Wacana redenominasi rupiah yang muncul sejak 2010 lalu, sempat
timbul tenggelam.
Namun, kali ini pemerintah dan BI terlihat sudah sangat serius.
‘’Kuncinya adalah perekonomian yang stabil dan inflasi terkendali,’’ kata
Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution pada acara Kick Off Konsultasi
Publik Perubahan Harga Rupiah ‘’Redenominasi Bukan Sanering’’ di Jakarta, Rabu (23/1). Menurutnya, nilai tukar merupakan
salah satu parameter yang dilihat oraung pandangan atas Indonesia
jatuh. Sebab, mereka berhadapan dengan harga yang beratng asing ketika datang ke Indonesia. Karena itu, ketika ada wisawatan asing menukarkan mata uang mereka ke rupiah, persepsi terhadap Indonesia akan langsung terbentuk. ‘’Begitu dia belanja
atau membayar taksi dan mendengar harganya (atau tarifnya, red) langsus-ratus ribu,’’
paparnya. Menteri Keuangan Agus Martowardojo menambahkan, nilai tukar Indonesia
kini terendah kedua di ASEAN. Merujuk kurs tengah BI per 21 Januari 2013 lalu,
nilai tukar rupiah tercatat Rp9.680 per dolar AS. Hanya ada satu mata uang,
yakni dong Vietnam yang nilai tukarnya lebih rendah. Yaitu 20.843 dong per
dolar AS. Sedang mata uang negara ASEAN lain jauh lebih kuat dibanding rupiah. Padahal,
kata Agus, dari sisi ukuran ekonomi, Indonesia
adalah yang terbesar di ASEAN. Itu tecermin dari besaran produk
domestik bruto (PDB) RI yang mencapai 845,6 miliar dolar AS. Angka itu jauh di atas
Thailand 345,65 miliar dolar AS, Malaysia 278,68 miliar dolar AS, Singapura
259,85 miliar dolar AS dan Filipina 213,12 miliar dolar AS. ‘’Jadi nilai tukar
rupiah saat ini tidak mencerminkan kondisi fundamental ekonomi kita yang baik,’’
jelas mantan Dirut Bank Mandiri itu.
Redenominasi menurut BI adalah penyederhanaan mata
uang. Dalam skema redenominasi yang disusunpemerintah dan BI, angka pecahan
rupiah akan disederhanakan dengan menghilangkan tiga angka nol. Misalnya, uang
Rp1.000 nanti setelah redenominasi akan jadi Rp1. Uang Rp100.000 akan jadi
Rp100.
Dengan catatan, meski angka nominalnya beda, nilai uang tetap
sama. Agus menambahkan, redenominasi akan dilakukan bertahap agar tak terjadi
salah persepsi di masyarakat. Sebab, redenominasi beda dengan sanering atau pemotongan nilai uang. ‘’Ini harus benar-benar dipahami
agar tidak terjadi salah paham dan resistensi (penolakan) di masyarakat,’’ katanya.
Kunci dari redenominasi adalah penyederhanaan nominal
uang yang
disertai penyederhanaan harga barang/ jasa. Sebagai gambaran,
kini harga sebuah
tas Rp100.000. Ketika terjadi redenominasi, uang Rp100.000 akan disederhanakan
jadi Rp100, saat itu pula harga tas tersebut akan jadi Rp100. Sedang dalam
kasus sanering, ketika uang jadi Rp100, harga tas tetap Rp100.000.
‘’Jadi, redenominasi tidak akan mengurangi daya beli,’’ jelasnya. Apa keuntungan
redenominasi? Darmin menjawab itu akan sangat bermanfaat dalam akuntansi atau pencatatan
keuangan. Misalnya, dalam dunia bisnis ataupun penyusunan anggaran negara,
nilainya sudah
mencapai triliunan. Itu artinya terdapat lebih dari 12 digit
angka. ‘’Dengan redenominasi, penulisan akan lebih sederhana karena tiga
(angka) nol dihilangkan,’’
ujarnya. Demikian pula dalam keseharian masyarakat. ‘’Karena
perhitungannya jauh lebih sederhana,’’ katanya. Kapan dimulai? Darmin menyebut,
tahapan redenominasi setidaknya perlu 6-12 tahun. Sehingga, tahapan itu paling
cepat akan tuntas pada 2019. ‘’Kalau realisasinya, tergantung implementasi di lapangan,’’
ujarnya. Setelah konsultasi dan sosialisasi publik, pada 2014 BI akan
menerbitkan mata uang yang sama dengan mata uang beredar saat ini, hanya tiga
angka nol akan dihilangkan. Misalnya, mata uang pecahan Rp100.000 nanti akan
diterbitkan dalam
tampilan yang sama, hanya tulisannya jadi Rp100. Sehingga, nanti
di masyarakat akan beredar dua mata uang yang tampilannya sama, tapi angka
nol-nya beda. Setelah itu, secara bertahap BI akan menarik uang-uang lama.
Setelah itu baru BI akan menerbitkan uang yang benar-benar baru tampilannya
dengan tiga digit nol yang sudah dikurangi.
Sumber: majalah riaupos
Tidak ada komentar:
Posting Komentar