Secara
geografis kawasan Laut Cina Selatan dikelilingi sepuluh negara pantai (RRC dan
Taiwan, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei
Darussalam, Filipina), serta negara tak berpantai yaitu Laos, dan dependent
territory yaitu Makau. Luas perairan Laut Cina Selatan mencakup Teluk Siam yang
dibatasi Vietnam, Kamboja, Thailand dan Malaysia serta Teluk Tonkin yang
dibatasi Vietnam dan RRC.
Kawasan laut Cina Selatan, bila dilihat dalam tata
lautan internasional merupakan kawasan bernilai ekonomis, politis dan
strategis. Kawasan ini menjadi sangat penting karena kondisi potensi
geografisnya maupun potensi sumber daya alam yang dimilikinya. Selain itu,
kawasan tersebut merupakan jalur pelayaran dan komunikasi internasional (jalur
lintas laut perdagangan internasional), sehingga menjadikan kawasan itu
mengandung potensi konflik sekaligus potensi kerjasama.
Laut Cina Selatan sendiri terdapat empat kelompok
gugusan kepulauan, dan karang-karang yaitu: Paracel, Spartly, Pratas, dan
kepulauan Maccalesfield. Meskipun sengketa teritorial di Laut Cina Selatan
tidak terbatas pada kedua gugusan kepulauan Spartly dan paracel, (misalnya
perselisihan mengenai Pulau Phu Quac di Teluk Thailand antara Kamboja dan
Vietnam), namun klaim multilateral Spartly dan Paracel lebih menonjol karena
intensitas konfliknya. Di antara kedua kepulauan itu, permasalahannya lebih
terpusat pada Spartly, yang merupakan gugus kepulauan yang mencakup bagian laut
Cina Selatan, yang diklaim oleh enam negara yaitu Cina, Taiwan, Vietnam,
Brunei, Filipina, dan Malaysia, sementara
Kepulauan Paracel dan juga Pratas,
praktis secara efektif masing-masing sudah berada di bawah kendali Cina dan
Taiwan.
Mengenai
penamaan Kepulauan di Laut Cina Selatan umumnya tergantung atas klaimnya,
Taiwan misalnya menamakan Kepulauan Spartly dengan Shinnengunto, Vietnam
menyebut dengan Truong Sa (Beting Panjang), Filipina menyebut Kalayaan
(kemerdekaan), Malaysia menyebut dengan Itu Aba dan Terumbu Layang-layang,
sedangkan RRC lebih suka menyebut Nansha Quadao (kelompok Pulau Selatan).
Masyarakat internasional menyebutnya Kepulauan Spartly yang berarti burung
layang-layang.
a.
Latar
Belakang Sengketa
Sengketa
teritorial di kawasan laut Cina Selatan khususnya sengketa atas kepemilikan
Kepulauan Spartly dan Kepulauan Paracel mempunyai perjalanan sejarah konflik
yang panjang. Sejarah menunjukkan bahwa, penguasaan kepulauan ini telah
melibatkan banyak negara diantaranya Inggris, Prancis, Jepang, RRC, Vietnam,
yang kemudian melibatkan pula Malaysia, Brunei, Filipina dan Taiwan. Sengketa
teritorial di kawasan laut Cina Selatan bukan hanya terbatas pada masalah
kedaulatan atas kepemilikan pulau-pulau, tetapi juga bercampur dengan masalah
hak berdaulat atas Landas Kontinen dan ZEE serta menyangkut masalah penggunaan
teknologi baru penambangan laut dalam (dasar laut) yang menembus kedaulatan
negara.
Sengketa
teritorial dan penguasaan kepulauan di Laut Cina Selatan, diawali oleh tuntutan
Cina atas seluruh pulau-pulau di kawasan laut Cina Selatan yang mengacu pada
catatan sejarah, penemuan situs, dokumen-dokumen Kuno, peta-peta, dan
penggunaan gugus-gugus pulau oleh nelayannya. Menurut Cina, sejak 2000 tahun
yang lalu, Laut Cina Selatan telah menjadi jalur pelayaran bagi mereka. Beijing
menegaskan, yang pertama menemukan dan menduduki Kepulauan Spartly adalah Cina,
didukung bukti-bukti arkeologis Cina dari Dinasti Han (206-220 Sebelum Masehi).
Namun Vietnam membantahnya, dan mengganggap Kepulauan Spartly dan Paracel
adalah bagian dari wilayah Kedaulatannya. Vietnam menyebutkan Kepulauan Spartly
dan Paracel secara efektif didudukinya sejak abad ke 17 ketika kedua kepulauan
itu tidak berada dalam penguasaan sesuatu negara. Dalam perkembangannya, Vietnam tidak mengakui wilayah kedaulatan
Cina di kawasan tersebut, sehingga pada saar Perang Dunia II berakhir Vietnam
Selatan menduduki Kepulauan Paracel, termasuk beberapa gugus pulau di Kepulauan
Spartly. Selain Vietnam Selatan, Kepulauan spartly juga diduduki oleh Taiwan
(sejak Perang Dunia II) dan Filipina (tahun 1971).
Filipina
menduduki kelompok gugus pulau di bagian Timur kepulauan Spartly yang disebut
sebagai Kelayaan. Tahun 1978 menduduki lagi gugus pulau Panata. Alasan Filipina
menduduki kawasan tersebut karena kawasan ritu merupakan tanah yang tidak
sedang dimiliki oleh negara-negara manapun (kososng).Filipina juga menunjuk
Perjanjian Perdamaian San Francisco 1951, yang antara lain menyatakan, Jepang
telah melepaskan haknya terhadap Kepulauan Spartly, mengemukakan diserahkan
kepada negara mana.
Malaysia juga menduduki beberapa gugus pulau Kepulauan Spartly, yang dinamai Terumbu Layang. Menurut Malaysia, Langkah itu diambil berdasarkan Peta Batas Landas Kontinen Malaysia tahun 1979, yang mencakup sebagian dari Kepulauan Spartly. Dua kelompok gugus pulau lain, juga diklaim Malaysia sebagai wilayahnya yaitu Terumbu laksamana diduduki oleh Filipina dan Amboyna diduduki Vetnam. Sementara, Brunei Darussalam yang memperoleh kemerdekaan secara penuh dari Inggris 1 Januari 1984 kemudian juga ikut mengklaim wilayah di Kepulauan Spratly. Namun, Brunei hanya mengklaim peraian dan bukan gugus pulau.
Malaysia juga menduduki beberapa gugus pulau Kepulauan Spartly, yang dinamai Terumbu Layang. Menurut Malaysia, Langkah itu diambil berdasarkan Peta Batas Landas Kontinen Malaysia tahun 1979, yang mencakup sebagian dari Kepulauan Spartly. Dua kelompok gugus pulau lain, juga diklaim Malaysia sebagai wilayahnya yaitu Terumbu laksamana diduduki oleh Filipina dan Amboyna diduduki Vetnam. Sementara, Brunei Darussalam yang memperoleh kemerdekaan secara penuh dari Inggris 1 Januari 1984 kemudian juga ikut mengklaim wilayah di Kepulauan Spratly. Namun, Brunei hanya mengklaim peraian dan bukan gugus pulau.
Klaim tumpang
tindih tersebut mengakibatkan adanya pendudukan terhadap seluruh wilayah kepulauan
bagian Selatan kawasan Laut Cina Selatan. Sampai saat ini, negara yang aktif
menduduki disekitar kawasan ini adalah Taiwan, Vietnam, Filipina, dan Malaysia.
Sementara RRC sendiri baru menguasai kepulauan tersebut pada tahun 1988, secara
agresif membangun konstruksi dan instalansi militer serta menghadirkan
militernya secara rutin di kepulauan tersebut. Pada momentum yang bersamaan RRC melakukan pendekatan terhadap
Filipina dan malaysia untuk mencari penyelesaian sengketa atas Kepulauan
Spratly secara damai. Pada waktu itu beberapa negara yang mengklaim laut Cina
Selatan telah sepakat untuk tidak menggunakan senjata sebagai alat penyelesaian
sengketa. Akan tetapi RRC mengadakan pendekatan kepada kedua negara tersebut,
RRC terus bersikeras memperkuat kehadirannya di kepulauan Spralty dengan
meningkatkan sejumlah tentaranya di pulau kecil yang lain di kawasan Laut Cina
Selatan.
Sikap dan
tindakan RRC itu merupakan bentuk frontal penolakan terhadap serentetan protes
yang dilakukan Vietnam dan seru-seruan agar diadakan perundingan-perundingan
mengenai Kepulauan Spratly. Hal ini semakin jelas karena RRC berusaha
mengukuhkan kehadirannya di Laut Cina Selatan, secara de jure, dengan
mengeluarkan Undang-Undang tentang Laut Teritorial dan Contiguous Zone pada tanggal
25 Febuari 1992, dan telah diloloskan Parlemen Cina yang memasukkan Kepulauan
Spratly sebagai wilayahnya, sedang de facto, Cina telah memperkuat kehadiran
militernya di kawasan tersebut, serta melakukan modernisasi kekuatan pertahanan
menuju ke arah tercapainya armada samudra.
Demikianlah, persengketaan teritorial ini menciptakan potensi konflik
yang luar biasa besar di sepanjang kawasan Asia Pasifik. Dengan kondisi seperti
ini, masalah penyelesaian sengketa teritorial di Laut Cina Selatan tampaknya semakin
rumit dan membutuhkan mekanisme pengelolaan yang lebih berhati-hati agar tidak
menimbulkan ekses-ekses instabilitas di kawasan.
b. Sengketa Bilateral (Bilateral Dispute)
Pada
perkembangannya perebuatan wilayah seputar Laut Cina Selatan semakin memanas,
dan konflik-konflik bilateral tidak dapat dihindarkan. Sengeketa Bilateral ini
tidak dapat dianggap sepele, karena pada akhirnya akan menimbulkan ketegangan
bagi negara-negara sekitarnya. Sengketa
antara RRC dan Vietnam misalnya. Sengketa dua negara ini dianggap yang paling
lama dan keras, bahkan pernah berubah menjadi bentrokan senjata, pada tahun
1974 di Paracel. Konflik RRC-Vietnam ini juga dilatarbelakangi persaingan
strategis, baik dalam konteks Timur-Barat dalam kasus RRC-Vietnam Selatan,
mapun dalam konteks persaingan regional, dalam kasus Vietnam (setelah bersatu)
– RRC. Sengketa antara dua negara dini diperuncing dengan konflik teritorial
mereka di wilayah lain.
Konflik
Malaysia-Filipina, berawal pada tahun 1979 ketika Malaysia menerbitkan Peta Baru
dimana Landas Kontinennya mencakup wilayah dasar laut dan gugusan karang di
bagian selatan Laut Cina Selatan yang kemudian memicu timbulnya konflik kedua
negara tersebut.
Dalam konteks ASEAN, konflik Malaysia-Filipina mengalami hubungan pasang-surut, dan beberapa kali terjadi insiden yang menaikkan suhu politik dua negara. Konflik semakin memanas pada saat adanya usulan dari sejumlah politikus dan oposisi Filipina untuk memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Malaysia.
Dalam konteks ASEAN, konflik Malaysia-Filipina mengalami hubungan pasang-surut, dan beberapa kali terjadi insiden yang menaikkan suhu politik dua negara. Konflik semakin memanas pada saat adanya usulan dari sejumlah politikus dan oposisi Filipina untuk memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Malaysia.
Konflik
bilateral juga terjadi pada negara Filipina dan Taiwan. Klaim dan kontra antara
Filipina-Taiwan juga memperlihatkan situasi yang cukup rawan. Di Kepulauan
Kalayan misalnya ternyata mengalami tumpang tindih diantara mereka. Wilayah
yang paling dipertentangkan adalah Pulau Itu Abaa, yang oleh Filipina disebut
Pulau Ligaw. Pada tahun 1988 Angkatan laut Filipina menahan 4 buah kapal
nelayan Taiwan yang dituduh telah memasuki wilayah perairan Filipina di
Kalayaan. Selain konflik
Filipina-Taiwan, filipina juga telah menghadapi beberapa kali pertentangan yang
sengit dengan RRC yang berlangsung sejak tahun 1950-an. Hal ini bermula ketika
sejumlah kalangan di Filipina mulai menunjukkan perhatiannya terhadap Spratly.
Sementara itu media di RRC kerapkali mengeluarkan artikel dan peringatan yang menegaskan
kedaulatan RRC atas Spratly.
Pada dasarnya
sengketa Filipina-RRC di Spratly relatif lebih tenang dibandingkan misalnya,
sengketa Vietnam-RRC. Walaupun RRC menentang pertanyaannya klain Filipina mulai
melancarkan aksi pendudukan terhadap sejumlah pulau dan gugusan karang di
Kalayaan. Hal ini nampaknya merupakan dampak dari usaha RRC untuk memperbaiki
kedudukan geopolitisnya di Asia Pasifik dengan “open door policy” nya dalam
menjalin hubungan dengan negara-negara kawasan. Namun dalam perkembangan terakhir, sengketa Filipina-RRC
meningkat dengan adanya berita bahwa RRC telah menempatkan kapal perang dan
membangun fasilitas baru di gugusan karang yang diklaim Filipina. Peselisihan
dua negara ini semakin sukit dihindari pada 1995, ketika terjadi insiden di
kawasan itu dimana militer filipina membongkar bangunan Cina di Spratly. Pada
saat yang bersamaan, Angkatan laut Filipina menangkap nelayan Cina sehingga
hubungan Cina-Filipina semakin menegang.
Sengketa antara
Malaysia-Vietnam. Sebagai seseama anggota ASEAN, Malaysia dan Vietnam kerapkali
berbenturan karena persoalaan pendudukan Vietnam terhadap beberapa wilayah
Malaysia termasuk Terumbu layang-Layang. Secara fisik wilayah tersebut dikuasai
oleh Vietnam. Sebaliknya pada tahun 1977 Malaysia menerbitkan peta baru.
Lain halnya dengan sengketa Filipina-Vietnam di Spratly dimana terfokus pada cakupan 4 pulau atau gugusan karang yang kini dikuasai Vietnam yaitu (Southwest Cay) dalam bahasa tagalog adalah Pugad, Sin Cowe, Nam Yit, dab Sand Cay. Filipina menganggap keempat pulau itu sebagai bagian dari Kalayaan, yang diduduki secara tidak sah oleh Vietnam. Pada November 1999, terjadi ketegangan yang lebih besar antara dua negara ini, setelah pesawat pengintai filipina ditembak pasikan Vietnam. Pesawat Filipina berkali-kali terbang diatas sejumlah pulau disemenanjung Spratly. Sementara itu Brunei yang merupakan satu-satunya pihak yang tidak mengklaim pulau Laut Cina Selatan, termasuk Spratly tetap saja mengalami konflik dengan Malaysia. Yaitu sengketa mengenai sebuah karang di sebelah selatan Laut Cina Selatan yang sewaktu pasang berada di bawah permukaan laut. Brunei mengklaim gugusan karang itu dan juga landas kontinen di sekitarnya.
Lain halnya dengan sengketa Filipina-Vietnam di Spratly dimana terfokus pada cakupan 4 pulau atau gugusan karang yang kini dikuasai Vietnam yaitu (Southwest Cay) dalam bahasa tagalog adalah Pugad, Sin Cowe, Nam Yit, dab Sand Cay. Filipina menganggap keempat pulau itu sebagai bagian dari Kalayaan, yang diduduki secara tidak sah oleh Vietnam. Pada November 1999, terjadi ketegangan yang lebih besar antara dua negara ini, setelah pesawat pengintai filipina ditembak pasikan Vietnam. Pesawat Filipina berkali-kali terbang diatas sejumlah pulau disemenanjung Spratly. Sementara itu Brunei yang merupakan satu-satunya pihak yang tidak mengklaim pulau Laut Cina Selatan, termasuk Spratly tetap saja mengalami konflik dengan Malaysia. Yaitu sengketa mengenai sebuah karang di sebelah selatan Laut Cina Selatan yang sewaktu pasang berada di bawah permukaan laut. Brunei mengklaim gugusan karang itu dan juga landas kontinen di sekitarnya.
Malaysia pada 1979 mengklaim gugusan karang tersebut dan
mendudukinya serta telah membangun mercusuar diatas gugusan karang tersebut.
Sengketa antara kedua negara ini relatif tenang. Meskipun gugusan karang ini
sebenarnya merupakan konflik multilateral, karena diklaim pula oleh RRC,
Vietnam dan Taiwan. Konflik
bilateral lainnya adalah antara Taiwan-RRC. Jika dilihat secara historis dari
sisi politik teritorialnya, sesungguhnya tidak terdapat sengketa wilayah karena
klaim RRC di Laut Cina Selatan sama dengan klain Taiwan. Terakhir adalah
sengketa antara Indonesia-RRC yang tersangkut sengketa bilateral dalam masalah
landas Kontinen dan ZEE sebagaimana sidefinisikan dalam konvensi Hukum Laut
Internasional 1982.
Meskipun
Indonesia bukan merupakan penuntut atas kepulauan atau bantuan di gugusan
Spratly, akan tetapi Indonesia memiliki fakta sengketa bilateral dengan RRC.
Sengketa ini tidak begitu menonjol ketimbang sengketa oleh enam negara lainnya
dilaut Cina Selatan. Selain itu, RRC juga pernah menyatakan klaim terhadap
sebagian Laut Natuna sampai ke perairan Pulau Bangka dan 20 mil dari Kalimantan
Barat dan sekeliling Vietnam. Laut Natuna sangat vital bagi RRC karena kawasan
itu merupakan alur pelayaran penting sebagai penghubung komunikasi di Utara
–Selatan, dan Timur-Barat. Begitu pula RRC sudah melakukan kontrak eksplorasi
minyak dengan Amerika Serikat di sekitar Pulau Hainan (sebelah utara Natura).
c.
Sengketa
Antar Negara (Multiple Dispute)
Masalah
sengketa antar negara di kawasan, sangat terkait dengan aspek “national
interest” masing-masing negara dalam mewujudjan keinginan mempertahankan
wilayah pengaruh/hegemoni serta jaminan akan keselamatan pelayaran sebagai
akibat yang disebabkan posisi strategis dan vital di kawasan Laut Cina Selatan.
Klain teritorial tumpang tindih atas Laut Cina Selatan sesungguhnya bukanlah
masalah baru. Secara tradisional, Cina termasuk Taiwan dan Vietnam telah
menegaskan pemilikan mereka atas keseluruhan gugusan kepulauan Spratly dan
sumberdaya yang ada di kawasan itu. Pada
perkembangan selanjutnya Filipina dan Malaysia juga mengklaim sebagian pulau di
kawasan Spratly, sedangkan Brunei Darussalam mengklaim Louise Reef, gugusan
karang yang terletak di luar gugus Spratly. Dalam masalah klaim multilateral,
seringkali masalah klaim RRC, Taiwan dan Vietnam dibahas menjadi satu karena
erat kaitannya dengan satu dengan lainnya, akibat perkembangan sejarah,
misalnya antara RRC dan Taiwan, Vietnam Selatan, Vietnam Utara dan Vietnam
setelah unifikasi.
Cina
sebenarnya merupakan satu-satunya negara sampai Perang Dunia I yang mengklaim
kedaulatan sepenuhnya atas seluruh Kepulauan Spratly, dengan mendasarkan
klaimnya atas penemuan pertama. Masalah kedaulatan menjadi masalah yang
sensitif anatara Prancis, Inggris dan Jepang pada akhir abad 19, padahal pada
tahun 1876 Cina telah menyatakan bahwa kepulauan Spratly merupakan miliknya. Saling Klaim juga dilakukan beberapa
negara lainnya, antara lain; Taiwan mengklaim dan menduduki kembali (1956)
kelompok kepulauan ini dengan menempatkan satu garnisiun berkekuatan 600
tentara secara permanen di pulau terbesar, yaitu Itu Aba (Taiping dalam bahasa
Cina), serta membangun landasan pesawat dan instalasi militer lainnya; Vietnam
Selatan kembali menegaskan haknya atas kepulauan Spratly dan Paracel (1951)
dalam konfrensi Sanfrancisco. Bahkan setelah unifikasi, Vietnam menegaskan
kembali tuntutannya atas kedua kepulauan tersebut pada berbagai kesempatan, dan
vietnam secara teratur mengadakan patroli di sekitar Paracel.
Filipina berbeda dengan ketiga negara
lainnya, ia tidak mengklaim seluruh kepulauan Spratly dan tidak juga
didasarkan atas alasan sejarah. Filipina pertama menyatakan klaimnya apada
tahun 1946 di Majelis Umum PBB dan diulang lagi (1950) ketika Taiwan menarik
pasukannya. Meskipun Filipina lebih belakangan menyatakan klaimnya atas gugusan
Spratly, namun negara ini telah awal melakukan pendudukan militer, membuat
landasan terbang dan menempatkan militer di kepulauan itu. Enam pulau yang
diduduki Filipina merupakan pulau-pulau terbesar di kepulauan itu. Sementara itu Malaysia baru kembali
mengklaim (1979) atas 11 pulau karang di bagian Tenggara Kepulauan Spratly
berdasarka pemetaan yang dilakukannya. Dan pada tahun 1983 melakukan survey dan
menyatakan kepulauan tersebut berada di perairan Malaysia. Dan Brunei
Darussalam adalah yang terakhir menyatakan klaimnya atas sebagian kawasan Spratly.
Klaim Brunei hampir serupa dangan Malaysia karena didasarkan pada doktrin
Landas Kontinental, akan tetapi garis-garis batas ditarik secara tegak lurus
dari dua titik ekstrem di garis pantai Brunei darussalam.
III. Konflik Bersenjata dan
Militerisasi di Laut Cina Selatan
Konflik
bersenjata di Paracel dan Spratly dipertajam dengan adanya klaim yang
dipertegas melalui aksi pendudukan militer oleh sejumlah negara yang terlibat
di dalamnya. Namun sistuasi konflik di kawasan itu selama tahun 1950-an hingga
1970-an relatif tenang. Ketenangan itu lebih disebabkan adanya sengketa yang
lebih mendesak dikawasan itu, seperti berlangsungnya perang di Indocina.
Konflik
senjata pertama kali terjadi di wilayah Laut Cina Selatan pada tahun 1974 yaitu
antara Cina dan Vietnam. Kemudian terjadi untuk kedua kalinya pada tahunm 1988,
dilatarbelakangi dengan makin intensifnya persaingan Cina-Vietnam di Indocina.
Konflik senjata yang kedua antara Cina-Vietnam ini mengandung arti penting
karena selain menunjukkan supremasi Cina di Spratly, juga membawa dua
perkembangan yang saling berhubungan yang mempunyai konsekuensi terhadap
stabilitas kawasan ini di masa depan. Pertama, penegasan kembali klaim-klain
Cina dan Vietnam atas kepulauan Paracel dan Spratly, kedua, meningkatnya
militerisasi Cina, Vietnam, dan negara-negara pengklaim lainnya.
Terjadinya
bentrokan militer antara Cina dan Vietnam pada pada Maret 1988 tersebutlah yang
menjadi pendorong utama militerisasi Laut Cina Selatan dalam upaya menegaskan
dan mengamankan kawasan tersebut, Sampai saat ini kecuali Brunei, masing-masing
pihak telah menentukan “land base” diantara gugusan pulau-pulau Spratly,
sekaligus menempatkan tentaranya di kawasan itu secara tidak menentu dan tanpa
pola yang jelas. Beberapa posisi pendudukan Cina bahkan cukup jauh ke Selatan. Hakikat dari berbagai klaim ini sangat
jelas, yaitu mencari sumberdaya, berupa minyak dan gas, dapat diperkirakan
sangat berlimpah di kawasan tersebut. Upaya-upaya eksplorasi terus berlanjut
dan eksploitasi sumberdaya perikanan juga berlangsung.
Taiwan
menduduki pulau terbesar dari kelompok spratly, Itu Aba sejak tahun 1956, dan
menempatkan 600 tentara di pulau tersebut. Situasi mulai berubah sejak Cina
mempercepat program modernisasi Angkatan Laut dan meningkatkan kehadiran
militernya di kepulauan tersebut. Cina mulai mengirimkan pasukannya sejak tahun
1973 dan terus membentengi posisi mereka di Paracel dan gugusan Spratly.Vietnam
selatan menggunakan kemampuan militer atas klaimnya sejak tahun 1969 ketika
negara itu mengirimkan pasukan ke Kepulauan Paracel.
Vietnam
mulai menyatakan pemilikannya atas Spratly tahun 1975 dengan menempatkan
tentaranya di 13 pulau kelompok Kepulauan Spratly. Di antara negara-negara Asia
Tenggara, Filipina merupakan negara pertama yang menggunakan kekuatan militer
untuk menegaskan klaimnya di Laut Cina Selatan. Pada tahun 1968 Filipina
menempatkan Marinir pada sembilan pulau.Malaysia merupakan negara terakhir yang
menempatkan pasukannya, pada akhir 1977 dan kini menduduki sejumlah sembilan
pulau dari kelompok Kepulauan Spratly. Pada 4 September 1983 Malaysia mengirim
sekitar 20 Pasukan Komando ke Terumbu Layang-layang.
Brunei
merupakan satu-satunya negara yang menahan diri untuk tidak menempatkan
pasukannya di wilayah Spratly. Dalam kenyataannya Louisa Reef yang telah
diklaimnya bahkan telah diambil alih oleh Malaysia. Secara umum, negara negara pantai di Laut Cina selatan telah
membangun kekuatan militer dalam beberapa waktu belakangan ini. Cina, misalnya
kini sedang membangun kekuatan Angkatan Laut yang besar, berencana membeli dua
kapal induk, dan membangun pangkalan udara militer yang dilengkapi radar
canggih di Pulau Woody, kelompok Kepulauan Paracel. Pangkalan ini, bila telah
selesai, memungkinkan Cina memberikan perlindungan udara terhadap Kepulauan
Spratly. Selain itu, negara-negara lainnya juga meningkatkan kemampuan Angkatan
Lautnya untuk menjaga klaim dan pendudukannya. Akhir-akhir ini di kawasan
Kepulauan Spratly, Cina membangun pangkalan dan instalasi militer di Pulau
Karang Mischief sejak 1995 dan diperluas pada 1998. Menurut Beijing, bangunan
itu hanyalah tempat pemukiman para nelayan nama Mischief sendiri berasal dari
bahasa Cina yang berarti Meiji (wilayah Cina).
IV. Konsep Kerjasama Politik dan
Keamanan ASEAN
Deklarasi
Bangkok 1967 telah menetapkan bahwa bidang ekonomi dan sosial budaya merupakan
bidang-bidang penting ASEAN. Deklarasi Bangkok tidak secara eksplisit menyebut
kerjasama politik dan keamanan. Namun demikian, sejak awal berdirinya ASEAN,
kerjasama politik dan keamanan mendapat perhatian dan dinilai penting.
Kerjasama politik dan keamanan terutama diarahkan untuk mengembangkan
penyelesaian secara damai sengketa-sengketa regional, menciptakan dan
memelihara kawasan yang damai dan stabil, serta mengupayakan koordinasi sikap
politik dalam menghadapi berbagai masalah politik regional dan global. Dengan
kata lain, Deklarasi Bangkok mengandung keinginan politik para pendiri ASEAN
untuk hidup berdampingan secara damai dan mengadakan kerjasama regional.
Pada
prinsipnya kerjasama politik dan keamanan ASEAN mempunyai arah dalam
menciptakan stabilitas dan perdamaian kawasan dengan bertumpu pada dinamika dan
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan serta sekaligus dapat membangun rasa
saling percaya (confidence building) menuju suatu “masyarakat kepentingan
keamanan bersama” di Asia Tenggara dan Asia Pasifik yang kemudian sehingga
menumbuhkan pengharapan terciptanya sebuah lingkungan strategis yang
diharapkan. Berdasarkan
tujuan-tujuan dasar organisasi tersebut, ASEAN berupaya untuk mengambil bagian
dalam memecahkan persoalan konflik Laut Cina Selatan dengan upaya-upaya damai.
Apalagi, ketegangan yang terjadi diantara negara-negara yang bersengketa sangat
rawan konflik. Kondisi ini mencerminkan adanya dilema keamanan (security
dilemma) sehingga mendorong lahirnya konsep yang lazim disebut sebagai security
interdependence, yaitu bentuk usaha keamanan bersama untuk mengawasi
masalah-masalah regional, yang menyangkut keamanan regional yang diakibatkan
munculnya gangguan di kawasan Laut Cina Selatan.
Memperoleh
keamanan bersama yang komprehensif maka setidaknya dapat menjalankan konsep
keamanan yang kooperatif di kawasan. Di antara negara-negara ASEAN misalnya,
istilah Ketahanan Nasional dan Ketahan Regional menjadi suatu konsep kooperatif
yang pada intinya bersifat inward looking yang telah lama mendasari hubungan
antarnegara. Dengan demikian dalam usaha mewujudkan kerjasama keamanan tersebut
harus dibarengi dengan semangat konstruktif dan penuh keterbukaan di antara
negara-negara di kawasan baik itu dalam konteks ASEAN maupun Asia Pasifik. Inti
semangat itu adalah mendahulukan konsultasi daripada konfrontasi, menentramkan
daripada menangkal, transparansi daripada pengrahasiaan, pencegahaan daripada
penanggulangan dan interdepedensi daripada unilateralisme.
Oleh
karena itu, dalam mengatasi potensi konflik di Laut Cina Selatan, diharapkan
nilai-nilai positif yang dapat dicapai ASEAN melalui pengelolaan keamanan
bersama regional (regional common security) harus dipromosikan untuk
menciptakan keamanan dan perdamaian berlandaskan kepentingan yang sama,
sehingga semua negara kawasan, termasuk negara ekstra kawasan harus memiliki
rasa tanggung jawab yang tinggi dalam memberikan jaminan keamanan kawasan di
samping adanya konvergensi kepentingan masing-masing. Hal ini penting karena
pada dasarnya kawasan Laut Cina Selatan merupakan lahan potensial masa depan
dan salah satu kunci penentu bagi lancarnya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
nasional masing-masing negara kawasan. Selain itu, Laut Cina Selatan juga tidak
dapat dijauhkan dari fungsinya sebagai safety belt dalam menghadapi ancaman,
tantanganm hambatan dan gangguan khususnya bagi negara-negara dalam lingkaran
Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Pada titik inilah ASEAN melihat urgensitas
Konflik Laut Cina Selatan sebagai masalah yang sangat penting.
V. Signifikansi Konflik Laut
Cina Selatan bagi ASEAN
Laut
Cina Selatan merupakan salah satu komoditas politik internasional dalam
kerangka politik kekuatan bagi setiap negara yang berusaha meningkatkan posisi
kekuatannya terhadap negara-negara saingannya, sehingga negara-negara tersebut
berusaha mempertahankan hegemoni-nya untuk merebut pengaruh di kawasan agar
tetap dapat memanfaatkan potensi yang ada di sepanjang tepian “pasifik”.Dengan
berakhirnya perang dingin, berubahnya sistem internasional menjadi multipolar,
menciptakan kesulitan-kesulitan baru dalam menghadapi kekuatan dan ancaman luar
yang semakin sulit ditebak. ASEAN sebagai organisasi kawasan Asia Tenggara
tidak dapat lagi melihat persolaan dan ancaman terbatas satu kawasan saja.
Tetapi harus lebih dapat menangkap segala keadaan yang mengancam yang dapat
datang dari manapun, termasuk dari kawasan yang lebuh luas, seperti Asia
Pasifik.
Perubahan
sistem internasional yang menciptakan konsep-konsep keamanan baru tersebut
melatarbelakangi ASEAN untuk mengambil bagian dalam penyelesaian konflik di
Laut Cina Selatan, disamping beberapa pertimbangan dan kepentingan-kepentingan
ASEAN lainnya. Signifikansi konflik Laut Cina Selatan bagi ASEAN, secara singkat
dapat duraikan sebagai berikut: Pertama, Kepentingan ASEAN dalam menjaga
stabilitas hubungan negara-negara anggotanya, khususnya yang terlibat langsung
dalam konflik Laut Cina Selatan (Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei
Darusalam).Kedua, Laut Cina Selatan merupakan wilayah yang strategis. Sehingga
kawasan ini sangat potensial untuk menjadi pangkalan militer dari negara-negara
yang akan meluaskan pengaruhnya di Asia Tenggara.
Kemungkinan
tersebut merupakan ancaman yang harus diperhatikan ASEAN dalam mempertahankan
keamanan regional. Ketiga, adalah masalah ekonomis. Laut Cina Selatan memiliki
potensi besar baik dari sumber daya mineral, perikanan bahkan minyak dan gas
bumi.
Dengan demikian, besarnya potensi konflik yang ada di kawasan laut Cina Selatan, dan pengaruhnya yang juga besar terhadap stabilitas kawasan Asia Tenggara, memaksa ASEAN untuk berfikir lebih serius menjaga segala kemungkinan gangguan keamanan yang datang. Konflik Laut Cina Selatan juga merupakan wahana bagi ASEAN untuk mempertegas eksistensinya sebagai organisasi regional yang solid dan masih berfungsi sebagaimana mestinya.
Dengan demikian, besarnya potensi konflik yang ada di kawasan laut Cina Selatan, dan pengaruhnya yang juga besar terhadap stabilitas kawasan Asia Tenggara, memaksa ASEAN untuk berfikir lebih serius menjaga segala kemungkinan gangguan keamanan yang datang. Konflik Laut Cina Selatan juga merupakan wahana bagi ASEAN untuk mempertegas eksistensinya sebagai organisasi regional yang solid dan masih berfungsi sebagaimana mestinya.
a.
ASEAN
dalam Pengelolaan Konflik Laut Cina Selatan
Berbagai
upaya yang telah dilakukan untuk menghindari potensi Konflik Laut Cina Selatan
menyusul adanya kemungkinan upaya penyelesaian konflik secara damai oleh semua
pihak yang terlibat sengketa. Salah satu upaya menghindari potensi konflik
tersebut adalah melalui pendekatan perundingan secara damai baik secara
bilateral maupun multilateral dan juga melakukan kerjasama-kerjasama yang lazim
digunakan mengelola konflik regional dan internasional.Pada tingkat kerjasama
subregional Asia Tenggara, setidaknya ASEAN telah berfungsi sebagai forum yang
efektif untuk menyelesaikan masalah-masalah ekonomi, politik, sosial budaya dan
banyak masalah keamanan. Keberhasilan ASEAN dicerminkan oleh upaya mengatasi
konflik-konflik bersenjata atau tindakan-tindakan provokatif sejak organisasi
ini berdiri 1967. Dan hingga saat ini regionalisme ASEAN berfungsi sebagai
instrumen untuk menyelesaikan krisis-krisis internal.
Penyelesaian
ini dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu, mengurangi kemungkinan
munculnya konflik diantara negara-negara tetangga dan memaksimalkan proses
pembangunan ekonomi untuk menunjang peningkatan ketahanan Regional secara
kolektif.
Oleh karena itu, regionalisme ASEAN sangat penting dikembangkan menjadi satu kawasan yang lebih luas yaitu regionalisme Asia Pasifik, dimana masalah-masalah regional seperti sengketa Laut Cina Selatan tidak hanya melibatkan negara-negara ASEAN akan tetapi juga negara non-ASEAN seperti RRC dan Taiwan dan negara kawasan lainnya yang tidak terlibat langsung. Konflik laut Cina selatan menjadi penting karena cakupan regionalisme Asia Pasifik akan meningkatkan kekuatan kawasan dalam menangani bentuk-bentuk konflik regional yang sesungguhnya sangat menentukan bagi kepentingan nasional masing-masing negara anggota.
Oleh karena itu, regionalisme ASEAN sangat penting dikembangkan menjadi satu kawasan yang lebih luas yaitu regionalisme Asia Pasifik, dimana masalah-masalah regional seperti sengketa Laut Cina Selatan tidak hanya melibatkan negara-negara ASEAN akan tetapi juga negara non-ASEAN seperti RRC dan Taiwan dan negara kawasan lainnya yang tidak terlibat langsung. Konflik laut Cina selatan menjadi penting karena cakupan regionalisme Asia Pasifik akan meningkatkan kekuatan kawasan dalam menangani bentuk-bentuk konflik regional yang sesungguhnya sangat menentukan bagi kepentingan nasional masing-masing negara anggota.
Upaya-upaya
perundingan untuk memecahkan permasalahan secara multilateral untuk terciptanya
stabilitas di kawasan banyak mendapat dukungan negara-negara pengklaim yang
semuanya adalah negara negara anggota ASEAN, kecuali Taiwan. Hal ini beralasan
mengingat melalui perundingan regional atau multilateral, setidaknya dapat
membantu semua negara pengklaim di kawasan itu untuk memilih peluang dan posisi
yang sama dalam mempertahankan klaim dan pendudukannya terutama dalam
menghadapi tuntutan Cina. Sebaliknya Cina lebih memilih perundingan secara
bilateral dengan masing-masing negara sengketa, karena dengan cara ini Cina
dapat lebih mudah menekan setiap negara daripada menghadapinya.
b. Instrumen Mencegah Konflik Laut Cina
Selatan.
Konsep ZOPFAN
(Zone of Peace, Freedom and Neutrality) merupakan pengejawantahan dari sikap
ASEAN yang sesungguhnya tidak mau menerima keterlibatan yang terlalu jauh dari
negara-negara besar wilayah Asia Tenggara. ASEAN mengusahakan pengakuan dan
penghormatan Asia Tenggara sebagai zona damai, bebas dan netral oleh kekuatan
luar seraya memperluas kerjasama antar negara se-kawan sebagai persyarat bagi
memperkuat kesetiakawanan dan keakraban semua negara yang ada di kawasan.
Konsep ZOPFAN yang dirumuskan April 1972 sebenarnya memberikan kontribusi besar bagi kehidupan regional di Asia Tenggara. Pedoman yang terdapat dalam konsep tersebut adalah;
§ bahwa regionalisme Asia Tenggara tidak boleh “mengganggu” “kemerdekaan, kedaulatan, persamaan, keutuhan wilayah dan kepribadian nasional setiap bangsa”;
Konsep ZOPFAN yang dirumuskan April 1972 sebenarnya memberikan kontribusi besar bagi kehidupan regional di Asia Tenggara. Pedoman yang terdapat dalam konsep tersebut adalah;
§ bahwa regionalisme Asia Tenggara tidak boleh “mengganggu” “kemerdekaan, kedaulatan, persamaan, keutuhan wilayah dan kepribadian nasional setiap bangsa”;
§ bahwa setiap negara harus
dapat “melangsungkan kehidupan nasionalnya bebas dari campur tangan, subversi
atau tekanan luar”;
§ bahwa tidak ada campur
tangan “mengenai wawasan dalam negeri satu sama lain”;
§ bahwa setiap “perselisihan atau persengketaan harus diselesaikan dengan cara-cara damai”
§ dan bahwa “setiap pengancaman dengan kekerasan” tidak dapat diterima.
§ bahwa setiap “perselisihan atau persengketaan harus diselesaikan dengan cara-cara damai”
§ dan bahwa “setiap pengancaman dengan kekerasan” tidak dapat diterima.
Perjanjian
ini ditandatangani pada KTT I ASEAN di Bali tahun 1976. Inti perjanjiannya
adalah bagaimana menggunakan cara-cara damai dalam menyelesaikan persengketaan
intra ASEAN. Perjanjian ini merupakan prinsip dasar yang menjadi pedoman bagi
negara-negara ASEAN dalam mengatasi permasalahan yang timbul dalam hubungan
bilateral anggota ASEAN.
TAC pada dasarnya merupakan hasil dari transformasi prinsip-prinsip dan aspirasi ASEAN dalam deklarasi Bangkok dan ZOPFAN ke dalam suatu bentuk perjanjian (treaty) internasional yang mengikat dan menjadikannya sebagai code of conduct dalam interaksi intra-ASEAN. Didalam perkembangannya TAC telah dijabarkan dan diperluas perannya untuk dapat ikut mencari penyelesaikan sengketa secara damai.
TAC pada dasarnya merupakan hasil dari transformasi prinsip-prinsip dan aspirasi ASEAN dalam deklarasi Bangkok dan ZOPFAN ke dalam suatu bentuk perjanjian (treaty) internasional yang mengikat dan menjadikannya sebagai code of conduct dalam interaksi intra-ASEAN. Didalam perkembangannya TAC telah dijabarkan dan diperluas perannya untuk dapat ikut mencari penyelesaikan sengketa secara damai.
Seperti diketahui fenomena
politik dan keamanan atas kawasan Laut Cina Selatan selama beberapa dekade
belakangan ini tampak jelas langsung dippengaruhi oleh inkonsistensi dan
ketidakpastian dalam prilaku politik luar negeri RRC. Karena Cina memandang
masalah kedaulatan nasional dan integritas wilayah sebagai masalah yang sangat
penting untuk diperjuangkan, maka besar kemungkinan upaya untuk mencari
penyelesaian secara damai konflik ini akan berjalan secara lambat, karena itu
Konflik Laut Cina selatan akan memungkinkan menjadi konflik berkepanjangan di
kawasan Asia Pasifik.
Dalam upaya mencegah konflik dan menciptakan tingkat kepastian tertentu di kawasan, maka setidaknya prilaku setiap pihak yang bertikai dapat menghormati aturan-aturan dan kesepakatan regional yang telah mendapat pengakuan internasional. Adanya traktat ataupun perjanjian regional yang telah dilahirkan ASEAN diharapkan dapat menjadi instrumen manajeman konflik, khususnya dalam menghadapi sikap dan respon Cina terhadap prakarsa-prakarsa negara-negara ASEAN dalam menciptakan tata hubungan politik dan keamanan yang lebih predictable di kawasan Laut Cina Selatan.
Dalam upaya mencegah konflik dan menciptakan tingkat kepastian tertentu di kawasan, maka setidaknya prilaku setiap pihak yang bertikai dapat menghormati aturan-aturan dan kesepakatan regional yang telah mendapat pengakuan internasional. Adanya traktat ataupun perjanjian regional yang telah dilahirkan ASEAN diharapkan dapat menjadi instrumen manajeman konflik, khususnya dalam menghadapi sikap dan respon Cina terhadap prakarsa-prakarsa negara-negara ASEAN dalam menciptakan tata hubungan politik dan keamanan yang lebih predictable di kawasan Laut Cina Selatan.
c.
Peran
ASEAN Regional Forum (ARF) dalam Mengatasi Potensi Konflik Laut Cina Selatan.
ASEAN
Regional Forum (ARF) adalah forum dialog resmi antarpemerintah dan merupakan
bagian dari upaya membangun saling percaya di kalangan negara-negara Asia
Pasifik untuk membicarakan masalah-masalah keamanan regional secara lebih
langsung dan terbuka. Salah satu tujuannya adalah menciptakan lingkungan
keamanan yang lebih luas sehingga wilayah ASEAN dapat tumbuh secara lebih kuat
dan mandiri. ARF lahir sebagai
implikasi logis dari berakhirnya sistem bipolar di Asia pasifik.
Implikasi
tersebut mengharuskan negara-negara Asia Pasifik mencari pendekatan-pendekatan
baru atas masalah-masalah keamanan di kawasan. Dari sini kemudian muncul
pemikiran tentang regionalisasi masalah keamanan. Negara-negara ASEAN dan
negara-negara besar di kawasan mempunyai alasan yangrasional mengapa pendekatan
baru diperlukan.
Negara-negara di kawasn tidak bisa lagi mengeksploitasi persaingan negara adidaya, memainkan kartu Amerika Serikat dan Rusia, untuk kepentingan keamanan di kawasan. Sementara itu bagi negara-negara besar, runtuhnya Uni Soviet dan sistem bipolar menyebabkan nilai strategis negara-negara di kawasan menjadi berkurang. Pada saat yang sama dinamika kawasan di Asia Pasifik masih menyimpan beberapa ketidakpastian, dimana salah satunya berupa konflik-konflik teritorial khususnya konflik teritorial di Laut Cina Selatan.
Negara-negara di kawasn tidak bisa lagi mengeksploitasi persaingan negara adidaya, memainkan kartu Amerika Serikat dan Rusia, untuk kepentingan keamanan di kawasan. Sementara itu bagi negara-negara besar, runtuhnya Uni Soviet dan sistem bipolar menyebabkan nilai strategis negara-negara di kawasan menjadi berkurang. Pada saat yang sama dinamika kawasan di Asia Pasifik masih menyimpan beberapa ketidakpastian, dimana salah satunya berupa konflik-konflik teritorial khususnya konflik teritorial di Laut Cina Selatan.
ARF merupakan
forum multilateral pertama di Asia Pasifik untuk membahas isu-isu keamanan.
Pembentukan lembaga ini merupakan sebuah langkah mendahului oleh negara-negara
ASEAN, yang memberi arti sukses dan kemandirian pengelompokkan regional itu.
Ini juga merupakan salah satu bukti keunggulan ASEAN dalam memanfaatkan
momentum agenda keamanan kawasan. Misalnya keberhasilan ASEAN dalam melakukan
dialog multilateral tentang masalah di Laut Cina Selatan. Keberhasilan tersebut
merupakan upaya penting untuk mencegah pecahnya konflik antarnegara yang
terlibat sengketa perbatasan di kawasan Asia pasifik.
Dari uraian diatas nampak bahwa ARF memiliki peran yang signifikan dalam berbagai isu keamanan yangmenyimpan sejumlah konflik. Selain itu makna ARF menjadi semakin penting sebagai satu-satunya forum keamanan yang paling banyak diminati oleh negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Sejak berdirinya, forum ini telah menyumbangkan berbagai program konkret dalam mengelola isu keamanan regional di Laut Cina Selatan.
Dari uraian diatas nampak bahwa ARF memiliki peran yang signifikan dalam berbagai isu keamanan yangmenyimpan sejumlah konflik. Selain itu makna ARF menjadi semakin penting sebagai satu-satunya forum keamanan yang paling banyak diminati oleh negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Sejak berdirinya, forum ini telah menyumbangkan berbagai program konkret dalam mengelola isu keamanan regional di Laut Cina Selatan.
SIMPULAN
Berakhirnya
Perang Dingin telah melahirkan sistem internasional yang multipolar.
Perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh berakhirnya Perang Dingin juga telah
berperan menonjolkan isu dan perkembangan baru di Asia Tenggara yang
mempengaruhi perspektif keamanan negara-negara ASEAN. Perkembangan isu dan
kajian keamanan yang cepat, memaksa ASEAN untuk lebih serius memperhatikan
permasalahan yang datang dari manapun dan berhati-hati menghadapi setiap
konflik yang mengancam stabilitas keamanan kawasan.
Konflik Laut
Cina Selatan yang juga melibatkan langsung beberapa negara anggota ASEAN,
menjadi prioritas perhatian ASEAN dalam bidang politik-keamanan terutama pasca
perang dingin. Dilihat dari sudut pandang geopolitik, Kawasan Laut Cina Selatan
merupakan kawasan dengan potensi konflik yang tinggi dimana banyak negara
berlomba dan mengklaim wilayah tersebut. Kerawanan kawasan ini menciptakan
dilema keamanan yang pada akhirnya mengancam stabilitas keamanan kawasan ASEAN.
Pesoalaannya
adalah ASEAN terbentur pada keharusannya untuk terlibat dalam pengelolaan
konflik Laut Cina Selatan, dimana beberapa negara anggotanya terlibat disana.
Sementara ASEAN juga memiliki prinsip-prinsip kemandirian yang menekankan pada
ketidakberpihakkan terhadap hal/kelompok tertentu serta tidak ikut campur dalam
persolaan wilayah/kelompok lain. ASEAN harus menjaga keharmonisan hubungan
diantara negara-negara anggotanya, disamping harus menjaga setiap potensi
konflik dari lingkungan atau kawasan yang dapat mengancam keamanan
regionalnya.Yang terpenting adalah selama ASEAN dapat konsisten terhadap dalam
menjaga komitmennya untuk ikut serta menjaga, menciptakan stabilitas keamanan
regional dan global, serta mengedepankan strategi keamanan yang kooperatif
dengan upaya-upaya damai dalam mengelola pesoalan-persoalan khususnya dalam
kasus Laut Cina Selatan, maka eksistensi ASEAN sebagai organisasi internasional
di kawasan Asia Tenggara dapat terus dirasakan bahkan menjadi sebuah institusi
yang efektif dan diperhitungkan di kawasan Asia pasifik.
REFERENSI
Abdul Rivai Ras, “Konflik Laut Cina Selatan dan
Ketahanan Regional Asia Pasifik”, PT. Rendino Putra Sejati dan TNI AL: Jakarta,
2001
Asmani Usman, “konflik Batas-batas Teritorial di
kawasan Perairan Asia”, dalam Strategi dan Hubungan Internasional, Indonesia di
Kawasan Asia Pasifik,
China: Facts & Figures (1997). Beijing, New Star Publishers, 1997.
Gao
Shangquan and Chi Fulin (eds), Theory and Reality of Transition to a Market
Economy. Beijing,
Foreign Languages Press, 1995.
Hasan Habib, “Kapita Selekta: Strategi dan
Hubungan Internasional”, Jakarta: CSIS. 1996.
Kompas, “Militer Filipina Bongkar Bangunan Cina
di Spratly”, Jakarta, 24 Maret 1995.
O. Brien,
Roderik, South China Sea Oil : Two Problems of Ownership and Development.
Singapore, Institute of South East Asian Studies, 1977.
Pattiradjawane,
Rene L., Provokasi RRC di Laut Cina Selatan, Kompas, 27 Desember 1996
Peter lewis Young, “The Potential for Conflict in
South China Sea”, (The Various Names Given to the Spartly), Asian Defence
Journal, 1995.
Selected Documents of The 15th CPC National Congress. Beijing, New Star
Publishers, 1997.
Setiawan,
Asep, Antara Janji dan Bukti di Spratly. Kompas, 14 Desember 1997.
Setiawan,
Asep, Laut Cina Selatan Tetap Kawasan Rawan, Kompas 15 Desember 1997.
Setiawan,
Asep, Laut Cina Selatan, Tambang Emas Masa Depan, Kompas, 15 Desember
1997.
“The Joint
Communique of ASEAN Foreign Minister”, Brunei: Agustus, 1995.
“The law of People’s Republic of China on It’s
Territorial Waters and Contiguous Areas”, 25 Febuari 1992.
Wu Jie, On Deng Xiaoping Thought. Beijing,
Foreign Languages Press, 1996.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar