Segala
puji bagi Allah yang telah menciptakan surga bagi hamba-hamba yang beriman dan
menciptakan neraka bagi orang-orang kafir. Salawat dan salam semoga terlimpah
kepada nabi dan rasul akhir zaman, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia
mereka. Amma ba’du.
Berikut
ini adalah sebagian ciri-ciri dan karakter orang-orang yang dijanjikan oleh
Allah mendapatkan surga beserta segala kenikmatan yang ada di dalamnya, yang
sama sekali belum pernah terlihat oleh mata, belum terdengar oleh telinga, dan
belum terlintas dalam benak manusia. Semoga Allah menjadikan kita termasuk di
antara penduduk surga-Nya.
1.
Beriman dan beramal salih
Allah
ta’ala berfirman,
“Berikanlah
kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih bahwasanya
mereka akan mendapatkan balasan berupa surga yang di bawahnya mengalir
sungai-sungai…” (Qs. al-Baqarah: 25)
Ibnu
Abi Zaid al-Qairawani rahimahullah mengatakan,
“Iman
adalah ucapan dengan lisan, keikhlasan dengan hati, dan amal dengan anggota
badan. Ia bertambah dengan bertambahnya amalan dan berkurang dengan
berkurangnya amalan. Sehingga amal-amal bisa mengalami pengurangan dan ia juga
merupakan penyebab pertambahan -iman-. Tidak sempurna ucapan iman apabila tidak
disertai dengan amal. Ucapan dan amal juga tidak sempurna apabila tidak
dilandasi oleh niat -yang benar-. Sementara ucapan, amal, dan niat pun tidak
sempurna kecuali apabila sesuai dengan as-Sunnah/tuntunan.” (Qathfu al-Jani
ad-Dani karya Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, hal. 47)
al-Baghawi
rahimahullah menyebutkan riwayat dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu bahwa
yang dimaksud amal salih adalah mengikhlaskan amal. Maksudnya adalah bersih
dari riya’. Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu mengatakan, “Amal salih adalah
yang di dalamnya terdapat empat unsur: ilmu, niat yang benar, sabar, dan
ikhlas.” (Ma’alim at-Tanzil [1/73] as-Syamilah)
2.
Bertakwa
Allah
ta’ala berfirman,
“Bagi
orang-orang yang bertakwa terdapat balasan di sisi Rabb mereka berupa
surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya,
begitu pula mereka akan mendapatkan istri-istri yang suci serta keridhaan dari
Allah.
Allah Maha melihat hamba-hamba-Nya.” (Qs. Ali Imran: 15)
Syaikh
Ibnu Utsaimin rahimahullah menguraikan jati diri orang bertakwa. Mereka itu
adalah orang-orang yang bertakwa kepada Rabb mereka. Mereka menjaga diri dari
siksa-Nya dengan cara melakukan apa saja yang diperintahkan Allah kepada mereka
dalam rangka menaati-Nya dan karena mengharapkan balasan/pahala dari-Nya.
Selain itu, mereka meninggalkan apa saja yang dilarang oleh-Nya juga demi
menaati-Nya serta karena khawatir akan tertimpa hukuman-Nya (Majalis Syahri
Ramadhan, hal. 119 cet Dar al-’Aqidah 1423 H).
Termasuk
dalam cakupan takwa, yaitu dengan membenarkan berbagai berita yang datang dari
Allah dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan syari’at, bukan dengan
tata cara yang diada-adakan (baca: bid’ah). Ketakwaan kepada Allah itu dituntut
di setiap kondisi, di mana saja dan kapan saja. Maka hendaknya seorang insan
selalu bertakwa kepada Allah, baik ketika dalam keadaan tersembunyi/sendirian
atau ketika berada di tengah keramaian/di hadapan orang (lihat Fath al-Qawiy
al-Matin karya Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah, hal. 68 cet. Dar
Ibnu ‘Affan 1424 H)
an-Nawawi
rahimahullah menjelaskan, salah satu faktor pendorong untuk bisa menumbuhkan
ketakwaan kepada Allah adalah dengan senantiasa menghadirkan keyakinan
bahwasanya Allah selalu mengawasi gerak-gerik hamba dalam segala keadaannya
(Syarh al-Arba’in, yang dicetak dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 142 cet
Markaz Fajr dan Ulin Nuha lil Intaj al-I’lami)
Syaikh
as-Sa’di rahimahullah memaparkan bahwa keberuntungan manusia itu sangat
bergantung pada ketakwaannya. Oleh sebab itu Allah memerintahkan (yang
artinya), “Bertakwalah kepada Allah, mudah-mudahan kamu beruntung. Dan jagalah
dirimu dari api neraka yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Qs. Ali Imron:
130-131). Cara menjaga diri dari api neraka adalah dengan meninggalkan segala
sesuatu yang menyebabkan terjerumus ke dalamnya, baik yang berupa kekafiran
maupun kemaksiatan dengan berbagai macam tingkatannya. Karena sesungguhnya
segala bentuk kemaksiatan -terutama yang tergolong dosa besar- akan menyeret
kepada kekafiran, bahkan ia termasuk sifat-sifat kekafiran yang Allah telah
menjanjikan akan menempatkan pelakunya di dalam neraka. Oleh sebab itu,
meninggalkan kemaksiatan akan dapat menyelamatkan dari neraka dan melindunginya
dari kemurkaan Allah al-Jabbar. Sebaliknya, berbagai perbuatan baik dan
ketaatan akan menimbulkan keridhaan ar-Rahman, memasukkan ke dalam surga dan
tercurahnya rahmat bagi mereka (Taisir al-Karim ar-Rahman [1/164] cet Jum’iyah
Ihya’ at-Turots al-Islami)
Ibnu
Rajab al-Hanbali rahimahullah mengimbuhkan, bahwa tercakup dalam ketakwaan
-bahkan merupakan derajat ketakwaan yang tertinggi- adalah dengan melakukan
berbagai perkara yang disunnahkan (mustahab) dan meninggalkan berbagai perkara
yang makruh, tentu saja apabila yang wajib telah ditunaikan dan haram
ditinggalkan (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 211 cet Dar al-Hadits 1418 H)
Ibnu
Rajab rahimahullah menyebutkan riwayat dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu,
Mu’adz ditanya tentang orang-orang yang bertakwa. Maka beliau menjawab, “Mereka
adalah suatu kaum yang menjaga diri dari kemusyrikan, peribadahan kepada
berhala, dan mengikhlaskan ibadah mereka hanya untuk Allah.” al-Hasan
mengatakan, “Orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang menjauhi
perkara-perkara yang diharamkan Allah kepada mereka dan menunaikan kewajiban
yang diperintahkan kepada mereka.” Umar bin Abdul Aziz rahimahullah juga
menegaskan bahwa ketakwaan bukanlah menyibukkan diri dengan perkara yang sunnah
namun melalaikan yang wajib. Beliau rahimahullah berkata, “Ketakwaan kepada
Allah bukan sekedar dengan berpuasa di siang hari, sholat malam, dan
menggabungkan antara keduanya. Akan tetapi hakikat ketakwaan kepada Allah
adalah meninggalkan segala yang diharamkan Allah dan melaksanakan segala yang
diwajibkan Allah. Barang siapa yang setelah menunaikan hal itu dikaruni amal
kebaikan maka itu adalah kebaikan di atas kebaikan.” Thalq bin Habib
rahimahullah berkata, “Takwa adalah kamu melakukan ketaatan kepada Allah di
atas cahaya dari Allah karena mengharapkan pahala dari Allah, serta kamu
meninggalkan kemaksiatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena takut
hukuman Allah.” (dinukil dari Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 211 cet Dar al-Hadits
1418 H)
Pokok
dan akar ketakwaan itu tertancap di dalam hati. Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata, “Pada hakikatnya ketakwaan yang sebenarnya itu adalah ketakwaan dari
dalam hati, bukan semata-mata ketakwaan anggota tubuh. Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Yang demikian itu dikarenakan barang siapa yang mengagungkan
syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu semua muncul dari ketakwaan yang ada
di dalam hati.” (Qs. al-Hajj: 32). Allah juga berfirman (yang artinya), “Tidak
akan sampai kepada Allah daging-daging dan darah-darah -hewan kurban itu-, akan
tetapi yang akan sampai kepada Allah adalah ketakwaan dari kalian.” (Qs.
al-Hajj: 37). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketakwaan itu
sumbernya di sini.” Seraya beliau mengisyaratkan kepada dadanya (HR. Muslim
dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).” (al-Fawa’id, hal. 136 cet. Dar
al-’Aqidah 1425 H)
Namun,
perlu diingat bahwa hal itu bukan berarti kita boleh meremehkan amal-amal
lahir, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Petunjuk yang paling sempurna adalah
petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara itu, beliau adalah
orang yang telah menunaikan kedua kewajiban itu -lahir maupun batin- dengan
sebaik-baiknya. Meskipun beliau adalah orang yang memiliki kesempurnaan dan
tekad serta keadaan yang begitu dekat dengan pertolongan Allah, namun beliau
tetap saja menjadi orang yang senantiasa mengerjakan sholat malam sampai kedua
kakinya bengkak. Bahkan beliau juga rajin berpuasa, sampai-sampai dikatakan
oleh orang bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berjihad di jalan Allah.
Beliau pun berinteraksi dengan para sahabatnya dan tidak menutup diri dari
mereka. Beliau sama sekali tidak pernah meninggalkan amalan sunnah dan
wirid-wirid di berbagai kesempatan yang seandainya orang-orang yang perkasa di
antara manusia ini berupaya untuk melakukannya niscaya mereka tidak akan
sanggup melakukan seperti yang beliau lakukan. Allah ta’ala memerintahkan
kepada hamba-hamba-Nya untuk menunaikan syari’at-syari’at Islam dengan perilaku
lahiriyah mereka, sebagaimana Allah juga memerintahkan mereka untuk mewujudkan
hakikat-hakikat keimanan dengan batin mereka. Salah satu dari keduanya tidak
akan diterima, kecuali apabila disertai dengan ‘teman’ dan pasangannya…”
(al-Fawa’id, hal. 137 cet. Dar al-’Aqidah 1425 H)
3.
Taat kepada Allah dan Rasul-Nya
Allah
ta’ala berfirman,
“Barang
siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan memasukkannya ke
dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di
dalamnya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (Qs. an-Nisa’: 13)
Allah
ta’ala berfirman tentang mereka,
“Sesungguhnya
ucapan orang-orang yang beriman itu ketika diseru untuk patuh kepada Allah dan
rasul-Nya agar rasul itu memutuskan perkara di antara mereka maka jawaban
mereka hanyalah, ‘Kami dengar dan kami taati’. Hanya mereka itulah orang-orang
yang beruntung.” (Qs. an-Nur: 51)
Allah
ta’ala menyatakan,
“Barang
siapa taat kepada Rasul itu maka sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.”
(Qs. An-Nisaa’ : 80)
Allah
ta’ala berfirman,
“Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul, ketika menyeru
kalian untuk sesuatu yang akan menghidupkan kalian. Ketahuilah, sesungguhnya
Allah yang menghalangi antara seseorang dengan hatinya. Dan sesungguhnya kalian
akan dikumpulkan untuk bertemu dengan-Nya.” (Qs. al-Anfal: 24)
Ketika
menjelaskan kandungan pelajaran dari ayat ini, Ibnul Qayyim rahimahullah
mengatakan, “Sesungguhnya kehidupan yang membawa manfaat hanyalah bisa digapai
dengan memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya. Barang siapa yang tidak muncul pada
dirinya istijabah/sikap memenuhi dan mematuhi seruan tersebut maka tidak ada
kehidupan sejati padanya. Meskipun sebenarnya dia masih memiliki kehidupan ala
binatang yang tidak ada bedanya antara dia dengan hewan yang paling rendah sekalipun.
Oleh sebab itu kehidupan yang hakiki dan baik adalah kehidupan pada diri orang
yang memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya secara lahir dan batin. Mereka itulah
orang-orang yang benar-benar hidup, walaupun tubuh mereka telah mati. Adapun
selain mereka adalah orang-orang yang telah mati, meskipun badan mereka masih
hidup. Oleh karena itulah maka orang yang paling sempurna kehidupannya adalah
yang paling sempurna di antara mereka dalam memenuhi seruan dakwah Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya di dalam setiap ajaran yang
beliau dakwahkan terkandung unsur kehidupan sejati. Barang siapa yang luput
darinya sebagian darinya maka itu artinya dia telah kehilangan sebagian unsur
kehidupan, dan di dalam dirinya mungkin masih terdapat kehidupan sekadar dengan
besarnya istijabahnya terhadap Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(al-Fawa’id, hal. 85-86 cet. Dar al-’Aqidah)
4.
Cinta dan Benci karena Allah
Allah
ta’ala berfirman,
“Tidak
akan kamu jumpai suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkasih
sayang kepada orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya meskipun mereka
itu adalah bapak-bapak mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, maupun
sanak keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang ditetapkan Allah di dalam
hati mereka dan Allah kuatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya, Allah akan
memasukkan mereka ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai,
mereka kekal di dalamnya. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha
kepada-Nya. Mereka itulah golongan Allah, ketahuilah sesungguhnya hanya
golongan Allah itulah orang-orang yang beruntung.” (Qs. al-Mujadalah: 22)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barang
siapa yang mencintai karena Allah. Membenci karena Allah. Memberi karena Allah.
Dan tidak memberi juga karena Allah. Maka sungguh dia telah menyempurnakan
imannya.” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu
Dawud [10/181] as-Syamilah)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Demi
Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah beriman salah seorang dari
kalian sampai aku lebih dicintainya daripada orang tua dan anak-anaknya.” (HR.
Bukhari)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ciri
keimanan yaitu mencintai kaum Anshar, sedangkan ciri kemunafikan yaitu membenci
kaum Anshar.” (HR. Bukhari)
5.
Berinfak di kala senang maupun susah
Allah
ta’ala berfirman,
“Bersegeralah
menuju ampunan Rabb kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang menginfakkan
hartanya di kala senang maupun di kala susah, orang-orang yang menahan amarah,
yang suka memaafkan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. Dan
orang-orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau menzalimi diri mereka
sendiri maka mereka pun segera mengingat Allah lalu meminta ampunan bagi
dosa-dosa mereka, dan siapakah yang mampu mengampuni dosa selain Allah. Dan
mereka juga tidak terus menerus melakukan dosanya sementara mereka
mengetahuinya.” (Qs. Ali Imron: 133-135)
Membelanjakan
harta di jalan Allah merupakan ciri orang-orang yang bertakwa. Allah ta’ala
berfirman,
“Alif
lam mim. Ini adalah Kitab yang tidak ada keraguan padanya. Petunjuk bagi
orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang beriman kepada perkara gaib,
mendirikan sholat, dan membelanjakan sebagian harta yang Kami berikan kepada
mereka.” (Qs. al-Baqarah: 1-3)
Syaikh
as-Sa’di memaparkan, infak yang dimaksud dalam ayat di atas mencakup berbagai
infak yang hukumnya wajib seperti zakat, nafkah untuk istri dan kerabat, budak,
dan lain sebagainya. Demikian juga ia meliputi infak yang hukumnya sunnah
melalui berbagai jalan kebaikan. Di dalam ayat di atas Allah menggunakan kata
min yang menunjukkan makna sebagian, demi menegaskan bahwa yang dituntut oleh
Allah hanyalah sebagian kecil dari harta mereka, tidak akan menyulitkan dan
memberatkan bagi mereka. Bahkan dengan infak itu mereka sendiri akan bisa
memetik manfaat, demikian pula saudara-saudara mereka yang lain. Di dalam ayat
tersebut Allah juga mengingatkan bahwa harta yang mereka miliki merupakan rezki
yang dikaruniakan oleh Allah, bukan hasil dari kekuatan mereka semata. Oleh
sebab itu Allah memerintahkan mereka untuk mensyukurinya dengan cara
mengeluarkan sebagian kenikmatan yang diberikan Allah kepada mereka dan untuk
berbagi rasa dengan saudara-saudara mereka yang lain (lihat Taisir al-Karim
ar-Rahman [1/30] cet. Jum’iyah Ihya’ at-Turots al-Islami)
6.
Memiliki hati yang selamat
Allah
ta’ala berfirman,
“Pada
hari itu -hari kiamat- tidak bermanfaat lagi harta dan keturunan, melainkan
bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (Qs. as-Syu’ara:
88-89)
Abu
Utsman an-Naisaburi rahimahullah mengatakan tentang hakikat hati yang selamat,
“Yaitu hati yang terbebas dari bid’ah dan tenteram dengan Sunnah.” (disebutkan
Ibnu Katsir dalam tafsirnya [6/48] cet Maktabah Taufiqiyah)
Imam
al-Baghawi rahimahullah mengatakan bahwa hakikat hati yang selamat itu adalah,
“Hati yang bersih dari syirik dan keragu-raguan. Adapun dosa, maka tidak ada seorang
pun yang bisa terbebas darinya. Ini adalah pendapat mayoritas ahli tafsir.”
(Ma’alim at-Tanzil [6/119], lihat juga Tafsir Ibnu Jarir at-Thabari [19/366]
as-Syamilah)
Imam
al-Alusi rahimahullah juga menyebutkan bahwa terdapat riwayat dari para ulama salaf
seperti Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, Ibnu Sirin, dan lain-lain yang
menafsirkan bahwa yang dimaksud hati yang selamat adalah, “Hati yang selamat
dari penyakit kekafiran dan kemunafikan.” (Ruh al-Ma’ani [14/260] as-Syamilah)
Ibnul
Qayyim rahimahullah mengatakan, “Pengertian paling lengkap tentang makna hati
yang selamat itu adalah hati yang terselamatkan dari segala syahwat yang
menyelisihi perintah Allah dan larangan-Nya. Hati yang bersih dari segala macam
syubhat yang bertentangan dengan berita dari-Nya. Oleh sebab itu, hati semacam
ini akan terbebas dari penghambaan kepada selain-Nya. Dan ia akan terbebas dari
tekanan untuk berhukum kepada selain Rasul-Nya…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15
cet. Dar Thaibah)
Syaikh
as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Hati yang selamat artinya yang bersih dari:
kesyirikan, keragu-raguan, mencintai keburukan, dan terus menerus dalam bid’ah
dan dosa-dosa. Konsekuensi bersihnya hati itu dari apa-apa yang disebutkan tadi
adalah ia memiliki sifat-sifat yang berlawanan dengannya. Berupa keikhlasan,
ilmu, keyakinan, cinta kebaikan dan memandang indah kebaikan itu di dalam hati,
dan juga kehendak dan kecintaannya pun mengikuti kecintaan Allah, hawa nafsunya
tunduk mengikuti apa yang datang dari Allah.” (Taisir al-Karim ar-Rahman hal.
592-593 cet. Mu’assasah ar-Risalah)
Ibnul
Qayyim rahimahullah juga menjelaskan karakter si pemilik hati yang selamat itu,
“… apabila dia mencintai maka cintanya karena Allah. Apabila dia membenci maka
bencinya karena Allah. Apabila dia memberi maka juga karena Allah. Apabila dia
mencegah/tidak memberi maka itupun karena Allah…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15
cet. Dar Thaibah)
Demikianlah
sekelumit yang bisa kami tuangkan dalam lembaran ini. Semoga bermanfaat bagi
yang menulis, membaca maupun yang menyebarkannya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina
Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar