirah meragukan keharamannya.[27]

Jawab : Anda bisa melihat dari perkataan Fadlilatu Asy Syaikh bahwa beliau secara terang menyatakan bahwa pendapat pertama yang beliau hikayatkan adalah yang lebih dekat pada kebenaran, dan beliau menyebutkan bahwa pentarjihan itu berdasarkan dua hal :

Pertama : Bahwa Al Qur’an satu sama lain saling menafsirkan, dan ini adalah betul, namun bila kita terapkan pada ayat-ayat hijab seluruhnya pasti kita mengetahui bahwa dua ayat dalam surat An Nur dan Al Ahzab keduanya menjurus pada penetapan penguluran jilbab kepada seluruh tubuh, karena ta’sis (penetapan makna baru) lebih utama daripada sekedar ta’kid (menguatkan) bila hal itu berlingkar pada dua hal ini. Dan seandainya kita menerima bahwa ayat وَلْيَضِْرْبنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ memberi indikasi bolehnya sufur (membuka wajah) namun sesungguhnya ayat idna’ (Al Ahzab 59) mendatangkan hukum baru yaitu perintah mengulurkan jilbab pada seluruh tubuh termasuk wajah.
Kedua : Hal yang disebutkan syaikh adalah anggapan/klaim (da’wa) bahwa teks-teks yang banyak dari As Sunnah menunjukan bahwa wajah tidak wajib ditutupi. Kita jawab bahwa teks-teks yang diisyaratkan itu adalah muhtamal (mengandung banyak kemungkinan) dan tidak sharih (jelas) dalam kebolehan sufur, sedangkan dalil bila dimasuki banyak kemungkinan tidak bisa dijadikan hujjah (gugur dalam berhujah dengannya), Insya Allah nanti jelasnya dalam pembahasan selanjutnya.

Dan berdasarkan dua hal ini syaikh mengambil kesimpulan bahwa wajah bukan aurat, beliau berkata : Maka tetaplah bahwa wajah itu bukan aurat yang wajib ditutupi,” terus beliau berkata : dan ini adalah madzhab banyak para ulama……..
Jawabnya : Ini adalah benar, dan tidak ada pertentangan -bihamdillah- antara pendapat kebanyakan ulama yang menyatakan bahwa wajah itu bukan aurat dengan fatwa dari mereka sendiri akan wajibnya menutup wajah di hadapan laki-laki bukan mahram, karena batasan aurat itu bukanlah batasan hijab, sehingga bila dikatakan wajah wanita itu bukan aurat maka madzhab ini (pernyataan ini) maksudnya adalah di dalam shalat jika tidak ada laki-laki bukan mahram di dekatnya, adapun hubungannya dengan pandangan laki-laki bukan mahram maka seluruh tubuh wanita adalah aurat yang harus ditutupi sesuai sabda Rasulullah r : اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ (Wanita itu adalah aurat)[28].
Oleh sebab itu umumnya anda dapatkan pernyataan jelas para ulama bahwa wajah dan kedua telapak itu bukan termasuk aurat adalah hanya dalam pembahasan syarat menutupi aurat dalam bab-bab syarat-syarat sah shalat.
Al Imam Asy Syafii rahimahullah berkata dalam bab bagaimana memakai pakaian di dalam shalat (باب كيف لبس الثياب في الصلاة )[29]: Dan seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya.
Beliau berkata juga : Dan wajib atas wanita di dalam shalat menutupi seluruh tubuhnya selain kedua telapak tangan dan wajahnya.
Asy Syihab berkata : Dan apa yang disebutkan -oleh Al Baidlawi- tentang perbedaan antara aurat di dalam shalat dan di luar shalat adalah madzhab Asy Syafii rahimahullah.[30]
Syaikh Muhammad ‘Ilyasy rahimahullah berkata : Dan aurat bagi wanita merdeka adalah seluruh tubuhnya selain wajah dan kedua telapak tangan, ini buat di dalam shalat….[31]
Al Imam Al Muwaffaq Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam bab shifat shalat : Malik, Al Auza’i dan Asy Syafii berkata : Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, dan selain hal itu wajib ditutupi di dalam shalat.[32]
Syaikh Muhammad Zakaria Ibnu Yahya Al Kandahlawi menukil perkataan darinya : Semua ijma bahwa wanita boleh membuka wajahnya di dalam shalat.[33]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah setelah menyatakan benarnya bahwa wanita tidak boleh menampakan wajah, kedua telapak tangan, dan telapak kakinya kepada laki-laki yang bukan mahramnya, beliau berkata : Dan adapun menutupi itu semua di dalam shalat maka tidak wajib dengan kesepakatan kaum muslimin, bahkan dia boleh menampakan wajahnya dengan ijma.[34]
Syaikh Mushthafa Ar Ruhaibani berkata : Tidak ada perbedaan di dalam madzhab (kami) bahwa wanita merdeka boleh menampakan wajahnya di dalam shalat- hal itu disebutkan dalam Al Mughni dan yang lainnya.[35]
Al Mardawi rahimahullah berkata : Az Zarkasyi berkata : Imam Ahmad memuthlakan perkataanya bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, namun hal ini ada kemungkinan selain wajah atau atau di luar shalat, sebagian yang lain mengatakan : Wajah itu aurat, dan dibolehkan dibuka di waktu shalat karena keperluan, Syaikh Taqiyyuddin (Ibnu Taimiyyah maksudnya) berkata : Yang benar bahwa wajah bukan aurat di dalam shalat, namun dia itu aurat dalam hal pandangan (laki-laki), karena tidak boleh memandang kepadanya.[36]
Asy Syaikh Al ‘Allamah Faqih Al Hanabilah pada zamannya Manshur Idris Al Bahuti[37] berkata : Dan wanita merdeka yang sudah baligh seluruh tubuhnya adalah aurat di dalam shalat hingga kuku dan rambutnya, berdasarkan sabdanya r : Wanita adalah aurat (اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ),” diriwayatkan oleh At Tirmidzi, dan berkata : Hasan shahih, dan dari Ummu Salamah radliyallahu ‘anha bahwa beliau bertanya kepada Rasulullah r : Bolehkah wanita shalat hanya dengan mengenakan baju kurung dan kerudung tanpa memakai izar (jubah maksudnya, pent) ? Beliau bersabda : Bila baju kurungnya lapang menutupi tumit kedua telapak kakinya,” diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan Abdul Haqq dan yang lainnya menshahihkan bahwa itu mauquf pada Ummu Salamah,, kecuali wajahnya,,dan tidak ada perbedaan dalam madzhab (kami) bahwa boleh bagi wanita merdeka membuka wajahnya di dalam shalat, ini disebutkan dalam Al Mughni dan yang lainnya, sejumlah ulama mengatakan : Dan kedua telapak tangannya, dan ini dipilih oleh Al Majdu, dan beliau memastikannya dalam Al ‘Umdah dan Al Wajiz, berdasarkan firman-Nya U,” Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” Ibnu Abbas dan Aisyah radhiyallahu 'anha berkata : wajahnya dan kedua telapak tangannya,” diriwayatkan oleh Al Baihaqi dan ada kelemahan dalam sanadnya, dan bertentangan dengan Ibnu Masud, dan keduanya -wajah dan kedua telapak tangan dari wanita merdeka yang baligh-  adalah aurat di luar shalat  (berhubungan dengan  pandangan laki-laki) berdasarkan sabda Nabi r yang lalu : Wanita adalah aurat (اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ),”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : Ungkapan pendapat ulama madzhab kami (Al Hanabilah) dalam masalah wajah wanita di dalam shalat berbeda-beda, sebagian mengatakan : Bukan aurat, dan yang lain mengatakan : Aurat, dan hanyasannya dirukhshahkan untuk dibuka di dalam shalat karena dibutuhkan (hajat), dan yang benar adalah bahwa wajah bukan aurat di dalam shalat, namun aurat dalam pandangan (laki-laki) karena tidak boleh melihat kepadanya, kemudian beliau berkata : Aurat di dalam shalat itu tidak ada hubungannya dengan aurat dalam pandangan (laki-laki) baik pemberlakuan ataupun sebaliknya.[38]
Al Muhaqqiq Abu An Naja Syarafuddin Musa Al Hijawi Al Maqdisi berkata : Dan wanita merdeka yang baligh semua badannya adalah aurat hingga kuku dan rambutnya kecuali wajahnya, sebagian mengatakan : dan kedua telapak tangannya. Dan keduanya  (kedua telapak tangan) dan wajah adalah aurat di luar shalat  berhubungan dengan pandangan (laki-laki) sebagaimana halnya anggota badan yang lain.[39]
Terus berkata lagi : Dan dimakruhkan seseorang shalat dengan mengenakan pakaian yang bergambar, juga laki-laki shalat dengan memakai litsam (masker hidung dan mulut), dan wanita shalat dengan mengenakan niqab (cadar) kecuali bila dia shalat di suatu tempat dimana di sana ada laki-laki yang bukan mahram yang tidak menjaga pandangannya, maka dalam keadaan seperti ini dia tidak boleh melepas niqabnya.[40]
Asy Syaikh Al Imam Abdul Qadir Ibnu Umar Asy Syaibani Al Hanbali berkata : Dan wanita merdeka yang sudah baligh seluruh tubuhnya adalah aurat di dalam shalat hingga kuku dan rambutnya kecuali wajahnya, sedangkan wajah dan kedua telapak tangan dari wanita merdeka yang sudah baligh adalah aurat di luar shalat berhubungan dengan pandangan (laki-laki) sebagaimana halnya anggota badan yang lain.[41]
Al Imam Al Muhaqqiq Ibnu Al Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah berkata : Aurat itu ada dua macam : aurat di dalam shalat, dan aurat di hadapan pandangan (laki-laki). Wanita merdeka boleh melakukan shalat dengan wajah dan kedua telapak tangannya terbuka, namun dia tidak boleh keluar ke pasar dan tempat banyak orang dengan penampilan seperti itu (wajah dan telapak tangan terbuka).[42]
Adapun ihtijaj (berhujjah) Fadlilatu Asy syaikh Al Albani dengan apa yang dituturkan oleh Asy Syarbini dalam kitab Al Iqna’maka itu tertolak dengan penjelasan yang lalu, yaitu bahwa ruang lingkup hijab itu bukan ruang lingkup aurat, bahkan tertolak oleh apa yang dituturkan Asy Syarbini sendiri dalam tafsirnya yang bernama As Siraj Al Munir tatkala menukil perkataan Ibnu ‘Adil : Dan mungkin dikatakan : Yang dimaksud adalah mereka (para wanita) dikenal bahwa mereka tidak berzina, karena orang yang menutupi wajahnya  padahal bukan aurat  yaitu di dalam shalat tidak ada harapan bahwa dia membuka auratnya.[43]
Bahkan Asy Syarbini sendiri menjelaskan dengan gamblang akan keharaman memandang wajah dan kedua telapak tangannya[44], anda bisa melihat beliau menukil perkataan As Subki : Sesungguhnya yang mendekati pada pendapat para pengikut (madzhab Asy Syafii) adalah bahwa wajah dan kedua telapak tangannya adalah aurat dalam pandangan (laki-laki), tidak di dalam shalat.[45]
Al Baidlawi berkata dalam tafsir firman-Nya U : Dan janganlah mereka menampakan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya,” : Dan yang dikecualikan itu adalah wajah dan kedua telapak tangan karena keduanya bukan termasuk aurat, dan yang lebih jelas ini adalah di dalam shalat bukan dalam pandangan (laki-laki), karena seluruh tubuh wanita merdeka (dalam pandangan laki-laki) adalah aurat, tidak boleh selain suami dan mahramnya melihat sedikitpun dari tubuhnya kecuali dalam keadaan darurat seperti untuk mengobati dan ketika memberikan kesaksian.[46]
Asy Syihab berkata dalam Syarahnya : dan madzhab Asy Syafii rahimahullah  sebagaimana dalam kitab Ar Raudlah dan yang lainnya adalah bahwa seluruh badan wanita adalah aurat secara muthlak termasuk wajah dan telapak tangannya, dan dikatakan (dalam pendapat yang lemah): boleh melihat wajah dan telapak tangan bila tidak hawatir fitnah. Dan berdasarkan pendapat yang pertama : Keduanya (wajah dan telapak tangan) adalah aurat kecuali di dalam shalat, maka shalat tidak batal dengan membukanya.[47]
Al Amir Al Imam Muhammad Ibnu Ismail ash Shan’ani rahimahullah berkata : Dan boleh membuka wajahnya karena tidak ada dalil yang mengharuskan menutupinya, dan maksudnya adalah membukanya di dalam shalat di kala tidak ada laki-laki yang bukan mahram melihatnya, ini adalah auratnya di dalam shalat, adapun auratnya berhubungan dengan pandangan laki-laki yang bukan mahram maka seluruh (tubuhnya) adalah aurat sebagaimana yang akan ada penjelasannya.[48]
Al Maududi rahimahullah berkata : Dan yang sangat mengherankan adalah bahwa mereka yang membolehkan perempuan membuka wajah dan kedua telapak tangannya kepada laki-laki yang bukan mahram berdalil untuk hal itu bahwa wajah dan kedua telapak tangan perempuan adalah bukan aurat, padahal sungguh jauh sekali perbedaan antara hijab dengan menutupi aurat, aurat adalah sesuatu yang tidak boleh dibuka di hadapan laki-laki mahramnya, adapun hijab adalah sesuatu di atas menutupi aurat yaitu penghalang yang menghalangi wanita dari laki-laki yang bukan mahramnya.[49]
Syaikh Abu Hisyam Ibnu Abdillah Al Anshari berkata : Janganlah seseorang terkecoh dengan ijma’ ulama atau yang menyerupai ijma’nya terhadap pengeluaran wajah dan kedua telapak tangan dari aurat, karena ruang lingkup hijab bukanlah ruang lingkup aurat, namun hanya  saja diperintahkan untuk berhijab karena hijab itu lebih bersih dan lebih suci bagi hati kaum mu’minin dan mu’minat, dan seandainya benar bahwa sikap dan perkataan mereka (para ulama yang berijma’) itu tidak selaras dan sejalan dengan perkataan wajibnya menutupi wajah dan kedua telapak tangan maka tidak diragukan lagi bahwa mereka atau banyak dari mereka kontra dengan diri mereka sendiri karena dengan terang mereka menyatakan wajibnya (menutupi wajah dan telapak tangan), dan seorang pun tidak mampu mengatakan bahwa mereka semua tidak mengetahui arti kontradiktif (tanaqudl).[50]
Doktor Muhammad Mahmud Al Hijazi berkata : Aurat wanita di dalam shalat adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, dan wanita itu seluruh tubuhnya adalah aurat dari sisi pandangan laki-laki yang bukan mahram, dan sebagian orang mengatakan : seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan selama tidak hawatir fitnah.[51]
Syaikh Muhammad Ali Ash Shabuni berkata : Perintah untuk berhijab adalah hanyalah datang setelah tegaknya perintah syari’at  akan wajibnya  menutupi aurat, maka mesti penutupan yang diperintahkan  itu melebihi terhadap batasan aurat yang wajib ditutupi, oleh sebab itu ungkapan para ahli tafsir sepakat - meskipun kata-katanya berbeda- bahwa yang dimaksud dengan jilbab adalah rida’ yang dipergunakan wanita untuk menutupi seluruh tubuhnya di atas pakaian (yang sudah dipakai)….dan maksudnya bukan hanya sekedar menutupi aurat sebagaiman yang disangka / diklaim oleh sebagian orang.[52]
Penukilan-penukilan dari ahli ilmu ini cukup untuk menetapkan perbedaan antara batasan-batasan aurat dengan batasan-batasan hijab, berdasarkan hal ini maka tidak benar apa yang dijadikan dalih oleh orang yang membolehkan sufur berupa ijma ulama atau seperti ijma mereka terhadap pengeluaran wajah dan kedua telapak tangan dari batasan aurat, maka hendaklah ini diperhatikan. Dan Allah U yang menangani hidayah anda.[53]


[1] Fathul Bariy 1/424.
[2] Lihat Al Muhalla 3/217
[3] Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an 14/243.
[4] Jami Al Ushul 6/152.
[5] Ma’aalimut Tanzil
[6] Tafsir Al Qur’anil Adhim 3/518
[7] Hijab Al Mar’ah Al Muslimah 38.
[8] Faidlul Bari 1/388.
[9] Taisir At Tafsir, Al ‘Asyru Ats Tsamin Minal Qur’an 46.
[10] Jadi jelasnya bahwa wanita muslimah memiliki tiga pakaian, diru’ (baju kurung) untuk menutupi badan dari leher sampai kaki, dan khimar (kerudung) untuk menutupi kepala, rambut dan bagian dada, serta ketiga adalah jilbab untuk menutupi atau sebagai rangkap baju kurung dan kerudung itu serta wajah, namun wajah bisa langsung ditutup dengan kerudung atau dengan kain lain seperti niqab dan burqa’. (pent)
[11] Fathul Bari 1/424.
[12] ‘Umdatul Qari 3/305.
[13] Faidlul Bari 1/388
[14] lihat Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an karya Al Qurthubi 12/310.
[15] Dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad 8/58, Al Albani berkata : Hadits ini mursal, dan dikeluarkan oleh Al Hakim 4/15, dan beliau menyebutkan syahid baginya dari hadits Anas, maka Insya Allah U  menjadi kuat ….(Hijab Al Mar’ah Al Muslimah 40)
[16] Hijab Al Mar’ah Al Muslimah  ….catatan kaki hal : 40.
[17] Jelaslah bahwa jilbab itu fungsinya untuk menutupi pakaian dalam yang berupa baju kurung dan kerudung, jadi wanita setelah memakai baju kurung dan kerudung ketika hendak keluar rumah atau ada laki-laki yang bukan mahram dia harus memakai jilbab sebagai pakaian rangkap sehingga pakaian yang dia kenakan tidak nampak bahkan tertutupi oleh jilbab itu, nah di sinilah kita bisa menilai bahwa masih banyak wanita muslimah yang sudah mampu menutupi seluruh tubuhnya namun belum sempurna dalam memakai jilbabnya (pent)
[18] Hijab Al Mar’ah Al Muslimah 39-40.
[19] Dukeluarkan oleh Adh Dhiya’ Al Maqdisi dalam Al Ahadits Al Mukhtarah 1/441, dan Imam Ahmad dalam Al Musnad 5/205, serta Ath Thabrani dalam Al Kabir 1/160.
[20] Hijabul Mar’ah Al Muslimah 60.
[21] Ini disebutkan oleh Ar Rafi’i dalam Syarhnya 4/92-105, dengan Syarh Al Muhadzdzab.
[22] Al Umm 1/78
[23] Dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad 8/48-49, dan isnadnya dishahihkan oleh Al Albani sesuai syarat  Muslim, lihat Al Hijab 62.
[24] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf, dan sanadnya dishahihkan oleh Al Albani dalam Al Hijab 62.
[25] Hijab Al Mar’ah Al Muslimah 61-62.
[26] Maksudnya firman-Nya Ta’ala,وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
[27] hijab Al Mar’ah Al Muslimah 40-42, dan nanti ada tambahan penjelasan dalam dalam ayat yang diebutkan tadi Insya Allah.
[28] Hadis shahih riwayat At Tirmidzi no :1173, lihat Raf’ul Junnah 15, Irwa’ul Ghalil no :273
[29] Al Umm1/77
[30] ‘Inayatul Qadhi 6/373, dan lihat Ruhul Ma’ani karya Al Alusi1 18/141.
[31] Minahul Jalil ‘Ala Mukhtashar Al ‘Allamah Khalil 1/133.
[32] Al Mughni 1/101.
[33] Badzlul Majhud Lihali Sunan Abi Dawud 4/301.
[34] Hijab Al mar’ah Al muslimah Wa libasuha Fishshalah : 6.
[35] Mathalib Uli An Nuha Fi Syarhi Ghayatil Muntaha 1/330.
[36] Al Inshaf Fi Ma’rifati Ar Rajih Minal Khilaf 1/452.
[37] Kasyful Qina’ ‘An Matnil ‘Iqna’ 1/243.
[38] Dinukil  darinya oleh At Tuwaijiri dalam  Ash Sharim Al Masyhur 72-73.
[39] Al Iqna’1/88.
[40] Al Iqna’ Fi Halli Alfadz Abi Syuja’ 185 Bab menutup aurat dan penjelasannya.
[41] Nailul Ma’arib Bisyarhi Dalil Ath Thalib 1/39.
[42] Al Qiyas Fi Asy syar’i Al Islami 69.
[43] As Siraj Al Munir 3/271.
[44] Mughni Al Muntaj Ila Ma’rifati Al Fadz Al Minhaj 3/129.
[45] Penjelasan dan nukilan-nukilan ini membuktikan bahwa apa yang dituturkan oleh pengarang kitab Kebebasan wanita (Yaitu Abdul Halim Abu Syuqqah) banyak tidak ilmiyyahnya dan justru banyak memotong perkataan para ulama dengan tujuan menyelaraskan dengan pendapat pengarang sendiri serta terlalu memaksakan kehendak yang tidak berlandaskan pada hujjah yang kuat, ini bisa dibuktikan jika pembaca sangat jeli dalam membacanya dan mau merujuk langsung kedalam kitab-kitab yang dijadikan rujukan pada umumnya, sunggu sangat disesalkan dan lebih menyayangkan adalah tindakan sebagian muqallidin terhadap kitab ini yang membabi buta seolah-olah kitab ini adalah satu-satunya dalam masalah ini, dan juga janganlah terkecoh dengan pujian terhadap kitab ini yang dilontarkan oleh pemberi komentarnya karena tidak ada artinya pujian orang yang banyak menolak hadits shahih karena bertentangan dengan akalnya (pent)
[46] ‘Inayatul Qadli Wa Kifayatur Radli 6/373.
[47] Ibid
[48] Subulus Salam 1/176.
[49] Tafsir surah An Nur 158.
[50] Majallatul Jami’ah As Salafiyyah, Dzul Qa’dah 1398 H hal : 69.
[51] At Tafsir Al Wadlih 18/66.
[52] Rawai’ul Bayan 2/378.
[53] Dengan penjelasan ini anda mengetahui perbedaan pakaian budak dengan wanita merdeka, dan anda juga mengetahui bahwa maksud ijma ulama akan bolehnya membuka wajah itu adalah di dalam shalat bukan dihadapan laki-laki yang bukan mahram, bahkan kalau ketika sedang shalat terus ada laki-laki yang bukan mahram memperhatikannya maka harus cepat menutup mukanya, dan justru ulama yang mengatakan wajah bukan aurat di dalam shalat mereka dengan gamblang menyatakan wajah harus ditutupi di kala ada laki-laki yang bukan mahram.
Ini adalah dalil pertama tentang hijab dari Al Qur’an berikut penafsiran para ahli tafsir dari kaum salaf dan ulama muta’akhkhirin. (pent)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar