Dalam ekonomi politik, khususnya ekonomi politik
internasional, teori ekonomi politik atau yang lebih disebut Gilpin sebagai
ideology adalah suatu hal yang penting. Sebagaimana yang dibahas oleh
Heilbroner yang menjelaskan bahwa ideology adalah suatu kerangka berpikir
actor-aktor ekonomi polirik internasional (EPI) bagaiamana system social dapat
bekerja dan prinsip yang dicontohkan (Heilbroner, 1985). Dalam studi ekonomi
pada umumnya, dan khususnya ekonomi internasional terdapat 3 ideologi yang
dominan, yaitu: Merkantilisme, Liberalisme, dan Marxisme. Ketiganya memiliki
perbedaan mendasar dalam memandang masyarakat, Negara, dan pasar.
Ideology mainstream pertama adalah Merkantilisme
atau dalam artikel Gilpin disebut sebagai perspektif nasionalis. Menurut
ideology ini, dalam perekonomian, Negara adalah actor sentral. Artinya adalah
bahwa dalam perekonomian, politik adalah aspek yang paling menentukan.
Aktivitas ekonomi adalah suatu subordinat dari tujuan pembangunan Negara
sehingga aktivitas ekonomi harus tunduk pada tujuan utama yaitu untuk
pembangunan Negara yang kuat (Jackson & Sorensen, 2009: 231). Teoritisi ideology
ini menganggap bahwa organisasi dan fungsi system internasional adalah
keutamaan Negara, keamanan internasional, dan kekuatan militer. Merkantilis
menganggap bahwa perekonomian adala
h salah satu alat politik. Perekonomian
internasional dipandang sebagai arena konflik antara kepentingan nasional yang
berlawanan dan bersifat zero-sum game artinya adalah bahwa keuntungan suatu
Negara adalah kerugian bagi Negara lain. Tujuan utama dari ideology ini adalah
guna mencapaipower Negara (Jackson & Sorensen: 179).
Menurut asumsi merkantilis kekayaan material yang dikumpulkan oleh Negara dapat
menjadi basis kekuatan suatu negara. Menurut Gilpin, terdapat dua bentuk
perekonomian merkantilis, yaitu: pertama, merkantilis ramah (benign) dimana Negara
memelihara kepentingan ekonomi nasionalnya demi keamanan nasionalnya, kebijakan
seperti itu tidak akan berdampak negative bagi Negara lain. Bentuk kedua adalah
Merkantilisme agresif (Malevolent
Mercantilism), dimana Negara-negara berupaya mengeksploitasi
perekonomian internasional melalui kebijakan ekspansi dan berdampak negative
pada Negara lain (Jackson & Sorensen, 2009: 232).
Ideology mainstream kedua adalah liberalism
ekonomi. Pada dasarnya ideology ini menganggap bahwa seharusnya perekonomian
berorientasi pada pasar dan harus ada otonomi perekonomian (laissez-faire). Anggapannya
adalah bahwa pasar akan memberikan kepuasan spontan terhadap kebutuhan manusia
(Jackson &Sorensen, 1999: 181). Pasar adalah arena terbuka dimana
actor-aktor tersebut akan saling bertukar dan menjual barang-barang. Yang
menjadi actor utama adalah individu maupun kelompok individu (perusahaan)
sebagi konsumen sekaligus sebagai produsen. Pasar akan mengakomodasi sifat
kerjasama diantara actor-aktor ekonomi yang sifatnya adalah positive
sum game, artinya adalah bahwa asumsi liberalis menganggap bahwa
dalam perekonomian pasar masing-masing actor akan bekerjasama untuk dapat
saling memberikan keuntungan bagi satu sama lain. Dalam liberalism ini yang
ingin dicapai adalah kesejahteraan maksimum individu dalam masyarakat. Untuk
mencapai pasar yang kondusif, liberalis menganggap intervensi Negara dan
pemerintah harus diminimalisasi. Harus ada suatu otonomi ekonomi, dimana harus
dipisahkan antara ekonomi dan politik, karena menurut Gilpin kedua hal tersebut
memiliki suatu hokum dan logika masing-masing, Tujuan utama perekonomian adalah
untuk dapat memberikan keuntungan bagi konng disebabkan oleh ekonomi yang tidak
merata, yang pada akhirnya nanti konflik itulah yang menjadi fundamental proses
politik (Jackson & Sorensen: 185). Dalam ekonomi Marxis yang menjadi tujuan
utama adalah kepentingan kelas.
Kesimpulannya adalah bahwa dalam ekonomi
politik, khususnya ekonomi politik internasional dikenal tiga ideology yang
dominan, yaitu: Liberalisme ekonomi, Marxist, dan juga Merkantilisme. Ketiganya
memiliki perspektif yang berbeda. Liberalisme sangat mengutamakan perekonomian
pada system pasar dengan seminimal mungkin intervensi Negara dalam aktivitas
perekonomian. Merkantilisme menganggap bahwa ekonomi berada di bawah Negara
(politik), artinya adalah bahwa ekonomi adalah salah satu instrument Negara
untuk mendapat power. Sedangkan Marxist
memandang bahwa politik dikendalikan oleh proses ekonomi, dalam hal ini adalah
konflik kepentingan antara kaum borjuis dengan kaum proletarian. Jadi dalam
mengkaji EPI tidak dapat lepas dari ketiga ideology mainstream tersebut.
Referensi:
·
Jackson,
Robert and G. Sorensen. 1999. “International Political Economy”,
dalam Introduction to International Relations, Oxford: Oxford
University Press, pp. 175-216
·
Gilpin,
Robert. 1987. “Three Ideologies of Political Economy”, dalam the
Political Economy of International Relations, Princeton: Princeton
University Press, pp. 25-64
Tidak ada komentar:
Posting Komentar