Sobat Sobat SenjuJasrizal.blogspot.com yang baik hati,,, TERIMA KASIH TELAH MENGUNJUNGI BLOG INI... mohon maaf atas segala kekurangan, mudah-mudahan bermanfaat dan dapat sobat2ku mengambil hikmah didalamnya....^_^

Kamis, 10 Mei 2012

Pluralisme, Rahmat ataukah Laknat

Sebagai sebuah bangsa dan negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar serta sangat beragam (plural), Indonesia memang memiliki risiko konflik dan perpecahan yang cukup besar. Karenanya sangat wajar apabila ada sejumlah pihak tak bosan-bosannya berupaya merukunkan berbagai elemen masyarakat yang selama ini terjebak konflik, termasuk konflik antar ummat beragama di Maluku, Poso, dan wilayah lainnya.
Upaya itu dilakukan antara lain dengan melakukan dialog antar ummat beragama yang sudah diselenggarakan berkali-kali di berbagai tempat. Ada juga apel keagamaan, seperti yang diselenggarakan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang kebanyakan anggotanya pemuda NU dan Unit Kegiatan Kerohanian Kristen (UKKK) Universitas Dr Soetomo Surabaya. Acara bertajuk 'Cinta Damai dan Persahabatan Antarumat Beragama' itu menampilkan pembicara lintas agama, seperti H. Ali Maschan Moesa, MSi (Ketua PWNU Jatim), Didik (Pastor Paroki Sidoarjo), serta I Made Gunartha (Ketua I Parisada Hindu Dharma Kota Surabaya).
Yang lebih jauh adalah doa bersama lintas agama, seperti yang dilakukan kalangan LSM dan mahasiswa di pelataran Gedung Pola, bundaran Tugu Selamat Datang (HI) Jakarta dan beberapa tempat lainnya, tahun-tahun silam.


Meski kegiatan seperti itu baru merebak sejak gerakan reformasi bergulir, rintisannya sudah berlangsung sejak lama berupa wacana kenisbian ajaran agama. Sejak 1970-an pemerintah Orde Baru melalui pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) sudah mengajarkan siswa untuk berpartisipasi pada acara ritus ibadah agama yang tidak dianutnya. Lewat PMP pula digulirkan paham bahwa semua agama sama baiknya, sama-sama menyembah Tuhan dan sama-sama mengajarkan ummatnya berbuat kebajikan. Namun karena menuai banyak protes dari berbagai ormas Islam, bagian kontroversial itu akhirnya ditiadakan.
Selesai? Ternyata tidak. Meski tidak lagi diajarkan melalui PMP (kini berganti nama menjadi PPKN), wacana tersebut bergulir terus. Dimotori para cendekiawan dari berbagai IAIN dan Yayasan Paramadina, seperti (alm) Harun Nasution, Nucholish Madjid, Djohan Effendi, serta Komarudin Hidayat, berbagai pemikiran keagamaan yang meminjam istilah kalangan ini bercorak Neo-Modernisme terus ditumbuhsuburkan melalui berbagai tulisan di media massa dan forum-forum ilmiah.
Ada berbagai gagasan yang dilontarkan, seperti Islam Rasional, Islam Peradaban dan Islam Transformatif. Belakangan, sejak akhir 1990-an kemudian muncul gagasan Islam Inklusif, Islam Pluralis dan terakhir Islam Liberal.
Penerbit Paramadina menerbitkan buku berjudul Islam Pluralis, yang merupakan kumpulan tulisan Budhy Munawar-Rachman. Kemudian tengah bulan silam penerbit yang sama meluncurkan buku berjudul Wacana Islam Liberal. Buku terakhir ini merupakan kumpulan tulisan berbagai pemikir Islam bertaraf internasional yang disunting oleh Charles Kurzman, asisten profesor pada University of North Carolina. Di penulisnya terdapat nama antara lain Muhammad Iqbal, Chandra Muzaffar, Yusuf al-Qardhawi, Mohammad Natsir, Mehdi Bazargan, Benazir Bhutto, Fatima Mernissi, Mohamed Arkoun, Fazlur Rahman, dan Nurcholish Madjid.
Inklusif dan Pluralis
Di antara berbagai wacana itu, yang paling gencar disosialisasikan adalah wacana Islam Inklusif. Karena kalangan tersebut menganggap banyak ummat beragama ­terutama yang sering disorot kalangan Muslim bersikap eksklusif. Apa maksudnya? Menurut salah seorang aktivis kalangan ini, Sukidi, seseorang tergolong eksklusif manakala merasa ajaran yang paling benar hanyalah agama yang dipeluknya, sedangkan agama-agama lain dituduh sesat. Mereka yang eksklusif, masih kata Sukidi, cenderung memonopoli kebenaran agama (claim of truth) dan paham keselamatan (claim of salvation).
Sikap seperti itu, menurut Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Budhy Munawar Rachman, membuat berbagai konflik sosial politik, juga membawa berbagai macam perang antar-agama.
Senada dengan hal itu, Jabir Al Faruqi, Direktur Lembaga Studi Agama dan Pembangunan (LSAP) Semarang, dengan mengutip pendapat ilmuwan Barat Paul Knitter, menulis di harian Kompas (13/6/1997), "Semua agama pada dasarnya adalah relatif. Karena itu sekarang ini sikap menganggap sebuah agama lebih baik dari yang lain dirasa sebagai sebuah sikap yang agak salah dan ofensif."
Budhy juga mengecam orang-orang yang meyakini bahwa hanya ada satu jalan keselamatan, yaitu agama mereka sendiri. "Pandangan ini jelas mempunyai kecenderungan fanatik, dogmatis dan otoriter!!!" tulisnya di Republika (24/06/2000).
Budhy kemudian mengajak orang menuju suatu teologi yang disebutnya teologi pluralis. Yakni, melihat agama-agama lain dibanding dengan agama-agama sendiri, dalam rumusan: Other religions are equally valid ways to the same thruth (John Hick); Other religions speak of different but equally valid thruts (John B Cobb Jr); Each religion expresses an important part of the truth (Raimundo Panikkar); atau setiap agama sebenarnya mengespresikan adanya The One in the many (Sayyed Hossein Nasr). Benang merahnya, teologi pluralis mengajak orang menuju sikap pararelisme terhadap berbagai agama, dengan menganggap semua agama sama sahihnya sebagai jalan menuju kebenaran. "Satu Tuhan, dalam banyak jalan," ungkap Budhy.
Untuk menopang pendapatnya itu Budhy tak lupa mengutip pendapat ahli sufi, Jalaluddin Rumi yang menyatakan, "Meskipun ada bermacam-macam agama, tujuannya adalah satu. Apakah Anda tidak tahu bahwa ada banyak jalan menuju ka'bah? Oleh karena itu apabila yang Anda pertimbangkan adalah jalannya, maka sangat beraneka ragam dan sangat tidak terbatas jumlahnya; tetapi apabila yang Anda pertimbangkan adalah tujuannya, maka semuanya terarah hanya pada satu tujuan."
Masih ada sejumlah pemikir yang mempunyai pandangan senada dengan Budhy. Salah seorang di antaranya adalah Abdurrahman Wahid, yang baru saja dimakzulkan dari kursi kepresidenan RI oleh MPR. Ketika baru terpilih jadi presiden, dalam kunjungannya di Bali ia mengungkapkan, "Kalau kita benar-benar beragama, maka akan menolak kebenaran satu-satunya di pihak kita dan mengakui kebenaran semua pihak. Kebenaran mereka yang juga kita anggap berbeda dari kita. Ini yang paling penting. Oleh karena itu semuanya benar."
Sebagian pemikir Islam nampaknya terkagum-kagum dengan hasil Konsili Vatikan II (1965) yang dihasilkan kalangan Katolik. Dalam konsili memang terdapat pandangan yang mengakui adanya jalan keselamatan dalam agama-agama non-Kristen. Lalu para pemikir itu menghendaki kalangan Islam juga menghasilkan pandangan seperti itu melalui wacana pluralisme.
Sinkretisme
Berbagai gagasan itu menurut Sekretaris Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Adian Husaini, sebenarnya hanyalah gagasan lama yang dikemas dengan istilah-istilah yang lebih indah. Karena pluralisme pada hakekatnya sama dengan sinkretisme, paham yang mencampurkan ajaran satu agama dengan agama lainnya.
Jika diperhatikan dengan seksama, ada sejumlah pemikir dan pengamat yang entah sengaja atau tidak kerap merancukan makna antara pluralitas dan pluralisme. Memang keduanya berasal dari akar kata yang sama: plural, yang artinya majemuk atau beragam. Namun setelah menjadi kata jadian, pluralitas berbeda dengan pluralisme.
Pluralitas yang berarti kemajemukan adalah fakta kehidupan dan merupakan kehendak Allah, misalnya tentang kemajemukan bangsa dan suku sebagaimana termaktub dalam Al-Quran surat Al-Hujurat (49) ayat 13: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal..." Juga pada surat Ar-Ruum (30), "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berain-lainan bahasamu dan warna kulitmu"
Allah juga menciptakan kemajemukan ummat, meski Ia mampu menciptakan satu ummat manusia saja, agar tiap-tiap mereka berlomba menuju kebaikan. Bahkan hal itulah yang menjadi tujuan-Nya mencipta manusia, sebagaimana termaktub dalam surat Hud (11) ayat 118-119: "Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia ummat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka."; dan pada surat Al-Maidah (5) ayat 48, "Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu ummat saja, tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan"
Jadi pluralitas atau kemajemukan adalah realitas dan keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri. Terhadap kenyataan itu Rasulullah Muhammad saw, para sahabat dan pengikutnya telah menunjukkan pada dunia tentang bagaimana cara hidup dan bergaul di tengah masyarakat yang majemuk.
Ketika Rasulullah menjadi pemimpin di Madinah, masyarakat negeri itu tidak homogen, melainkan terdiri dan beragam bangsa (Arab dan Bani Israel), suku (Aus, Khajraj, Quraisy dll), kelompok (Muhajirin dan Anshar) dan agama (Islam, Yahudi dan paganis). Untuk menggalang persatuan di antara mereka, termasuk dengan kelompok Yahudi, Rasulullah kemudian mengadakan perjanjian persatuan dan kerjasama seperti yang tertuang dalam Piagam Madinah.
Salah satu pasalnya berbunyi: "Kaum Mukminin dan kaum Muslimin, dari Quraisy dan penduduk Yatsrib, dan orang yang mengikuti mereka, maka bergabung dengan mereka dan berjuang bersama-sama. Mereka ummat yang satu yang berbeda dengan kelompok masyarakat yang lain Orang-orang Yahudi adalah satu ummat bersama kaum Mukminin. Bagi orang Yahudi agama mereka dan bagi kaum Muslimin agama mereka."

Dalam berbagai buku sejarah Islam dapat jelas terbaca bahwa Rasulullah dan para sahabatnya di Madinah sangat biasa bergaul dan bermuamalah dengan orang-orang Yahudi. Mereka hidup berdampingan secara damai. Dalam sebuah hadits diriwayatkan Nabi Muhammad pernah berhutang pada orang Yahudi. Dan hadits lain diriwayatkan Nabi pernah menjenguk orang Yahudi yang sedang sakit, hingga tersentuh hatinya lalu masuk Islam. Konflik baru terjadi ketika orang-orang Yahudi melakukan pengkhianatan terhadap Piagam Madinah dalam perang Khandaq, sehingga diusir keluar dari Madinah.
Ketika Dinasti Umayyah (etnis Arab) berkuasa lima abad di Andalusia (Spanyol), di negeri itu tiga agama, Islam, Kristen, dan Yahudi, hidup berdampingan secara damai dan penuh toleransi. Tapi ketika negeri itu berhasil ditaklukkan kembali oleh Kerajaan Spanyol yang Katolik, terjadi pembantaian besar-besaran terhadap orang Muslim dan orang Yahudi oleh pasukan Kerajaan Spanyol.
Artinya, ummat Islam jika benar-benar memahami ajaran agamanya ­tanpa dikuliahi teori-teori Barat pasti mereka akan dapat mengembangkan sikap toleran, bersahabat terhadap kalangan non-Muslim. Dalam menjalankan hubungan sosial yang bersifat muamalah, ummat Islam akan bersikap inklusif. Tetapi jika sudah menyangkut masalah keimanan dan akidah tidak ada kompromi dan konvergensi.
Namun bagi kalangan pengusung gagasan pluralisme, sikap inklusif seperti itu dianggap tidak memadai. Harus ada upaya konvergensi, seperti yang diharap Sukidi, "Mengingat pluralisme agama merupakan sunnatullah (kehendak Tuhan), maka sangat urgen sekali adanya konvergensi agama-agama, yaitu usaha mencari titik temu agama-agama Jadi meskipun secara eksoterik, agama itu bersifat plural (pluralisme agama), namun secara esoterik, semuanya bermuara pada Satu Tuhan atau Tuhan Yang Maha Esa."
Pandangan seperti itu ditentang keras oleh Daud Rasyid Sitorus, staf pengajar LIPIA Jakarta yang pernah berpolemik dengan Nucholish Madjid. Menurutnya, ajaran Islam mengakui adanya pluralitas, tapi tidak membenarkan pluralisme. "Masyarakat yang beragam diakui dalam Al-Quran, tapi Islam tegas mengatakan bahwa tidak semua agama itu benar. Karena tidak mungkin orang menganut suatu agama kalau dia tidak meyakini agamanya yang paling benar."
Lebih lanjut Daud menjelaskan, Islam tidak melarang ummatnya berhubungan sosial dengan ummat lain dalam konteks bermuamalah. Tapi jika sudah menyangkut aqidah dan ibadah, tidak ada kompromi. "Kita boleh bergaul dan menghormati orang beragama lain, tapi jangan sampai mengakui semua agama benar. Dalam riwayat Nabi pernah bermuamalah dengan orang Yahudi, tapi dalam hal aqidah tidak ada kompromi."
Upaya menggebu-gebu kalangan pemikir Islam dalam mengkampanyekan pluralisme dan konvergensi agama patut diberi tanda tanya. Sebab ujung-ujungnya mengajak untuk kompromi aqidah, dengan turut memberi pembenaran kepada ajaran agama lain. Padahal pemikir Kristen yang juga gencar menyuarakan pluralisme dan dialog antar ummat beragama, seperti mendiang pendeta Victor Tanja, tidak berfikir sampai sejauh itu. "Dalam setiap agama para pemeluknya menyembah Tuhan YME menurut pandangan agama masing-masing. Kejelasan ini perlu dipegang untuk menghindari kompromi aqidah," tulisnya di Republika.
Victor dengan mengutip pendapat seorang uskup gereja Ortodok Syria, juga memberi contoh hubungan antar ummat beragama yang proporsional dan tidak kebablasan, "Tujuan kemitraan bukan untuk membentuk satu agama dunia dengan memperpadukan semua agama. Menurut dia ini adalah usaha sia-sia. Tujuan sebenarnya adalah untuk mencari suatu landasan bersama yang di atasnya semua budaya dunia dapat saling bertemu dalam suasana saling menghormati, serta dapat hidup dalam kepelbagaian agama-agama secara global tanpa kehilangan identitas masing-masing."
Bicara tentang kompromi aqidah dan ibadah akan mengingatkan kita pada suatu peristiwa yang monumental dan diabadikan dalam Al-Quran. Alkisah para pemuka kafir Quraisy tiba pada suatu kondisi merasa tak mampu lagi membendung upaya da'wah yang dilakukan Nabi Muahammad dan menyadari bahwa suatu saat kepercayaan paganisme (menyembah berhala) yang mereka anut akan tersingkir oleh risalah Islam, maka kemudian mereka mendatangi Nabi dan menawarkan kompromi.
Mereka mengajak kedua belah pihak saling mengakui kebenaran kepercayaan keduanya Islam dan paganismelalu kedua belah pihak melakukan ibadah bersama secara bergantian. Caranya, hari ini kedua belah pihak melakukan ibadah Islam, keesokan harinya kedua belah pihak melakukan ibadah penyembahan berhala.
Tawaran kompromi aqidah dan ibadah ini ditolak mentah-mentah oleh Allah dan rasul-Nya. Allah kemudian mengutus malaikat Jibril menurunkan surat Al-Kafirun, yang mengajarkan ummat Islam untuk menolak segala bentuk kompromi aqidah dan ibadah dengan orang kafir.
Ayat 2 surat tersebut berbunyi, "Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah." Larangan menyembah apa yang disembah orang kafir, mengandung arti larangan membenarkan kepercayaan mereka dan larangan mempercayai bahwa ajaran mereka membawa keselamatan duniawi dan ukhrawi.
Dalam ajaran Islam dikenal konsep orang Muslim dan orang kafir. Bagi orang kafir tidak ada jalan keselamatan untuk mereka. Tempat mereka adalah neraka jahanam.
Kalau kalangan pengusung pluralisme mengakui kebenaran dan adanya jalan keselamatan bagi kalangan non-Muslim, lantas menurut mereka, siapakah yang Allah maksud dengan orang kafir yang Dia janjikan masuk neraka jahannam?
Wallahu a'lam bish-shawab.· (shw, dek)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar