Sobat Sobat SenjuJasrizal.blogspot.com yang baik hati,,, TERIMA KASIH TELAH MENGUNJUNGI BLOG INI... mohon maaf atas segala kekurangan, mudah-mudahan bermanfaat dan dapat sobat2ku mengambil hikmah didalamnya....^_^

Kamis, 01 November 2012

Sejarah Berdirinya Rafidhah: Tokoh Pelopor, Bagian 8


II.  KAITAN FREEMASONRY DENGAN SEJARAH REPUBLIK INDONESIA
Dalam membahas kaitan Freemasonry dengan sejarah Republik Indonesia, maka akan kita bagi dalam 2 bagian, yaitu:
  1. Hubungan Boedi Oetomo dengan Freemasonry dan Theosofi
  2. Dicabutnya Keppres nomor 264 tahun 1962, yang kemudian digantikan dengan Keppres nomor 69 tahun 2000 di masa Abdurrahman Wahid menjadi Presiden RI.
II.1. Boedi Oetomo & Freemasonry Yahudi
Dr. Th Stevens penulis buku Vrijmetselarij en Samenlaving in Nederlands Indie en Indonesie 1764-1962 (Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962) menyebutkan bahwa Freemasonry memperoleh aktualitas yang besar dengan munculnya gerakan nasionalis modern di Jawa. Kata pengantar buku ini menyebutkan dengan jelas, bahwa Freemason menjalin hubungan dengan satu organisasi politik Indonesia pertama Boedi Oetomo” (Lihat hal. XVIII dan hal. 331)
Konggres I Boedi Oetomo (3-4 Oktober 1908) di Jogjakarta
Kedekatan Boedi Oetomo dengan Freemason terlihat pada masa-masa awal Boedi Oetomodidirikan.
Kongres pertama Boedi Oetomo yang berlangsung pada 3-4 Oktober 1908 di Jogjakarta awalnya ingin dilaksanakan di Loji milik Freemason. Namun, karena loji tersebut telah lebih dulu dipakai untuk acara pameran lukisan, kongres Boedi Oetomo yang rencananya diadakan di loji tersebut urung dilaksanakan.
Adapoen roemah jang patoet akan tempat kongres itu sebetoelnya logegebouw (– bangunan loge Freemasonry, pen. –) orang Banjak di Djokja menamakan dia “roemah setan”, akan tetapi sajang pada waktu itoe roemah soedah diizinkan kepada seorang toean, akan diadakan tentoonstelling (pameran) gambar-gambar…” demikian seperti dikutip dari buku Pitut Soeharto dan Drs. A Zainoel Ihsan, ”Cahaya Di Kegelapan: Capita Selecta Kedua Boedi Oetomo dan Sarekat Islam.
Kedekatan Boedi Oetomo dengan organisasi Freemasonry dan Theosofi juga bisa dilihat setahun setelah berdirinya organisasi tersebut.
Buku “Soembangsih Gedenkboek Boedi Oetomo 1908-1918” yang diterbitkan di Amsterdam, Belanda, untuk mengenang 10 tahun berdirinya Boedi Oetomo , memuat laporan bahwa pada 16 Januari 1909, di Loge de Ster in het Oosten (Loji Bintang Timur), Batavia, ratusan anggota Boedi Oetomo berkumpul untuk mendengarkan pidato umum dari Dirk van Hinloopen Labberton, orang Belanda yang disebut oleh aktivis Boedi Oetomo sebagai “Bapak Kebatinan” yang kemudian menjadi Ketua Nederlandsche Indische Theosofische Vereeniging (Theosofi Cabang Hindia Belanda).
Dalam pertemuan di loji tersebut, Labberton memberikan ceramah berjudul “Theosofische in Verband met Boedi Oetomo” (Theosofi dalam Kaitannya dengan Boedi Oetomo).
Bukti lain mengenai kedekatan Boedi Oetomo dengan Freemasonry bisa dilihat dari kiprah Paku Alam Vyang merupakan anggota Freemason, yang banyak membantu terselenggaranya kongres Boedi Oetomo di Surakarta.
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Abdurachman Surjomihardjo, dalam Kata Pengantar buku “Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918”, karya peneliti Jepang, Akira Nagazumi, mengatakan, “Paku Alam memberikan pengaruh pada terselenggaranya kongres-kongres Boedi Oetomo, khususnya mereka yang ada hubungannya dengan gerakan Mason (Freemasonry).”
Penjelasan serupa juga ditulis Abdurrachman Surjomihardjo dalam buku “Budi Utomo Cabang Betawi” yang menyebut Paku Alam VII mengizinkan Loji Mataram dijadikan tempat kongres Boedi Oetomo kedua.
Fakta sejarah lainnya mengenai kedekatan Boedi Oetomo dengan Freemason dan Theosofi adalah pertemuan akbar yang dilakukan dalam rangka memperingati 10 tahun berdirinya Boedi Oetomopada 20 Mei 1918. Acara peringatan tersebut diadakan di Belanda, di sebuah loji milik Theosofi. Mereka yang berkumpul dalam perayaan tersebut selain para aktivis Freemason Belanda, juga dihadiri oleh tokoh-tokoh nasionalis-Jawa seperti Ki Hadjar Dewantara dan Goenawan MangoenkoesoemoSurat Kabar Oedaya pada 1923 memuat foto para aktifis Boedi Oetomo dan Theosofi dengan tulisan ”Masyarakat Indonesia Memperingati 10 Tahun Boedi Oetomo di rumah (loge, red) Theosofi, Mei 1918 di Negeri Belanda.”
Hubungan erat antara Boedi Oetomo dengan Freemason tersebut membawa dampak pada sikap keagamaan para anggota / aktivis Boedi Oetomo, dimana mereka seringkali mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang tidak semestinya terhadap Islam.
Penggagas organisasi Boedi Oetomodr. Wahidin Soediro Hoesodo adalah merupakan anggota Theosofi, sebuah perkumpulan kebatinan yang berlandaskan pada tradisiKabbala Yahudi yang didirikan oleh Helena Petrovna Blavatsky.
Anggota Theosofi-Freemason tidak percaya untuk berdo’a kepada Allooh سبحانه وتعالى, Sang Maha Pencipta. Mereka juga tidak mempercayai adanya surga dan neraka. Anggota Theosofi yang mengaku Muslim, membuat penafsiran ajaran Islam dengan pemahaman yang menyimpang. Contohnya adalah dalam sebuah majalah yang diterbitkan oleh kelompok Theosofi bernamaMajalah Pewarta Theosofie Boeat Indonesia Tahun 1930 menyebut Candi Borobudur sebagai “Baitullooh di Tanah Java”. Theosofi menganggap, antara Baitullooh di Makkah dan Baitullooh di Tanah Java sama saja nilainya.
Kemudian Majalah Bangoen yang dikelola oleh aktivis TheosofiSiti Soemandari, juga pernahmemuat ungkapan-ungkapan yang tidak patut terhadap istri-istri Rosuululloohصلى الله عليه وسلمdan syariat poligami. Selain itu, sebuah surat kabar bernama Djawi Hisworo yangdikelola oleh para penganut kebatinan Theosofi juga melakukan pernyataan yang tidak pantas terhadap pribadi Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلمPada tanggal 8 dan 11 Januari tahun 1918, Djawi Hisworo yang dipimpin oleh Marthodarshono memuat artikel yang menyebut Nabi Muhammadصلى الله عليه وسلم sebagai pemabuk dan pemadat.Pernyataan yang tidak sepantasnya inilah yang kemudian memunculkan Tentara Kanjeng Nabi Muhammaddibawah pimpinan HOS. Cokroaminoto dimana salah satu anggotanya adalah KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah.
Salah satu pimpinan Boedi Oetomo, yaitu Dr. Radjiman Wediodiningrat (yang juga merupakan tokoh yang memimpin jalannya sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang menjadi awal dari lahirnya dasar negara Indonesia (Pancasila), dengan bangga menyatakan bahwa, “Bakat dan kemampuan orang Jawa yang ada pada para aktivis Boedi Oetomo lebih unggul ketimbang ajaran Islam yang dianut oleh para aktivis Sarekat Islam.”
Pada kongres Boedi Oetomo tahun 1917, ketika umat Islam yang aktif di Boedi Oetomo meminta agar organisasi ini memperhatikan aspirasi umat Islam, Radjiman dengan tegas menolaknya. Radjiman mengatakan, “Sama sekali tidak bisa dipastikan bahwa orang Jawa di Jawa Tengah sungguh-sungguh dan sepenuhnya menganut agama Islam.”
Radjiman yang merupakan ketua Boedi Oetomo tahun 1914-1915 itu sendiri adalahanggota Freemasonry dan perhimpunan Theosofi.
Tokoh utama Boedi Oetomo yakni dr. Soetomo, dalam buku “Kenang-kenangan Dokter Soetomo” yang dihimpun oleh Paul W. van der Veur, disebutkan dr. Soetomo pernah mengatakan bahwa pemancaran zat Tuhan, “Itulah sebenarnya keyakinan saya. Itulah keyakinan yang mengalir bersama darah dalam segala urat tubuh saya. Sungguh, sesuai-sesuai benar.” (hal. 30). Soetomo juga mengatakan, “Aku dan Dia satu dalam hakikat,yakni penjelmaan Tuhan. Aku penjelmaan Tuhan yang sadar…” (hal.31).
Ini menunjukkan bahwa dr. Soetomo seorang penganut  paham sesat “Manunggaling Kawula Gusti” buatan Syech Siti Jenar.
Dr. Soetomo juga seorang penganut Theosofi; sebagaimana pengikut aliran theosofi lainnya, makadia tidak melakukan sholat lima waktu selayaknya umat Islam lainnya, melainkan melakukan semedi, meditasi, yoga, dan sebagainya. Ia lebih mementingkan “semedi” untuk mendapat ketenangan hidup, ketimbang sholat. Dengan rasa bangga, saat berpidato dalamKongres Partai Indonesia Raya (Parindra) padatahun 1937, Soetomo mengatakan, “Kita harus mengambil contoh dari bangsa-bangsa Jahudi, jang menghidupkan kembali bahasa Ibrani. Sedang bangsa Turki dan Tsjech kembali menghormati bangsanya sendiri.
Ada fakta lain yang lebih mencengangkan, bahwa dalam sebuah artikel di “Suara Umum”, sebuah media massa milik Boedi Oetomo dibawah asuhan dr. Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah “Al-Lisan” terdapat tulisan yang antara lain berbunyi,“Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu kamu Punya Kiblat!” (Al-Lisan nomor 24, 1938).
Tokoh Boedi Oetomo lainnya, yakni dr. Tjipto Mangoenkoesomo, juga dengan sinis meminta agar bangsa ini mewaspadai bahaya“Pan-Islamisme”,yaitubahaya persatuan Islam yang membentang di berbagai belahan dunia, dengan sistem dan pemerintahan Islam dibawahKhilafah Islamiyah. Pada tahun 1928, Tjipto Mangoenkoesoemo menulis surat kepada Soekarno yang isinya mengingatkan kaum muda untuk berhati-hati akan bahaya Pan-Islamisme yang menjadi agenda tersembunyi Haji Agus Salim dan HOS. Tjokroaminoto.
Demikianlah, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa gerakan-gerakan awal di Indonesia, seperti Boedi Oetomo sangat terwarnai dan dipengaruhi oleh Zionisme Yahudi dengan kepanjangan tangannya berupa Freemasonry (Tarekat Mason Bebas) yang sudah sangat menyebar diseluruh Nusantara. Banyak faktor yang menyebabkan tokoh-tokoh Nasionalis ini berpendirian demikian, salah satunya adalah pengetahuan mereka yang minim tentang politik menurut Islam (Siyassah Syar’iyyah) dan informasi bias yang mereka terima melalui literatur berbahasa Belanda dan Eropa yang tidak diimbangi dengan literatur Islam yang lengkap dan benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar