Jend. Besar TNI Purn. Haji Muhammad Soeharto, (ER, EYD:
Suharto) (lahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo,
Kecamatan Sedayu,Bantul, Yogyakarta, 8 Juni 1921 – meninggal
di Jakarta, 27 Januari 2008 pada umur 86
tahun adalah Presiden Indonesia yang kedua (1967-1998),
menggantikan Soekarno.
Di dunia internasional, terutama di Dunia Barat, Soeharto sering dirujuk dengan sebutan populer
"The Smiling General" (bahasa Indonesia: "Sang Jenderal yang Tersenyum") karena raut
mukanya yang selalu tersenyum di muka persdalam
setiap acara resmi kenegaraan. Sebelum menjadi presiden, Soeharto adalah
pemimpin militer pada masa pendudukan Jepang dan Belanda, dengan pangkat
terakhir Mayor Jenderal. Setelah Gerakan 30 September, Soeharto
menyatakan
bahwa PKI adalah pihak yang bertanggung jawab
dan memimpin operasi untuk menumpasnya. Operasi ini menewaskan lebih dari
500.000 jiwa. Soeharto kemudian mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, dan
resmi menjadi presiden pada tahun 1968. Ia dipilih kembali oleh MPRpada
tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993,
dan 1998.
Pada tahun 1998, masa jabatannya berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan
gedung DPR/MPR oleh
ribuan mahasiswa. Ia merupakan orang Indonesia terlama dalam jabatannya sebagai
presiden. Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie.
Peninggalan Soeharto masih diperdebatkan sampai saat ini. Dalam masa
kekuasaannya, yang disebut Orde Baru, Soeharto membangun negara yang stabil dan mencapai
kemajuan ekonomi dan infrastruktur. Suharto juga membatasi kebebasan
warganegara Indonesia keturunan Tionghoa,
menduduki Timor Timur, dan dianggap sebagai rezim paling korupsi
sepanjang masa dengan jumlah $AS 15 miliar sampai $AS 35 miliar. Usaha untuk mengadili Soeharto gagal karena kesehatannya
yang memburuk. Setelah menderita sakit berkepanjangan, ia meninggal karena kegagalan
organ multifungsi di Jakarta pada
tanggal 27 Januari 2008.
Masa
Kecil
Pada 8 Juni 1921,
Sukirah melahirkan bayi laki-laki di rumahnya yang sederhana di Dusun Kemusuk,
Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Kelahiran itu dibantu dukun bersalin bernama Mbah
Kromodiryo yang juga adik kakek Sukirah, Mbah Kertoirono. Oleh ayahnya,
Kertoredjo alias Wagiyo alias Panjang alias Kertosudiro bayi laki-laki itu
diberi nama Soeharto. Dia adalah anak ketiga Kertosudiro dengan Sukirah yang
dinikahinya setelah lama menduda. Dengan istri pertama, Kertosudiro yang
menjadi petugas pengatur air desa atau ulu-ulu, dikaruniai dua anak. Perkawinan
Kertosudiro dan Sukirah tidak bertahan lama. Keduanya bercerai tidak lama
setelah Soeharto lahir. Sukirah menikah lagi dengan Pramono dan dikaruniai
tujuh anak, termasuk putra kedua, Probosutedjo. Belum genap 40 hari, bayi Soeharto dibawa ke
rumah Mbah Kromo karena ibunya sakit dan tidak bisa menyusui. Mbah Kromo
kemudian mengajari Soeharto kecil untuk berdiri dan berjalan. Soeharto juga
sering diajak ke sawah. Sering, Mbah Kromo menggendong Soeharto kecil di
punggung ketika sedang membajak sawah. Kenangan itu tidak pernah dilupakan
Soeharto. Terlebih ketika kakeknya memberi komando pada kerbau saat membajak
sawah. Karena dari situlah, Soeharto belajar menjadi pemimpin. Soeharto juga
suka bermain air, mandi lumpur atau mencari belut.
Ketika semakin besar, Soeharto tinggal bersama kakeknya, Mbah
Atmosudiro, ayah dari ibunya. Soeharto sekolah ketika berusia delapan tahun,
tetapi sering berpindah. Semula disekolahkan di Sekolah Dasar (SD) di Desa
Puluhan, Godean. Lalu, pindah ke SD Pedes (Yogyakarta) lantaran ibu dan ayah
tirinya, Pramono pindah rumah ke Kemusuk Kidul. Kertosudiro kemudian
memindahkan Soeharto ke Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah. Soeharto dititipkan
di rumah bibinya yang menikah dengan seorang mantri tani bernama
Prawirowihardjo. Soeharto diterima sebagai putra paling tua dan diperlakukan
sama dengan putra-putri Prawirowihardjo. Soeharto kemudian disekolahkan dan
menekuni semua pelajaran, terutama berhitung. Dia juga mendapat pendidikan agama
yang cukup kuat dari keluarga bibinya. Kegemaran bertani tumbuh selama Soeharto
menetap di Wuryantoro. Di bawah bimbingan pamannya yang mantri tani, Soeharto
menjadi paham dan menekuni pertanian. Sepulang sekolah, Soeharto belajar
mengaji di langgar bersama teman-temannya. Belajar mengaji bahkan dilakukan
sampai semalam suntuk. Ia juga aktif di kepanduan Hizbul Wathan dan mulai
mengenal para pahlawan seperti Raden Ajeng Kartini dan Pangeran Diponegoro dari
sebuah koran yang sampai ke desa. Setamat Sekolah Rendah (SR) empat tahun,
Soeharto disekolahkan oleh orang tuanya ke sekolah lanjutan rendah di Wonogiri.
Setelah berusia 14 tahun, Soeharto tinggal di rumah Hardjowijono. Pak
Hardjowijono adalah teman ayahnya yang pensiunan pegawai kereta api. Hardjowijono
juga seorang pengikut setia Kiai Darjatmo, tokoh agama terkemuka di Wonogiri
waktu itu. Karena sering diajak, Soeharto sering membantu Kiai Darjatmo membuat
resep obat tradisional untuk mengobati orang sakit. Soeharto kembali ke kampung
asalnya, Kemusuk untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Muhammadiyah di Yogyakarta. Itu dilakukannya karena di sekolah itu siswanya
boleh mengenakan sarung dan tanpa memakai alas kaki (sepatu).
Setamat SMP, Soeharto sebenarnya ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih
tinggi. Apa daya, ayah dan keluarganya yang lain tidak mampu membiayai karena
kondisi ekonomi. Soeharto pun berusaha mencari pekerjaan ke sana ke mari, namun
gagal. Ia kembali ke rumah bibinya di Wuryantoro. Di sana, ia diterima sebagai
pembantu klerek pada sebuah Bank Desa (Volk-bank). Tidak lama kemudian, dia
minta berhenti. Suatu hari pada tahun 1942, Soeharto membaca pengumuman
penerimaan anggota Koninklijk Nederlands Indisce Leger (KNIL). KNIL adalah
tentara kerajaan Belanda. Ia mendaftarkan diri dan diterima menjadi tentara.
Waktu itu, ia hanya sempat bertugas tujuh hari dengan pangkat sersan, karena
Belanda menyerah kepada Jepang. Sersan Soeharto kemudian pulang ke Dusun
Kemusuk. Justru di sinilah, karier militernya dimulai.
Karir Militer
Pada 1 Juni 1940,
ia diterima sebagai siswa di sekolah militer di Gombong, Jawa Tengah. Setelah enam bulan menjalani latihan dasar, ia
tamat sekolah militer sebagai lulusan terbaik dan menerima pangkat kopral. Ia
terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong serta resmi
menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945.
Dia bergabung dengan pasukan kolonial Belanda, KNIL.
Saat Perang Dunia II berkecamuk
pada 1942,
ia dikirim ke Bandung untuk menjadi tentara cadangan di
Markas Besar Angkatan Darat selama seminggu. Setelah berpangkat sersan tentara
KNIL, dia kemudian menjadi komandan peleton,
komandan kompi di dalam militer yang disponsori Jepang yang dikenal sebagai tentara PETA, komandan resimen dengan pangkat mayor, dan komandan
batalyon berpangkat letnan kolonel. Setelah Perang
Kemerdekaan berakhir,
ia tetap menjadi Komandan Brigade Garuda Mataram dengan pangkat letnan kolonel.
Ia memimpin Brigade Garuda Mataram dalam operasi penumpasan pemberontakan Andi
Azis di Sulawesi. Kemudian, ia ditunjuk sebagai Komadan APRIS (Angkatan Perang
Republik Indonesia Serikat) Sektor Kota Makassar yang bertugas mengamankan kota
dari gangguan eks KNIL/KL.
Pada 1 Maret 1949,
ia ikut serta dalam serangan umum yangberhasil menduduki Kota Yogyakarta selama
enam jam. Inisiatif itu muncul atas saran Sri Sultan Hamengkubuwono
IXkepada Panglima
Besar Soedirman bahwa
Brigade X pimpinan Letkol Soeharto segera melakukan serangan umum di Yogyakarta
dan menduduki kota itu selama enam jam untuk membuktikan bahwa Republik
Indonesia (RI) masih ada. Pada usia sekitar 32 tahun, tugasnya dipindahkan ke
Markas Divisi dan diangkat menjadi Komandan Resimen Infenteri 15 dengan pangkat
letnan kolonel (1 Maret 1953). Pada 3 Juni1956,
ia diangkat menjadi Kepala Staf Panglima Tentara dan Teritorium IV Diponegoro
di Semarang. Dari Kepala Staf, ia diangkat sebagai pejabat Panglima Tentara dan
Teritorium IV Diponegoro. Pada 1 Januari 1957, pangkatnya dinaikkan menjadi
kolonel. Lembaran hitam juga sempat mewarnai lembaran kemiliterannya. Ia
dipecat oleh Jenderal Nasution sebagai Pangdam Diponegoro. Peristiwa
pemecatan pada 17 Oktober 1959 tersebut akibat ulahnya yang diketahui
menggunakan institusi militernya untuk meminta uang dari perusahaan-perusahan
di Jawa Tengah. Kasusnya hampir dibawa ke pengadilan militer oleh
Kolonel Ahmad Yani[rujukan?].
Atas saran Jendral Gatot Subroto saat
itu, dia dibebaskan dan dipindahkan ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD)
di Bandung,Jawa Barat. Pada usia 38 tahun, ia mengikuti kursus C SSKAD
(Sekolah Staf dan Komando AD) di Bandung dan pangkatnya dinaikkan menjadi
brigadir jenderal pada 1 Januari 1960.
Kemudian, dia diangkat sebagai Deputi I Kepala Staf Angkatan Darat di usia 39
tahun.
Pada 1 Oktober 1961,
jabatan rangkap sebagai Panglima Korps Tentara I Caduad (Cadangan Umum AD) yang
telah diembannya ketika berusia 40 tahun bertambah dengan jabatan barunya
sebagai Panglima Kohanudad (Komando Pertahanan AD). Pada tahun 1961 tersebut,
ia juga mendapatkan tugas sebagai Atase Militer Republik Indonesia di Beograd, Paris(Perancis),
dan Bonn (Jerman).
Di usia 41 tahun, pangkatnya dinaikkan menjadi mayor jenderal (1 Januari 1962)
dan menjadi Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dan merangkap
sebagai Deputi Wilayah Indonesia Timur di Makassar. Sekembalinya dari Indonesia
Timur, Soeharto yang telah naik pangkat menjadi mayor jenderal, ditarik ke
markas besar ABRI oleh Jenderal A.H. Nasution. Di pertengahan tahun 1962,
Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat
(Kostrad) hingga 1965.
Sekitar setahun kemudian, tepatnya, 2 Januari 1962,
Brigadir Jenderal Soeharto diangkat sebagai Panglima Komando Mandala Pembebasan
Irian Barat. Mayor Jenderal Soeharto dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan
Darat dan segera membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya.
Setelah diangkat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad)
pada 1 Mei 1963,
ia membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib)
untuk mengimbangi G-30-S yang berkecamuk pada 1 Oktober 1965.
Dua hari kemudian, tepatnya 3 Oktober 1965,
Mayjen Soeharto diangkat sebagai Panglima Kopkamtib. Jabatan ini memberikan
wewenang besar untuk melakukan pembersihan terhadap orang-orang yang dituduh
sebagai pelaku G-30-S/PKI.
Pemerintahan
Pada pagi hari 1 Oktober 1965, beberapa pasukan
pengawal Kepresidenan, Tjakrabirawa di bawah Letnan Kolonel Untung
Syamsuri bersama pasukan lain menculik dan membunuh enam orang
jendral. Pada peristiwa itu Jendral A.H. Nasution yang
menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Hankam dan Kepala Staf Angkatan
Bersenjata berhasil lolos. Satu yang terselamatkan, yang tidak menjadi target
dari percobaan kudeta adalah Mayor Jendral Soeharto, meski menjadi sebuah
pertanyaan apakah Soeharto ini terlibat atau tidak dalam peristiwa yang dikenal
sebagai G-30-S itu. Beberapa sumber
mengatakan, Pasukan Tjakrabirawa yang terlibat itu menyatakan bahwa mereka
mencoba menghentikan kudeta militer yang didukung oleh CIA yang direncanakan
untuk menyingkirkan Presiden Soekarno dari kekuasaan pada "Hari
ABRI", 5 Oktober 1965 oleh badan militer yang lebih dikenal sebagai Dewan
Jenderal.
Peristiwa ini segera ditanggapi oleh Mayjen
Soeharto untuk segera mengamankan Jakarta,
menurut versi resmi sejarah pada masa Orde Baru,
terutama setelah mendapatkan kabar bahwa Letjen Ahmad Yani, Menteri / Panglima
Angkatan Darat tidak diketahui keberadaannya. Hal ini sebenarnya berdasarkan
kebiasaan yang berlaku di Angkatan Darat bahwa bila Panglima Angkatan Darat
berhalangan hadir, maka Panglima Kostrad yang menjalankan tugasnya. Tindakan
ini diperkuat dengan turunnya Surat Perintah yang dikenal sebagai Surat
Perintah 11 Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno yang memberikan kewenangan
dan mandat kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan untuk memulihkan
keamanan dan ketertiban. Langkah yang diambil Soeharto adalah segera
membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sekalipun sempat ditentang Presiden
Soekarno, penangkapan sejumlah menteri yang diduga terlibat G-30-S
(Gerakan 30 September). Tindakan ini menurut pengamat internasional dikatakan
sebagai langkah menyingkirkan Angkatan Bersenjata Indonesia yang pro-Soekarno
dan pro-Komunis yang justru dialamatkan kepada Angkatan Udara Republik
Indonesia di mana jajaran pimpinannya khususnya Panglima Angkatan Udara
Laksamana Udara Omar Dhani yang dinilai pro Soekarno dan
Komunis, dan akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerahkan kekuasaan eksekutif.
Tindakan pembersihan dari unsur-unsur komunis (PKI)
membawa tindakan penghukuman mati anggota Partai Komunis di Indonesia yang
menyebabkan pembunuhan sistematis sekitar 500 ribu "tersangka
komunis", kebanyakan warga sipil, dan kekerasan terhadap minoritas Tionghoa Indonesia. Soeharto dikatakan menerima
dukungan CIA dalam
penumpasan komunis. Diplomat Amerika 25 tahun kemudian mengungkapkan bahwa
mereka telah menulis daftar "operasi komunis" Indonesia dan telah
menyerahkan sebanyak 5.000 nama kepada militer Indonesia. Been Huang, bekas anggota
kedutaan politik AS di Jakarta mengatakan di 1990 bahwa: "Itu merupakan
suatu pertolongan besar bagi Angkatan Bersenjata. Mereka mungkin membunuh
banyak orang, dan saya kemungkinan memiliki banyak darah di tangan saya, tetapi
tidak seburuk itu. Ada saatnya di mana anda harus memukul keras pada saat yang
tepat." Howard Fenderspiel, ahli Indonesia di State Department's
Bureau of Intelligence and Researchdi 1965: "Tidak ada yang peduli,
selama mereka adalah komunis, bahwa mereka dibantai. Tidak ada yang bekerja
tentangnya."1 Dia mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dalam
rangka membebaskan sumber daya di militer.
Setelah dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan
Darat pada 14 Oktober 1965, ia segera
membubarkan PKI dan ormas-ormasnya. Tepat11 Maret 1966, dia menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)
dari Presiden Soekarno melalui tiga jenderal, yaitu Basuki Rachmat, Amir
Machmud, dan M Yusuf. Isi Supersemar adalah memberikan kekuasaan kepada
Soeharto untuk dan atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Panglima Besar
Revolusi agar mengambil tindakan yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan,
ketenangan, serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi.
Sehari kemudian, 12 Maret 1966, Menpangad Letjen Soeharto membubarkan PKI dan
menyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia. Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI,
Sidang Istimewa MPRS pada Maret 1967, Soeharto yang telah menerima kenaikan
pangkat sebagai jenderal bintang empat pada 1 Juli 1966 ditunjuk sebagai pejabat presiden
berdasarkan Tap MPRS No XXXIII/1967 pada 22 Februari 1967.
Selaku pemegang Ketetapan MPRS No XXX/1967, Soeharto kemudian menerima
penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno. Melalui Sidang
Istimewa MPRS, pada 7 Maret 1967,
Soeharto ditunjuk sebagai pejabat presiden sampai terpilihnya presiden oleh MPR
hasil pemilihan umum.
Jenderal Soeharto ditetapkan sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 setelah pertanggungjawaban Presiden
Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS. Kemudian, Soeharto menjadi presiden
sesuai hasil Sidang Umum MPRS (Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968) pada 27 Maret1968.
Selain sebagai presiden, ia juga merangkap jabatan sebagai Menteri
Pertahanan/Keamanan. Pada 1 Juni 1968 Lama. Mulai saat ini dikenal istilah Orde Baru. Susunan kabinet yang diumumkan pada 10 Juni
1968 diberi nama Kabinet Pembangunan "Rencana Pembangunan Lima Tahun"
I. Pada 15 Juni 1968, Presiden Soeharto membentuk Tim Ahli Ekonomi Presiden
yang terdiri atas Prof Dr Widjojo Nitisastro, Prof Dr Ali Wardhana, Prof Dr Moh
Sadli, Prof Dr Soemitro Djojohadikusumo, Prof Dr Subroto, Dr Emil Salim, Drs
Frans Seda, dan Drs Radius Prawiro.
Pada 3 Juli 1971,
presiden mengangkat 100 anggota DPR dari Angkatan Bersenjata dan memberikan 9
kursi wakil Provinsi Irian Barat untuk wakil dari Golkar. Setelah menggabungkan
kekuatan-kekuatan partai politik, Soeharto dipilih kembali menjadi presiden
oleh Sidang Umum MPR (Tap MPR No IX/MPR/1973) pada 23 Maret 1973 untuk jabatan
yang kedua kali. Saat ini, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendampinginya sebagai
wakil presiden.
Pada usia 55 tahun, Soeharto memasuki masa pensiun dari dinas militer
(Keprres No 58/ABRI/1974). Pencapaian puncak di dunia politik turut melengkapi
kisahnya hidupnya sebagai seorang penguasa. Setelah mencapai posisi pucuk di
republik, geliat kekuasaanya mulai menampakkan taringnya. Pada 20 Januari 1978,
Presiden Soeharto melarang terbit tujuh surat kabar, yaitu Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The
Indonesian Times, Sinar Pagi,
dan Pos Sore.
Beberapa di antaranya kemudian meminta maaf kepada Soeharto. Pada 22 Maret 1978,
Soeharto dilantik kembali presiden untuk periode ketiga kalinya dan Adam Malik
sebagai wakil presiden. Sidang Umum MPR 1 Maret 1983 memutuskan memilih kembali
Soeharto sebagai presiden dan Umar Wirahadikusumah sebagai wakil presiden.
Melalui Tap MPR No V tahun 1983, MPR mengangkat Soeharto sebagai Bapak
Pembangunan Republik Indonesia. Pada 16 Maret 1983,
Presiden Soeharto mengumumkan susunan Kabinet Pembangunan IV yang terdiri atas
21 menteri, tiga menteri koordinator, delapan menteri muda, dan tiga pejabat
setingkat menteri. Pada 1 Januari 1984,
Presiden Soeharto mengisi formulir keanggotaan Golkar dan sejak itu ia resmi
menjadi anggota Golkar. Beberapa pengamat politik baik dalam negeri maupun luar
negeri mengatakan bahwa Soeharto membersihkan parlemen dari komunis,
menyingkirkan serikat buruh dan
meningkatkansensor. Dia juga memutuskan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina dan menjalin hubungan dengan negara
barat dan PBB.
Dia menjadi penentu dalam semua keputusan politik.
Jendral Soeharto dikatakan meningkatkan dana militer dan mendirikan dua
badan intelijen - Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib)
dan Badan Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin). Sekitar 2 juta orang
dieksekusi dalam pembersihan massal dan lebih dari 200.000
ditangkap hanya karena dicurigai terlibat dalam kudeta. Banyak komunis,
tersangka komunis dan yang disebut "musuh negara"
dihukum mati (meskipun beberapa hukuman ditunda sampai 1990).
Diduga bahwa daftar tersangka komunis diberikan ke tangan Soeharto oleh CIA.
Sebagai tambahan, CIA melacak nama dalam daftar ini ketika
rezim Soeharto mulai mencari mereka. Dukungan yang tidak dibicarakan ini dari Pemerintah
Amerika Serikat untuk
rezim Soeharto tetap diam sampai invasi Timor Timur, dan terus berlangsung sampai akhir 1990-an.
Karena kekayaan sumber daya alamnya dan populasi konsumen yang besar, Indonesia dihargai sebagai rekan dagang Amerika Serikat dan
begitu juga pengiriman senjata tetapi dipertahankan ke rezim Soeharto. Ketika
Soeharto mengumjungi Washington pada 1995 pejabat administratif Clinton dikutip
di New York Times mengatakan
bahwa Soeharto adalah "orang seperti kita" atau "orang golongan
kita".
Pada 12 Maret 1967 Soeharto diangkat sebagai Pejabat
Presiden Indonesia oleh MPR Sementara. Setahun kemudian, pada 27 Maret 1968 dia resmi diangkat sebagai Presiden
untuk masa jabatan lima tahun yang pertama. Dia secara langsung menunjuk 20%
anggota MPR. Partai Golkar menjadi partai favorit dan
satu-satunya yang diterima oleh pejabat pemerintah.Indonesia juga menjadi salah satu pendiri ASEAN.
Ekonomi Indonesia benar-benar amburadul di pertengahan 1960-an. Soeharto pun
kemudian meminta nasihat dari tim ekonom hasil didikan Barat yang banyak
dikenal sebagai "mafia Berkeley". Tujuan jangka pendek
pemerintahan baru ini adalah mengendalikan inflasi, menstabilkan nilai rupiah,
memperoleh hutang luar negeri, serta mendorong masuknya investasi asing. Dan
untuk satu hal ini, kesuksesan mereka tidak bisa dipungkiri. Peran Sudjono
Humardani sebagai
asisten finansial besar artinya dalam pencapaian ini. Di bidang sosial politik,
Soeharto menyerahkannya kepada Ali Murtopo sebagai asisten untuk
masalah-masalah politik. Menghilangkan oposisi dengan melemahkan kekuatan
partai politik dilakukan melalui fusi dalam
sistem kepartaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar