Upaya itu
dilakukan antara lain dengan melakukan dialog antar ummat beragama yang sudah
diselenggarakan berkali-kali di berbagai tempat. Ada juga apel keagamaan,
seperti yang diselenggarakan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang
kebanyakan anggotanya pemuda NU dan Unit Kegiatan Kerohanian Kristen (UKKK)
Universitas Dr Soetomo Surabaya. Acara bertajuk 'Cinta Damai dan Persahabatan
Antarumat Beragama' itu menampilkan pembicara lintas agama, seperti H. Ali
Maschan Moesa, MSi (Ketua PWNU Jatim), Didik (Pastor Paroki Sidoarjo), serta I
Made Gunartha (Ketua I Parisada Hindu Dharma Kota Surabaya).
Yang lebih jauh
adalah doa bersama lintas agama, seperti yang dilakukan kalangan LSM dan
mahasiswa di pelataran Gedung Pola, bundaran Tugu Selamat Datang (HI) Jakarta
dan beberapa tempat lainnya, tahun-tahun silam.
Meski kegiatan seperti itu baru merebak sejak gerakan reformasi bergulir, rintisannya sudah berlangsung sejak lama berupa wacana kenisbian ajaran agama. Sejak 1970-an pemerintah Orde Baru melalui pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) sudah mengajarkan siswa untuk berpartisipasi pada acara ritus ibadah agama yang tidak dianutnya. Lewat PMP pula digulirkan paham bahwa semua agama sama baiknya, sama-sama menyembah Tuhan dan sama-sama mengajarkan ummatnya berbuat kebajikan. Namun karena menuai banyak protes dari berbagai ormas Islam, bagian kontroversial itu akhirnya ditiadakan.
Selesai?
Ternyata tidak. Meski tidak lagi diajarkan melalui PMP (kini berganti nama
menjadi PPKN), wacana tersebut bergulir terus. Dimotori para cendekiawan dari
berbagai IAIN dan Yayasan Paramadina, seperti (alm) Harun Nasution, Nucholish
Madjid, Djohan Effendi, serta Komarudin Hidayat, berbagai pemikiran keagamaan
yang meminjam istilah kalangan ini bercorak Neo-Modernisme terus
ditumbuhsuburkan melalui berbagai tulisan di media massa dan forum-forum
ilmiah.
Ada berbagai
gagasan yang dilontarkan, seperti Islam Rasional, Islam Peradaban dan Islam
Transformatif. Belakangan, sejak akhir 1990-an kemudian muncul gagasan Islam
Inklusif, Islam Pluralis dan terakhir Islam Liberal.
Penerbit
Paramadina menerbitkan buku berjudul Islam Pluralis, yang merupakan
kumpulan tulisan Budhy Munawar-Rachman. Kemudian tengah bulan silam penerbit
yang sama meluncurkan buku berjudul Wacana Islam Liberal. Buku terakhir
ini merupakan kumpulan tulisan berbagai pemikir Islam bertaraf internasional
yang disunting oleh Charles Kurzman, asisten profesor pada University of North
Carolina. Di penulisnya terdapat nama antara lain Muhammad Iqbal, Chandra
Muzaffar, Yusuf al-Qardhawi, Mohammad Natsir, Mehdi Bazargan, Benazir Bhutto,
Fatima Mernissi, Mohamed Arkoun, Fazlur Rahman, dan Nurcholish Madjid.
Inklusif dan
Pluralis
Di antara berbagai wacana itu, yang paling
gencar disosialisasikan adalah wacana Islam Inklusif. Karena kalangan tersebut
menganggap banyak ummat beragama terutama yang sering disorot kalangan Muslim
bersikap eksklusif. Apa maksudnya? Menurut salah seorang aktivis kalangan ini,
Sukidi, seseorang tergolong eksklusif manakala merasa ajaran yang paling benar
hanyalah agama yang dipeluknya, sedangkan agama-agama lain dituduh sesat.
Mereka yang eksklusif, masih kata Sukidi, cenderung memonopoli
kebenaran agama (claim of truth) dan paham keselamatan (claim of
salvation).
Sikap seperti itu, menurut Direktur Lembaga
Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Budhy Munawar Rachman, membuat berbagai
konflik sosial politik, juga membawa berbagai macam perang antar-agama.
Senada dengan hal itu, Jabir Al Faruqi,
Direktur Lembaga Studi Agama dan Pembangunan (LSAP) Semarang, dengan mengutip
pendapat ilmuwan Barat Paul Knitter, menulis di harian Kompas
(13/6/1997), "Semua agama pada dasarnya adalah relatif. Karena itu
sekarang ini sikap menganggap sebuah agama lebih baik dari yang lain dirasa
sebagai sebuah sikap yang agak salah dan ofensif."
Budhy juga mengecam orang-orang yang meyakini
bahwa hanya ada satu jalan keselamatan, yaitu agama mereka sendiri.
"Pandangan ini jelas mempunyai kecenderungan fanatik, dogmatis dan
otoriter!!!" tulisnya di Republika (24/06/2000).
Budhy kemudian mengajak orang menuju suatu
teologi yang disebutnya teologi pluralis. Yakni, melihat agama-agama lain
dibanding dengan agama-agama sendiri, dalam rumusan: Other religions are
equally valid ways to the same thruth (John Hick); Other religions speak
of different but equally valid thruts (John B Cobb Jr); Each religion
expresses an important part of the truth (Raimundo Panikkar); atau setiap
agama sebenarnya mengespresikan adanya The One in the many (Sayyed
Hossein Nasr). Benang merahnya, teologi pluralis mengajak orang menuju sikap
pararelisme terhadap berbagai agama, dengan menganggap semua agama sama
sahihnya sebagai jalan menuju kebenaran. "Satu Tuhan, dalam banyak
jalan," ungkap Budhy.
Untuk menopang pendapatnya itu Budhy tak lupa
mengutip pendapat ahli sufi, Jalaluddin Rumi yang menyatakan, "Meskipun
ada bermacam-macam agama, tujuannya adalah satu. Apakah Anda tidak tahu bahwa
ada banyak jalan menuju ka'bah? Oleh karena itu apabila yang Anda pertimbangkan
adalah jalannya, maka sangat beraneka ragam dan sangat tidak terbatas
jumlahnya; tetapi apabila yang Anda pertimbangkan adalah tujuannya, maka semuanya terarah hanya
pada satu tujuan."
Masih ada sejumlah pemikir yang mempunyai
pandangan senada dengan Budhy. Salah seorang di antaranya adalah Abdurrahman
Wahid, yang baru saja dimakzulkan dari kursi kepresidenan RI oleh MPR. Ketika
baru terpilih jadi presiden, dalam kunjungannya di Bali ia mengungkapkan,
"Kalau kita benar-benar beragama, maka akan menolak kebenaran satu-satunya
di pihak kita dan mengakui kebenaran semua pihak. Kebenaran mereka yang juga kita
anggap berbeda dari kita. Ini yang paling penting. Oleh karena itu semuanya
benar."
Sebagian pemikir Islam nampaknya
terkagum-kagum dengan hasil Konsili Vatikan II (1965) yang dihasilkan kalangan
Katolik. Dalam konsili memang terdapat pandangan yang mengakui adanya jalan
keselamatan dalam agama-agama non-Kristen. Lalu para pemikir itu menghendaki
kalangan Islam juga menghasilkan pandangan seperti itu melalui wacana
pluralisme.
Sinkretisme
Berbagai gagasan itu menurut Sekretaris
Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Adian Husaini,
sebenarnya hanyalah gagasan lama yang dikemas dengan istilah-istilah yang lebih
indah. Karena pluralisme pada hakekatnya sama dengan sinkretisme, paham yang
mencampurkan ajaran satu agama dengan agama lainnya.
Jika diperhatikan dengan seksama, ada
sejumlah pemikir dan pengamat yang entah sengaja atau tidak kerap merancukan
makna antara pluralitas dan pluralisme. Memang keduanya berasal dari akar kata
yang sama: plural, yang artinya majemuk atau beragam. Namun setelah menjadi
kata jadian, pluralitas berbeda dengan pluralisme.
Pluralitas yang berarti kemajemukan adalah
fakta kehidupan dan merupakan kehendak Allah, misalnya tentang kemajemukan
bangsa dan suku sebagaimana termaktub dalam Al-Quran surat Al-Hujurat (49) ayat
13: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal..." Juga pada surat Ar-Ruum (30), "Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berain-lainan
bahasamu dan warna kulitmu"
Allah juga menciptakan kemajemukan ummat,
meski Ia mampu menciptakan satu ummat manusia saja, agar tiap-tiap mereka
berlomba menuju kebaikan. Bahkan hal itulah yang menjadi tujuan-Nya mencipta
manusia, sebagaimana termaktub dalam surat Hud (11) ayat 118-119: "Jikalau
Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia ummat yang satu, tetapi
mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat
oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka."; dan
pada surat Al-Maidah (5) ayat 48, "Sekiranya Allah menghendaki, niscaya
kalian dijadikan-Nya satu ummat saja, tetapi Allah hendak menguji kalian
terhadap pemberian-Nya kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan"
Jadi pluralitas atau kemajemukan adalah
realitas dan keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri. Terhadap kenyataan itu
Rasulullah Muhammad saw, para sahabat dan pengikutnya telah menunjukkan pada
dunia tentang bagaimana cara hidup dan bergaul di tengah masyarakat yang
majemuk.
Ketika Rasulullah menjadi pemimpin di
Madinah, masyarakat negeri itu tidak homogen, melainkan terdiri dan beragam
bangsa (Arab dan Bani Israel), suku (Aus, Khajraj, Quraisy dll), kelompok
(Muhajirin dan Anshar) dan agama (Islam, Yahudi dan paganis). Untuk menggalang
persatuan di antara mereka, termasuk dengan kelompok Yahudi, Rasulullah
kemudian mengadakan perjanjian persatuan dan kerjasama seperti yang tertuang
dalam Piagam Madinah.
Salah satu pasalnya berbunyi: "Kaum
Mukminin dan kaum Muslimin, dari Quraisy dan penduduk Yatsrib, dan orang yang
mengikuti mereka, maka bergabung dengan mereka dan berjuang bersama-sama.
Mereka ummat yang satu yang berbeda dengan kelompok masyarakat yang lain
Orang-orang Yahudi adalah satu ummat bersama kaum Mukminin. Bagi orang Yahudi
agama mereka dan bagi kaum Muslimin agama mereka."
Dalam berbagai buku sejarah Islam dapat jelas
terbaca bahwa Rasulullah dan para sahabatnya di Madinah sangat biasa bergaul
dan bermuamalah dengan orang-orang Yahudi. Mereka hidup berdampingan secara
damai. Dalam sebuah hadits diriwayatkan Nabi Muhammad pernah berhutang pada
orang Yahudi. Dan hadits lain diriwayatkan Nabi pernah menjenguk orang Yahudi
yang sedang sakit, hingga tersentuh hatinya lalu masuk Islam. Konflik baru
terjadi ketika orang-orang Yahudi melakukan pengkhianatan terhadap Piagam
Madinah dalam perang Khandaq, sehingga diusir keluar dari Madinah.
Ketika Dinasti Umayyah (etnis Arab) berkuasa
lima abad di Andalusia (Spanyol), di negeri itu tiga agama, Islam, Kristen, dan
Yahudi, hidup berdampingan secara damai dan penuh toleransi. Tapi ketika negeri
itu berhasil ditaklukkan kembali oleh Kerajaan Spanyol yang Katolik, terjadi
pembantaian besar-besaran terhadap orang Muslim dan orang Yahudi oleh pasukan
Kerajaan Spanyol.
Artinya, ummat Islam jika benar-benar
memahami ajaran agamanya tanpa dikuliahi teori-teori Barat pasti mereka akan
dapat mengembangkan sikap toleran, bersahabat terhadap kalangan non-Muslim.
Dalam menjalankan hubungan sosial yang bersifat muamalah, ummat Islam akan
bersikap inklusif. Tetapi jika sudah menyangkut masalah keimanan dan akidah
tidak ada kompromi dan konvergensi.
Namun bagi kalangan pengusung gagasan
pluralisme, sikap inklusif seperti itu dianggap tidak memadai. Harus ada upaya
konvergensi, seperti yang diharap Sukidi, "Mengingat pluralisme agama
merupakan sunnatullah (kehendak Tuhan), maka sangat urgen sekali adanya
konvergensi agama-agama, yaitu usaha mencari titik temu agama-agama Jadi
meskipun secara eksoterik, agama itu bersifat plural (pluralisme agama), namun
secara esoterik, semuanya bermuara pada Satu Tuhan atau Tuhan Yang Maha
Esa."
Pandangan seperti itu ditentang keras oleh
Daud Rasyid Sitorus, staf pengajar LIPIA Jakarta yang pernah berpolemik dengan
Nucholish Madjid. Menurutnya, ajaran Islam mengakui adanya pluralitas, tapi
tidak membenarkan pluralisme. "Masyarakat yang beragam diakui dalam Al-Quran, tapi
Islam tegas mengatakan bahwa tidak semua agama itu benar. Karena tidak mungkin
orang menganut suatu agama kalau dia tidak meyakini agamanya yang paling
benar."
Lebih lanjut Daud menjelaskan, Islam tidak
melarang ummatnya berhubungan sosial dengan ummat lain dalam konteks
bermuamalah. Tapi jika sudah menyangkut aqidah dan ibadah, tidak ada kompromi.
"Kita boleh bergaul dan menghormati orang beragama lain, tapi jangan
sampai mengakui semua agama benar. Dalam riwayat Nabi pernah bermuamalah dengan
orang Yahudi, tapi dalam hal aqidah tidak ada kompromi."
Upaya menggebu-gebu kalangan pemikir Islam
dalam mengkampanyekan pluralisme dan konvergensi agama patut diberi tanda
tanya. Sebab ujung-ujungnya mengajak untuk kompromi aqidah, dengan turut
memberi pembenaran kepada ajaran agama lain. Padahal pemikir Kristen yang juga
gencar menyuarakan pluralisme dan dialog antar ummat beragama, seperti mendiang
pendeta Victor Tanja, tidak berfikir sampai sejauh itu. "Dalam setiap
agama para pemeluknya menyembah Tuhan YME menurut pandangan agama
masing-masing. Kejelasan ini perlu dipegang untuk menghindari kompromi
aqidah," tulisnya di Republika.
Victor dengan mengutip pendapat seorang uskup
gereja Ortodok Syria, juga memberi contoh hubungan antar ummat beragama yang
proporsional dan tidak kebablasan, "Tujuan kemitraan bukan untuk
membentuk satu agama dunia dengan memperpadukan semua agama. Menurut dia ini
adalah usaha sia-sia. Tujuan sebenarnya adalah untuk mencari suatu landasan
bersama yang di atasnya semua budaya dunia dapat saling bertemu dalam suasana
saling menghormati, serta dapat hidup dalam kepelbagaian agama-agama secara
global tanpa kehilangan identitas masing-masing."
Bicara tentang kompromi aqidah dan ibadah
akan mengingatkan kita pada suatu peristiwa yang monumental dan diabadikan
dalam Al-Quran. Alkisah para pemuka kafir Quraisy tiba pada suatu kondisi
merasa tak mampu lagi membendung upaya da'wah yang
dilakukan Nabi Muahammad dan menyadari bahwa suatu saat kepercayaan paganisme
(menyembah berhala) yang mereka anut akan tersingkir oleh risalah Islam, maka
kemudian mereka mendatangi Nabi dan menawarkan kompromi.
Mereka mengajak kedua belah pihak saling
mengakui kebenaran kepercayaan keduanya Islam dan paganismelalu kedua belah
pihak melakukan ibadah bersama secara bergantian. Caranya, hari ini kedua belah
pihak melakukan ibadah Islam, keesokan harinya kedua belah pihak melakukan
ibadah penyembahan berhala.
Tawaran kompromi aqidah dan ibadah ini
ditolak mentah-mentah oleh Allah dan rasul-Nya. Allah kemudian mengutus
malaikat Jibril menurunkan surat Al-Kafirun, yang mengajarkan ummat Islam untuk
menolak segala bentuk kompromi aqidah dan ibadah dengan orang kafir.
Ayat 2 surat tersebut berbunyi, "Aku
tidak akan menyembah apa yang kamu sembah." Larangan menyembah apa
yang disembah orang kafir, mengandung arti larangan membenarkan kepercayaan
mereka dan larangan mempercayai bahwa ajaran mereka membawa keselamatan duniawi
dan ukhrawi.
Dalam ajaran Islam dikenal konsep orang
Muslim dan orang kafir. Bagi orang kafir tidak ada jalan keselamatan untuk
mereka. Tempat mereka adalah neraka jahanam.
Kalau kalangan pengusung pluralisme mengakui
kebenaran dan adanya jalan keselamatan bagi kalangan non-Muslim, lantas menurut
mereka, siapakah yang Allah maksud dengan orang kafir yang Dia janjikan masuk
neraka jahannam?
Wallahu a'lam bish-shawab.· (shw, dek)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar