1. Hukum waris menduduki tempat amat penting
dalam Hukum Islam. Ayat-ayat A1-qur�an mengatur hukum waris dengan jelas dan terperinci : hal
ini dapat dimengerti sebab masalah warisan pasti dialami oleh setiap
orang. Sedemikian pentingnya kedudukan hukum waris Islam dalam hukum Islam
dapat disimpulkan dari hadits Nabi riwayat Ibnu Majah dan Addaraquthni yang
menyatakan �Pelajarilah faraidl (hukum waris)
dan ajarkanlah kepada orang banyak, karena faraidl adalah separoh ilmu
dan mudah dilupakan serta merupakan ilmu yang pertama kali hilang dari umatku.�
2.
Sumber-sumber Hukum Waris Islam
a. Al-Qur�an
Al-Qur�an Surat (QS) An Nisa� ayat 1 menegaskan
tentang kuatnya hubungan kerabat karena
pertalian darah.
QS An Nisa� ayat 7 memberi ketentuan
bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama berhak atas warisan orang tuanya dan
kerabatnya.
QS An Nisa� ayat 8 memerintahkan
agar kepada sanak kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin yang hadir menyaksikan pembagian harta warisan, diberi jumlah harta sekedar
untuk dapat mengikuti menikmati harta
warisan yang baru saja dibagi itu.
QS An Nisa� ayat 9 memperingatkan
agar orang senantiasa memperhatikan kepada anak cucu yang akan ditinggalkan, agar jangan sampai mereka mengalami kesempitan hidup sebagai akibat
kesalahan orang tua membelanjakan hartanya.
QS An Nisa� ayat 10 memperingatkan
agar orang berhati-hati dalam memelihara harta warisan yang menjadi hak-hak
anak yatim, jangan sampai termakan dengan cara
tidak sah, karena memakan harta anak yatim secara tidak sah adalah sama dengan
makan bara api neraka, orang yang makan akan diberi tempat neraka di akhirat
kelak.
QS An Nisa� ayat 11 menentukan
bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; anak perempuan dua orang atau lebih (apabila tidak ada
anak laki-laki) menerima 2/3 harta warisan dan apabila hanya seorang (tidak ada
anak laki-laki) menerima 1/2 harta warisan; bagian ayah dan ibu, apabila ada
anak, masing-masing menerima 1/6 harta warisan; apabila tidak ada anak, bagian
ibu adalah 1/3 harta warisan (ayah mendapat sisanya); apabila ada saudara
saudara lebih dari seorang, bagian ibu adalah 1/6 harta warisan; pembagian
harta warisan dilakukan setelah utang dan wasiat pewaris dibayarkan.
QS An Nisa� ayat 12 menentukan
bagian suami adalah � harta warisan apabila pewaris
tidak meninggalkan anak; apabila ada anak, bagian suami � harta warisan, setelah
utang dan wasiat pewaris dibayarkan; ditentukan pula bagian isteri � harta warisan apabila tidak ada anak, 1/8 harta warisan apabila ada anak,
setelab utang dan wasiat pewaris dibayarkan. Apabila seseorang meninggal tanpa
meninggalkan ayah atau anak, padahal ia meninggalkan saudara laki-laki atau
perempuan (seibu), maka bagian saudara apabila hanya satu orang adalah 1/6
harta warisan, dan apabila lebih dari satu orang, mereka bersama-sama mendapat
1/3 harta warisan, setelah utang dan wasiat pewaris dibayarkan.
QS An Nisa� ayat 13 menekankan bahwa
ketentuan bagian-bagian harta warisan itu
berasal dari Allah yang wajib ditaati.
QS An Nisa� 176 menentukan bagian
saudara perempuan (kandung atau seayah), apabila pewaris dalam keadaan kalalah
(tidak meninggalkan ayah atau anak), bagian saudara perempuan adalah 1/2 harta
warisan apabila hanya satu orang dan 2/3 harta
warisan apabila dua orang atau lebih, apabila saudara-saudara itu terdiri dari
laki-laki dan perempuan, bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian
dua orang saudara perempuan.
b. Sunnah
Rasul
Meskipun Al-Qur�an menyebutkan secara
terperinci ketentuan-ketentuan bagian ahli waris, Sunnah Rasul menyebutkan
pula hal-hal yang tidak disebutkan dalam Al-Qur�an, antara lain :
1. Hadits
riwayat Bukhari dan Muslim mengajarkan bahwa ahli waris laki-laki yang lebih
dekat kepada pewaris lebih berhak atas sisa harta warisan, setelah diambil
bagian ahli waris yang mempunyai bagian-bagian tertentu.
2. Hadits
riwayat Al-Jama�ah, kecuali Muslim dan Nasa�i, mengajarkan bahwa
orang muslim tidak berhak waris atas harta orang kafir,
dan orang kafir tidak berhak atas harta orang muslim.
3. Hadits
riwayat Ahmad menyebutkan bahwa Nabi memberikan bagian warisan kepada dua nenek
perempuan 1/6 harta warisan dibagi dua.
4. Hadits
riwayat Ahmad mengajarkan bahwa anak dalam kandungan berhak waris setelah
dilahirkan dalam keadaan hidup yang ditandai dengan tangisan kelahiran.
c.
Ijtihad
Meskipun Al-Qur�an dan Sunnah Rasul telah
memberi ketentuan terperinci tentang pembagian harta warisan, tetapi dalam
beberapa hal masih diperlukan adanya ijtihad, yaitu
terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam kedua sumber hukum tersebut.
Misalnya mengenai bagian warisan orang banci, harta warisan yang tidak habis
terbagi kepada siapa sisanya diberikan, bagian ibu apabila hanya bersama-sama
dengan ayah dan duda atau janda.
3. Prinsip-prinsip Hukum
Waris Islam
a.
Prinsip Ijbari, yaitu bahwa peraliban harta seseorang yang telah meninggal
dunia kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya.
b.
Prinsip Individual, yaitu bahwa harta warisan dapat dibagi-bagikan kepada ahli
waris untuk dimiliki secara perseorangan.
c.
Prinsip Bilateral, artinya bahwa baik laki-laki maupun perempuan dapat mewaris
dari kedua belah pihak garis kekerabatan, atau dengan kata lain jenis kelamin
bukan merupakan penghalang untuk mewarisi atau diwarisi.
d.
Prinsip kewarisan hanya karena kematian, yakni bahwa peralihan harta seseorang
kepada orang lain dengan sebutan kewarisan berlaku setelah yang mempunyai harta
tersebut meninggal dunia. Dengan demikian, tidak ada pembagian warisan
sepanjang pewaris masih hidup.
4.
Sebab-sebab Terjadinya Warisan
a.
Hubungan Nasab (Darah), seperti ayah, ibu, anak, saudara, paman, kakek dan
nenek
b.
Hubungan Perkawinan, yang terdiri dari duda atau janda. Perkawinan yang sah
menimbulkan hubungan kewarisan. Jika seorang suami meninggal dunia maka isteri
atau jandanya mewarisi harta suaminya, dan demikian pula sebaliknya.
Apabila semua ahli waris ada,
maka yang berhak mendapat warisan hanyalah : anak, ayah, ibu, janda atau duda.
5. Rukun
dan Syarat Kewarisan
a.
Pewaris Pasal 171 KHI
� Pewaris adalah
orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan
Putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
� Harta
peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta
benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
b. Ahli
Waris Pasal 171, 172, 174, 175 KHI
� Ahli Waris
adalah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama
Islam dan tidak berhalangan karena hukum untuk menjadi ahli waris.
� Ahli waris
dipandang beragama Islam apabila diketahui dan Kartu identitas atau pengakuan
atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi
bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa beragama menurut ayahnya atau
lingkungannya.
� Seorang
terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan Hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap dihukum karena:
a.
dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada
pewaris;
b.
dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah
melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara
atau hukuman yang lebih berat.
� Kewajiban ahli
waris terhadap pewaris adalah
a.
mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai,
b.
menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk
kewajiban pewaris maupun menagih piutang. Tanggung jawab ahli waris terhadap
hutang atau kewajiban pewaris banya terbatas pada jumlah atau nilai harta
peninggalannya;
c.
membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.
�
Kelompok-kelompok ahli waris akan dijelaskan pada uraian tentang bagian masing-masing ahli waris.
c. Harta
Warisan : Pasal 171 KHI
� Harta Warisan
(HW) adalah harta bawaan (HB) ditambah bagian dari harta bersama (HBers)
setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz). pembayaran hutang
dan pemberian untuk kerabat.
Jadi HW = HB + � HBers - (keperluan pewaris
selama sakit + biaya pengurusan jenazah + hutang + wasiat).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar