Definisi
Alquran telah dikemukakan pada halaman terdahulu, dan untuk mengetahui perbedaan
antaradefinisi Alquran dengan hadis qudsi dan hadis nabawi, di sini kami
kemukakan dua definisi.
Hadis Nabawi
Hadits
(baru) dalam arti bahasa lawan dari kata qadim (lama). Dan, yang dimaksud hadis
ialah setiap kata-kata yang diucapkan dan dinukil serta disampaikan oleh
manusia, baik kata-kata itu diperoleh melalui pendengarannya maupun wahyu; baik
dalam keadaan jaga maupun dalam keadaan tidur. Dalam pengertian ini, Alquran
dinamakan hadis.
"Hadis
(kata-kata) siapakah yang lebih benar selain dari pada Allah?" (An-Nisa:
87).
Begitu
pula yang terjadi pada manusia, di waktu tidurnya juga dinamakan hadis.
"...
dan engkau telah mengajarkan kepadaku sebagian takwil dari
hadis-hadis-maksudnya mimpi
." (Yusuf: 101).
Adapun
menurut istilah, pengertian hadis ialah apa saja yang disandarkan kepada Nabi
saw., baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat. Yang berupa
perkataan seperti perkataan Nabi saw., "Sesungguhnya sahnya amal itu
disertai dengan niat. Dan, setiap orang bergantung pada niatnya ...."(HR
Bukhari).
Yang
berupa perbuatan ialah seperti ajarannya kepada para sahabat mengenai bagaimana
cara mengerjakan salat, kemudian ia mengatakan, "Salatlah seperti kamu
melihat aku salat." (HR Bukhari).
Juga,
mengenai bagaimana ia melaksanakan ibadah haji, dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda,
"Ambillah dariku manasik hajimu." (HR Muslim).
Adapun
yang berupa persetujuan adalah seperti ia menyetujui suatu perkara yang
dilakukan salah seorang sahabat, baik perkataan ataupun perbuatan; di hadapannya
ataupun tidak, tetapi beritanya sampai kepadanya, seperti makanan biawak yang
dihidangkan kepadanya. Dan, persetujuannya dalam satu riwayat, Rasulullah saw.
mengutus orang dalam satu peperangan. Orang itu membaca suatu bacaan dalam
salat yang diakhiri dengan qul huwallahu ahad. Setelah pulang, mereka
menyampaikan hal itu kepada Rasulullah saw., lalu Rasulullah saw. berkata,
"Tanyakan kepadanya mengapa ia berbuat demikian?" Mereka pun
menanyakan,
dan
orang itu menjawab, "Kalimat itu adalah sifat Allah dan aku senang
membacanya." Maka Rasulullah saw. menjawab, "Katakan kepadanya bahwa
Allah pun menyenangi dia." (HR Bukhari dan Muslim).
Yang
berupa sifat adalah riwayat seperti bahwa Rasulullah saw. selalu bermuka cerah,
berperangai halus dan lembut, tidak keras dan tidak pula kasar, tidak suka
berteriak keras, tidak pula berbicara kotor, dan tidak juga suka mencela.
Hadis Qudsi
Kita
telah mengetahui makna hadis secara etimologi, sedangkan qudsi dinisbatkan
kepada kata quds. Nisbah ini mengesankan rasa hormat karena materi kata itu
sendiri menunjukkan kebersihan dan kesucian dalam arti bahasa. Maka, kata
taqdis berarti menyucikan Allah.
Taqdis
sama dengan tathir, dan taqaddasa sama dengan tathahhara (suci, bersih). Allah berfirman
tentang malaikat, "... padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan menyucikan Engkau ...." (Al-Baqarah: 30).
Hadis
qudsi adalah hadis yang oleh Rasulullah saw. disandarkan kepada Allah. Maksudnya,
Rasulullah saw. meriwayatkannya bahwa itu adalah kalam Allah. Maka, Rasulullah
saw. menjadi perawi kalam Allah ini dengan lafal dari Rasulullah saw. sendiri.
Bila seseorang meriwayatkan hadis qudsi, dia meriwayatkannya dari Allah dengan
disandarkan kepada Allah dengan mengatakan, "Rasulullah saw. mengatakan
mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya," atau ia mengatakan,
"Rasulullah saw. mengatakan, 'Allah Taala telah berfirman atau berfirman
Allah Taala'."
Contoh Pertama
Dari Abu
Hurairah, dari Rasulullah saw. mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya,
"Tangan
Allah itu penuh, tidak dikurangi oleh nafakah, baik di waktu malam maupun siang
hari ...." (HR Bukhari).
Contoh Kedua
Dari Abu
Hurairah bahwa Rasulullah saw. berkata, "Allah Taala berfirman, 'Aku
menurut sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya bila dia menyebut-Ku di
dalam dirinya, maka Aku pun menyebutnya di dalam diri-Ku. Dan, bila dia
menyebut-Ku di kalangan orang banyak, Aku pun menyebutnya di kalangan orang
banyak yang lebih baik dari itu ...'." (HR Bukhari dan Muslim).
Perbedaan Alquran dengan Hadis Qudsi
Ada
beberapa perbedaan antara Alquran dengan hadis qudsi, dan yang terpenting
adalah sebagai berikut.
1.
Alquran adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah saw. dengan
lafal-Nya, dan dengan itu pula orang Arab ditantang, tetapi mereka tidak mampu
membuat seperti Alquran itu, atau sepuluh surah yang serupa itu, bahkan satu
surah sekalipun. Tantangan itu tetap berlaku, karena Alquran adalah mukjizat
yang abadi hingga hari kiamat. Adapun hadis qudsi tidak untuk menantang dan
tidak pula untuk mukjizat.
2.
Alquran hanya dinisbatkan kepada Allah, sehingga dikatakan Allah Taala berfirman.
Adapun
hadis qudsi, seperti telah dijelaskan di atas, terkadang diriwayatkan dengan
disandarkan
kepada Allah, sehingga nisbah hadis qudsi itu kepada Allah adalah nisbah dibuatkan.
Maka dikatakan, Allah telah berfirman atau Allah berfirman. Dan, terkadang pula
diriwayatkan dengan disandarkan kepada Rasulullah saw. Tetapi nisbahnya adalah
nisbah kabar, karena nabi menyampaikan hadis itu dari Allah. Maka, dikatakan
Rasulullah saw. mengatakan apa yang diriwayatkan dari Tuhannya.
3.
Seluruh isi Alquran dinukil secara mutawatir, sehingga kepastiannya mutlak.
Adapun hadis-hadis qudsi kebanyakan adalah kabar ahad, sehingga kepastiannya
masih merupakan dugaan. Adakalanya hadis itu sahih, hasan, dan kadang-kadang
daif.
4.
Alquran dari Allah, baik lafal maupun maknanya. Hadis qudsi maknanya dari Allah
dan lafalnya dari Rasulullah saw. Hadis qudsi ialah wahyu dalam makna, tetapi
bukan dalam lafal. Oleh sebab itu, menurut sebagian besar ahli hadis, diperbolehkan
meriwayatkan hadis qudsi dengan maknanya saja.
5.
Membaca Alquran merupakan ibadah, karena itu ia dibaca dalam salat. "Maka,
bacalah apa yang mudah bagimu dalam Alquran itu." (Al-Muzamil: 20).
Nilai
ibadah membaca Alquran juga terdapat dalamhadis, "Barang siapa membaca
satu huruf dari Alquran, dia akan emperoleh satu kebaikan. Dan, kebaikan itu
akan dibalas sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif laam miim itu satu
huruf. Tetapi alif satu huruf, laam satu huruf, dan miim satu huruf." (HR
Tirmizi dan Ibnu Mas'ud).
Adapun
hadis qudsi tidak disuruh membacanya dalam salat. Allah memberikan pahala membaca
hadis qudsi secara umum saja. Maka, membaca hadis qudsi tidak akan memperoleh pahala
seperti yang disebutkan dalam hadis mengenai membaca Alquran bahwa pada setiap huruf
mendapatkan sepuluh kebaikan.
Perbedaan
antara Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi Hadis nabawi itu ada dua. Pertama, tauqifi.
Yang bersifat tauqifi yaitu yang kandungannya diterima oleh Rasulullah saw.
dari wahyu. Lalu, ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri.
Bagian ini meskipunkandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi pembicaraan
lebih layak dinisbahkan kepada Rasulullah saw., sebab kata-kata itu dinisbahkan
kepada yang mengatakannya meskipun di dalamnya terdapat makna yang diterima
dari pihak lain. Kedua, taufiqi. Yang bersifat taufiqi yaitu yang disimpulkan
oleh Rasulullah saw. Menurut pemahamannya terhadap Alquran, karena ia mempunyai
tugas menjelaskan Alquran atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad.
Bagian kesimpulan yang bersifat ijitihad ini diperkuat oleh wahyu jika ia
benar. Dan, bila terdapat kesalahan di dalamnya, turunlah wahyu yang
membetulkannya. Bagian ini bukanlah kalam Allah secara pasti. Dari sini,
jelaslah bahwa hadis nabawi dengan kedua bagiannya yang tauqifi atau yang
taufiqi dengan ijtiihad yang diakui dari wahyu itu bersumber dari wahyu. Inilah
makna dari firman Allah tentang Rasul-Nya, "Dia (Muhammad) tidak berbicara
menurut hawa nafsunya. Apa yang diucapkannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang
diturunkan kepadanya."(An-Najm:3-4).
Hadis
qudsi itu maknanya dari Allah, ia disampaikan kepada Rasulullah saw. melalui
salah satu cara penuturan wahyu, sedang lafalnya dari Rasulullah saw. Inilah
pendapat yang kuat. Dinisbahkannya hadis qudsi kepada Allah Taala adalah nisbah
mengenai isinya, bukan nisbah mengenai lafalnya. Sebab, seandainya hadis qudsi
itu lafalnya juga dari Allah, tidak ada lagi perbedaan antara hadis qudsi dan
Alquran, dan tentu pula gaya bahasanya menuntut untuk ditantang, serta
membacanya pun akan dianggap ibadah. Mengenai hal ini timbul dua macam syubhat.
Pertama,
bahwa hadis nabawi juga wahyu secara maknawi yang lafalnya dari Rasulullah
saw., tetapi mengapa hadis nabawi tidak kita namakan juga hadis qudsi. Jawabnya
adalah, kita merasa pasti tentang hadis qudsi bahwa ia diturunkan maknanya dari
Allah karena adanya nas syara yang menisbahkannya kepada Allah, yaitu kata-kata
Rasulullah saw. Allah Taala telah berfirman, atau Allah Taala berfirman. Itu
sebabnya kita namakan hadis itu hadis qudsi. Hal ini berbeda dengan hadis
nabawi, karena hadis nabawi tidak memuat nas seperti ini. Di samping itu,
masing-masing isinya boleh jadi diberitahukan kepada Nabi melalui wahyu, yakni
secara tauqifi, namun mungkin juga disimpulkan melalui ijtihad, yaitu secara
taufiqi.
Oleh
sebab itu, kita namakan masing-masing dengan nabawi sebagai terminal nama yang
pasti. Seandainya kita mempunyai bukti untuk membedakan mana wahyu tauqifi,
tentulah hadis nabawi itu kita namai pula hadis qudsi.
Kedua,
apabila lafal hadis qudsi itu dari Rasulullah saw., maka dengan alasan apakah
hadis itu dinisbahkan kepada Allah melalui kata-kata Nabi: Allah Taala telah
berfirman atau Allah Taala berfirman. Jawabnya ialah bahwa hal yang demikian
ini biasa terjadi dalam bahasa Arab, yang menisbahkan kalam berdasarkan
kandungannya, bukan berdasarkan lafalnya. Misalkan ketika kita mengubah sebait
syair menjadi prosa, kita katakana bahwa penyair berkata demikian. Juga ketika
kita menceritakan apa yang kita dengar dari seseorang, kita pun mengatakan si
Fulan berkata demikian. Begitu juga Alquran menceritakan tentang Musa, Firaun,
dan sebagainya, isi kata-kata mereka dengan lafal yang bukan lafal mereka dan
dengan
gaya
bahasa yang bukan gaya bahasa mereka, tetapi dinisbahkan kepada mereka.
"Dan
ingatlah ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan firmannya): 'Datangilah kaum yang zalim
itu, (yaitu) kaum Firaun. Mengapa mereka tidak bertakwa? Berkata Musa: 'Ya
Tuahnku, aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku. Dan, (karena itu)
sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku, maka utuslah (Jibril) kepada Harun.
Dan, aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku.' Allah
berfirman, 'Jangan takut (mereka tidak akan bisa membunuhmu), maka pergilah
kami berdua dengan membawa ayat-ayat kami (mukjizatmukjizat);
sesungguhnya
kami bersamamu mendengarkan (apa-apa yang mereka katakana),
maka datanglah
kamu berdua kepada Firaun dan katakanlah olehmu, 'Sesungguhnya kami adalah
rasul Tuhan semesta alam, lepaskanlah Bani Israil (pergi) beserta kami.' Firaun
menjawab, 'Bukankah kami telah mengasuhmu diantara (keluarga) kami, waktu kamu
masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu.
Dan, kamu telah berbuat sesuatu perbuatan yang kamu lakukan itu dan kamu
termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna.' Berkata Musa, 'Aku
telah melakukannya sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf.
Lalu, aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku
memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara
rasul-rasul. Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah (disebabkan)
kamu
telah memperbudak Bani Israil.' Firaun bertanya, 'Siapa Tuhan semesta alam
itu?' Musa menjawab, 'Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara
keduanya (itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang)
mempercayainya'." (As-Syuara: 10--24).
Sumber:
Studi Ilmu-Ilmu Quran, terjemahan dari Mabaahits fii 'Uluumil Quraan, Manna' Khaliil
al-Qattaan
Aku sekarang lagi demam hadist tolong dong cariin hdist dan muat hadist soheh lainnya
BalasHapus