Sejarah
Hidup Enam Tokoh Penghimpun Hadits (1)
Sumber dari
segala sumber hukum yang utama atau yang pokok di dalam agama Islam adalah
Al-Qur'an dan As-Sunnah. Selain sebagai sumber hukum, Al-Qur'an dan As-Sunnah
juga merupakan sumber ilmu pengetahuan yang universal. Isyarat sampai kepada
ilmu yg mutakhir telah tercantum di dalamnya. Oleh kerananya siapa yang ingin
mendalaminya, maka tidak akan ada habis-habisnya keajaibannya.
Untuk
mengetahui As-Sunnah atau hadith-hadith Nabi, maka salah satu dari beberapa
bahagian penting yang tidak kalah menariknya untuk diketahui adalah mengetahui
profil atau sejarah orang-orang yang mengumpulkan hadith, yang dengan jasa-jasa
mereka kita yang hidup pada zaman sekarang ini dapat dengan mudah memperoleh
sumber hukum secara lengkap dan sistematis serta dapat melaksanakan atau
meneladani kehidupan Rasulullah untuk beribadah seperti yang dicontohkannya.
Untuk itu
pada beberapa edisi kali ini, kami sajikan secara berturut-turut Profile
Sejarah Hidup Enam Tokoh Penghimpun Hadith yang paling terkenal serta Sekilas
Penjelasan Tentang Kitab Hadith-nya yang masyhur.
Abad ketiga
Hijriah merupakan kurun waktu terbaik untuk menyusun atau menghimpun Hadith
Nabi di dunia Islam. waktu itulah hidup enam penghimpun ternama Hadith Shahih
yaitu:
·
Imam Bukhari
·
Imam Muslim
·
Imam Abu Daud
·
Imam Tirmidzi
·
Imam Nasa'i
·
Imam Ibn Majah
Imam Bukhari
Tokoh Islam
penghimpun dan penyusun hadith itu banyak, dan yang lebih terkenal di antaranya
seperti yang disebut diatas. Adapun urutan pertama yang paling terkenal
diantara enam tokoh tersebut di atas adalah Amirul-Mu'minin fil-Hadith
(pemimpin orang mukmin dalam hadith), suatu gelar ahli hadith tertinggi. Nama
lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah
ibn Bardizbah. Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail, terkenal kemudian sebagai Imam
Bukhari, lahir di Bukhara pada 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M), cucu seorang
Persia bernama Bardizbah. Kakeknya, Bardizbah, adalah pemeluk Majusi, agama
kaumnya. Kemudian putranya, al-Mughirah, memeluk Islam di bawah bimbingan
al-Yaman al Ja'fi, gubernur Bukhara. Pada masa itu Wala
dinisbahkan kepadanya. Kerana itulah ia dikatakan "al-Mughirah
al-Jafi."
Mengenai kakeknya, Ibrahim, tidak terdapat data yang menjelaskan. Sedangkan
ayahnya, Ismail, seorang ulama besar ahli hadith. Ia belajar hadith dari Hammad
ibn Zayd dan Imam Malik. Riwayat hidupnya telah dipaparkan oleh Ibn Hibban
dalam kitab As-Siqat, begitu juga putranya, Imam Bukhari, membuat biografinya
dalam at-Tarikh al-Kabir.
Ayah Bukhari disamping sebagai orang berilmu, ia juga sangat wara'
(menghindari yang subhat/meragukan dan haram) dan taqwa. Diceritakan, bahawa
ketika menjelang wafatnya, ia berkata: "Dalam harta yang kumiliki tidak
terdapat sedikitpun wang yang haram maupun yang subhat." Dengan demikian,
jelaslah bahawa Bukhari hidup dan terlahir dalam lingkungan keluarga yang
berilmu, taat beragama dan wara'. Tidak hairan jika ia lahir dan mewarisi
sifat-sifat mulia dari ayahnya itu.
Ia dilahirkan di Bukhara setelah salat Jum'at. Tak lama setelah bayi yang
baru lahr itu membuka matanya, iapun kehilangan penglihatannya. Ayahnya sangat
bersedih hati. Ibunya yang saleh menagis dan selalu berdo'a ke hadapan Tuhan,
memohon agar bayinya bisa melihat. Kemudian dalam tidurnya perempuan itu
bermimpi didatangi Nabi Ibrahim yang berkata:
"Wahai ibu, Allah telah menyembuhkan penyakit putramu dan kini ia
sudah dapat melihat kembali, semua itu berkat do'amu yang tiada
henti-hentinya."
Ketika ia terbangun, penglihatan bayinya sudah normal. Ayahnya meninggal di
waktu dia masih kecil dan meninggalkan banyak harta yang memungkinkan ia hidup
dalam pertumbuhan dan perkembangan yang baik. Dia dirawat dan dididik oleh
ibunya dengan tekun dan penuh perhatian.
Keunggulan dan kejeniusan Bukhari sudah nampak semenjak masih kecil. Allah
menganugerahkan kepadanya hati yang cerdas, pikiran yang tajam dan daya hafalan
yang sangat kuat, teristimewa dalam menghafal hadith. Ketika berusia 10 tahun,
ia sudah banyak menghafal hadith. Pada usia 16 tahun ia bersama ibu dan abang
sulungnya mengunjungi berbagai kota suci. Kemudian ia banyak menemui para ulama
dan tokoh-tokoh negerinya untuk memperoleh dan belajar hadith, bertukar pikiran
dan berdiskusi dengan mereka. Dalam usia 16 tahun, ia sudah hafal kitab sunan
Ibn Mubarak dan Waki, juga mengetahui pendapat-pendapat ahli ra'yi (penganut
faham rasional), dasar-dasar dan mazhabnya.
Rasyid ibn Ismail, abangnya yang tertua menuturkan, pernah Bukhari muda dan
beberpa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak
seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia dicela
membuang waktu dengan percuma kerana tidak mencatat. Bukhari diam tidak
menjawab. Pada suatu hari, kerana merasa kesal terhadap celaan yang terus-menerus
itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka. Tercenganglah
mereka semua kerana Bukhari ternyata hapal di luar kepala 15.000 haddits,
lengkap terinci dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.
Pengembaraannya
Tahun 210 H, Bukhari berangkat menuju Baitullah untuk menunaikan ibadah
haji, disertai ibu dan saudaranya, Ahmad. Saudaranya yang lebih tua ini
kemudian pulang kembali ke Bukhara, sedang dia sendiri memilih Mekah sebagai
tempat tinggalnya. Mekah
merupakan salah satu pusat ilmu yang penting di Hijaz. Sewaktu-waktu ia pergi
ke Madinah. Di kedua tanah suci itulah ia menulis sebahagian karya-karyanya dan
menyusun dasar-dasar kitab Al-Jami'as-Shahih dan pendahuluannya.
Ia menulis
Tarikh Kabir-nya di dekat makam Nabi s.a.w. dan banyak menulis pada waktu malam
hari yang terang bulan. Sementara itu ketiga buku tarikhnya, As-Sagir, Al-Awsat
dan Al-Kabir, muncul dari kemampuannya yang tinggi mengenai pengetahuan
terhadap tokoh-tokoh dan kepandaiannya bemberikan kritik, sehingga ia pernah
berkata bahawa sedikit sekali nama-nama yang disebutkan dalam tarikh yang tidak
ia ketahui kisahnya.
Kemudian ia pun memulai studi perjalanan dunia Islam selama 16 tahun. Dalam
perjalanannya ke berbagai negeri, hampir semua negeri Islam telah ia kunjungi
sampai ke seluruh Asia Barat. Diceritakan bahawa ia pernah berkata: "Saya
telah mengunjungi Syam, Mesir, dan Jazirah masing-masing dua kali, ke basrah
empat kali, menetap di Hijaz (Mekah dan Madinah) selama enam tahun dan tak
dapat dihitung lagi berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk
menemui ulama-ulama ahli hadith."
Pada waktu itu, Baghdad adalah ibu kota negara yang merupakan gudang ilmu
dan ulama. Di negeri itu, ia sering menemui Imam Ahmad bin Hambal dan tidak jarang
ia mengajaknya untuk menetap di negeri tersebut dan mencelanya kerana menetap
di negeri Khurasan.
Dalam setiap perjalanannya yang melelahkan itu, Imam Bukhari senantiasa
menghimpun hadith-hadith dan ilmu pengetahuan dan mencatatnya sekaligus. Di
tengah malam yang sunyi, ia bangun dari tidurnya, menyalakan lampu dan menulis
setiap masalah yang terlintas di hatinya, setelah itu lampu di padamkan
kembali. Perbutan ini ia lakukan hampir 20 kali setiap malamnya. Ia merawi
hadith dari 80.000 perawi, dan berkat ingatannya yang memang super jenius, ia
dapat menghapal hadith sebanyak itu lengkap dengan sumbernya.
Kemasyhuran Imam Bukhari
Kemasyhuran Imam Bukhari segera mencapai bahagian dunia Islam yang jauh,
dan ke mana pun ia pergi selalu di alu-alukan. Masyarakat hairan dan kagum akan
ingatannya yang luar biasa. Pada tahun 250 H. Imam Bukhari mengunjungi Naisabur. Kedatangannya
disambut gembira oleh para penduduk, juga oleh gurunya, az-Zihli dan para ulama
lainnya.
Imam Muslim
bin al-Hajjaj, pengarang kitab as-Shahih Muslim menceritakan: "Ketika
Muhammad bin Ismail datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala
daerah, para ulama dan penduduk Naisabur memberikan sambutan seperti apa yang
mereka berikan kepadanya." Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota
sejauh dua atau tiga marhalah (± 100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya
az-Zihli berkata: "Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin
Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya. Esok
paginya Muhammad bin Yahya az-Zihli, sebahagian ulama dan penduduk Naisabur
menyongsong kedatangan Imam Bukhari, ia pun lalu memasuki negeri itu dan
menetap di daerah perkampungan orang-orang Bukhara. Selama
menetap di negeri itu, ia mengajarkan hadith secara tetap. Sementara itu,
az-zihli pun berpesan kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti
pengajian yang diberikannya. Ia berkata: "Pergilah kalian kepada orang
alim yang saleh itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya."
Imam Bukhari Difitnah
Tak lama kemudian terjadi fitnah terhadap Imam bukhari atas perbuatan
orang-orang yang iri dengki. Mereka meniupkan tuduhannya kepada Imam Bukhari
sebagai orang yang berpendapat bahawa "Al-Qur'an adalah makhluk." Hal
inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, az-Zihli kepadanya,
sehingga ia berkata: "Barang siapa berpendapat lafaz-lafaz Al-Qur'an
adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid’ahh. Ia tidak boleh diajak bicara dan
majlisnya tidak boleh di datangi. Dan barang siapa masih mengunjungi majlisnya,
curigailah dia." Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai
menjauhinya.
Pada hakikatnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan
kepadanya itu. Diceritakan, seorang berdiri dan mengajukan pertanyaan
kepadanya: "Bagaimana pendapat Anda tentang lafaz-lafaz Al-Qur'an, makhluk
ataukah bukan?" Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau menjawab
kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali. Tetapi orang tersebut terus
mendesaknya, maka ia menjawab: "Al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan
makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan
bid’ah." Yang dimaksud dengan perbuatan manusia adalah bacaan dan ucapan
mereka. Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan
antara yang dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para
ulama ahli tahqiq dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahawa Bukhari perbah berkata: "Iman
adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Al-Qur'an
adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW. yang paling utama
adalah Abu Bakar, Umar, Usman kemudian Ali. Dengan berpegang pada keyakinan dan
keimanan inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya
Allah." Demikian juga ia pernah berkata: "Barang siapa menuduhku
berpendapat bahawa lafaz-lafaz Al-Qur'an adalah makhluk, ia adalah
pendusta."
Az-Zahli benar-benar telah murka kepadanya, sehingga ia berkata:
"Lelaki itu (Bukhari) tidak boleh tinggal bersamaku di negeri ini."
Oleh kerana Imam Bukhari berpendapat bahawa keluar dari negeri itu lebih baik,
demi menjaga dirinya, dengan hrapan agar fitnah yang menimpanya itu dapat
mereda, maka ia pun memutuskan untuk keluar dari negeri tersebut.
Setelah keluar dari Naisabur, Imam Bukhari pulang ke negerinya sendiri,
Bukhara. Kedatangannya disambut meriah oleh seluruh penduduk. Untuk keperluan
itu, mereka mengadakan upacara besar-besaran, mendirikan kemah-kemah sepanjang
satu farsakh (± 8 km) dari luar kota dan menabur-naburkan uang dirham dan dinar
sebagai manifestasi kegembiraan mereka. Selama beberapa tahun menetap di
negerinya itu, ia mengadakan majlis pengajian dan pengajaran hadith.
Tetapi
kemudian badai fitnah datang lagi. Kali ini badai itu datang dari penguasa
Bukhara sendiri, Khalid bin Ahmad az-Zihli, walaupun sebabnya timbul dari sikap
Imam Bukhari yang terlalu memuliakan ilmu yang dimlikinya. Ketika itu, penguasa
Bukhara, mengirimkan utusan kepada Imam Bukhari, supaya ia mengirimkan
kepadanya dua buah karangannya, al-Jami' al-Shahih dan Tarikh. Imam Bukhari
keberatan memenuhi permintaan itu. Ia hanya berpesan kepada utusan itu agar
disampaikan kepada Khalid, bahawa "Aku tidak akan merendahkan ilmu dengan
membawanya ke istana. Jika hal ini tidak berkenan di hati tuan, tuan adalah
penguasa, maka keluarkanlah larangan supaya aku tidak mengadakan majlis
pengajian. Dengan begitu, aku mempunyai alas an di sisi Allah kelak pada hari
kiamat, bahawa sebenarnya aku tidak menyembunyikan ilmu." Mendapat jawaban
seperti itu, sang penguasa naik pitam, ia memerintahkan orang-orangnya agar
melancarkan hasutan yang dapat memojokkan Imam Bukhari. Dengan demikian ia
mempunyai alas an untuk mengusir Imam Bukhari. Tak lama kemudian Imam Bukhari
pun diusir dari negerinya sendiri, Bukhara.
Imam
Bukhari, kemudian mendo'akan tidak baik atas Khalid yang telah mengusirnya
secara tidak sah. Belum sebulan berlalu, Ibn Tahir memerintahkan agar Khalid
bin Ahmad dijatuhi hukuman, dipermalukan di depan umum dengan menungang himar
betina. Maka hidup sang penguasa yang dhalim kepada Imam Bukhari itu berakhir
dengan kehinaan dan dipenjara.
Kewafatannya
Imam Bukhari
tidak saja mencurahkan seluruh intelegensi dan daya ingatnnya yang luar biasa
itu pada karya tulisnya yang terpenting, Shahih Bukhari, tetapi juga
melaksanakan tugas itu dengan dedikasi dan kesalehan. Ia selalu mandi dan
berdo'a sebelum menulis buku itu. Sebahagian buku tersebut ditulisnya di
samping makan Nabi di Madinah.
Imam Durami,
guru Imam Bukhari, mengakui keluasan wawasan hadith muridnya ini: "Di
antara ciptaan Tuhan pada masanya, Imam Bukharilah agaknya yang paling
bijaksana."
Suatu ketika
penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari yang isinya meminta ia
supaya menetap di negeri mereka. Maka kemudian ia pergi untuk memenuhi
permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah dsa kecil
yang terletak dua farsakh sebelum Samarkand, dan desa itu terdapat beberapa
familinya, ia pun singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi mereka. Tetapi di
desa itu Imam Bukhari jatuh sakit hingga menemui ajalnya.
Ia wafat
pada malam Idul Fitri tahun 256 H. (31 Agustus 870 M), dalam usia 62 tahun
kurang 13 hari. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahawa jika meninggal
nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak
memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat.
Jenazahnya dikebumikan lepas dzuhur, hari raya Idul Fitri, sesudah ia melewati
perjalanan hidup panjang yang penuh dengan berbagai amal yang mulia. Semoga
Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya.
Guru-gurunya
Pengembaraannya
ke berbagai negeri telah mempertemukan Imam Bukhari dengan guru-guru yang
berbobot dan dapat dipercaya, yang mencapai jumlah sangat banyak. Diceritakan
bahawa dia menyatakan: "Aku menulis hadith yang diterima dari 1.080 orang
guru, yang semuanya adalah ahli hadith dan berpendirian bahawa iman adalah
ucapan dan perbuatan." Di antara guru-guru besar itu adalah Ali ibn
al-Madini, Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma'in, Muhammad ibn Yusuf al-Faryabi,
Maki ibn Ibrahim al-Bakhi, Muhammad ibn Yusuf al-Baykandi dan Ibn Rahawaih.
Guru-guru yang hadithnya diriwayatkan dalam kitab Shahih-nya sebanyak 289 orang
guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar